Mohon tunggu...
Luthfi Merasa
Luthfi Merasa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gubuk Kenangan

28 April 2016   10:12 Diperbarui: 28 April 2016   22:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com/Christian_Birkholz

Begitu melintasi gubuk dekat sawah itu, aku selalu menunduk bersedih. Sebab bila melihat gubuk itu, aku teringat  dirimu. Ya, sekarang kau sudah tidak akan bisa menemaniku bersantai di gubuk itu,  menunggu matahari tenggelam di ufuk barat. Kau sudah menjadi milik orang lain; menjadi suami dari sepupuku sendiri. Itu yang membuatku miris meringis sedih setiap melihat gubuk itu.  Karena, setiap melihat gubuk itu. Pikirannku akan mengingatmu.

Sebelum beristri, kau selalu meluangkan  waktumu untuk menamaniku menikmati panorama senja. Ini memang salahku. Dari dulu aku selalu menyembunyikan perasaanku padamu. Perasaan yang sebenarnaya sudah sejak lama tergenang dalam hatiku. Bukannya aku taku tak mau mengutarakannya. Tapi aku seorang perempuan. Aku merasa laki-lakilah yang lebih pantas terelebih dahulu menyatakan suara hatinya pada perempuan. Dan aku menunggu hal itu.

Sayang seribu sayang, aku benar-benar tidak mendapatkan kata-kata itu darimu. Padahal sudah berkali-kali aku memancingmu agar kau mengucapkan cinta padaku. Entah apa yang ada dalam pikiranmu, kata-kata itu tak kunjung jua aku dapatkan. Ataukah memang sudah dari awal kau tak pernah menaruh hati padaku?

Pernah suatu ketika aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan di gubuk itu. Saat kau sedang asik-asiknya berbicara mengenai keadaan negeri yang semakin kacau, aku selipkan pertanyaan padamu, “Apakah kau pernah jatuh cinta?”. Dan kau hanya menjawab, “Tidak!”. Setelah itu kau kembali merocos bicara ini dan itu, tanpa peduli pertanyaanku. Aku tak tahu apakah kau memang tidak pernah jatuh cinta. Atau, kau memang tak pernah punya cinta? Lebih-lebih padaku?.

Aku memang egois. Hanya karena gengsi, aku tetap tak mau menyatakan perasaanku yang sebenarnya padamu. Sekarang sudah terlambat. Kau telah menjadi suami orang. Mau tidak mau aku harus menerima itu semua. Aku sadar, aku adalah perempuan yang tidak boleh downhanya karena mahluk bernama lelaki.  Aku harus segera melupakanmu dan mencari pria lain yang mungkin bisa menyayangiku sepenuhnya. Bukankah masih banyak lelaki di dunia ini. Tapi, akankah aku benar-benar bisa melupakanmu?

* * *

Jarum jam begitu cepat berputar. Tak terasa sudah lima tahun lamanya aku meninggalkan desa ini. Desa tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Lama berada di negeri yang jauh teranyata desaku tak banyak berubah, di halaman rumah masih utuh tiga pohon kelapa. Lapangan volley dekat pohon itu juga tetap terawat  dengan baik. Tak ketinggalan rumahku juga tak jauh beda dari lima tahun yang lalu. Hanya catnya saja yang berubah, dari semula hijau dan merah, sekarang menjadi serba putih.

Aku ragu ketika hendak memasuki rumahku. Akankah orang tuaku masih mau menerimaku kembali ke rumah ini setelah lama tak terlihat. Memang, dulu, aku pergi dari rumah tampa pamit secara resmi pada mereka. Hanya sepucuk surat yang mewakili kepergianku; menenangkan diri dari kejadian yang sempat menghancurkan hati dan jiwaku.

“Assalamu alaikum.” Aku ragu. Akankah orang tuaku masih mau menerimaku di rumah ini.

Aku menunggu sejenak. Tak ada jawaban. Aku semakin ragu. Tiba-tiba.

“Waalaikumussalam.” seseorang menjawab salamku. Menanati siapa yang membuka pintu itu seakan napasku berhenti berdetak. Darahku keakan-akan beku. Tak bisa bergerak sedikitpun. 

Dari daun pintu, ku lihat seorang perempuan yang sudah renta mendekat ke arahku. Ya.. Dia Umiku. Rasa rinduku memuncak, segera aku menghamburkan diri dalam dekapannya. Memeluknya erat-erat. Air mataku bercucuran begitu saja, begitupun umiku. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, karena saking terharunya.

* * *

Pagi ini begitu dingin. Ditambah angin sepoi yang membuat semua orang tak berkutik dari kamarnya. Mereka tak rela jika keelokan kulit tubuh mereka rusak hanya akibat suhu dingin. Namun tidak bagiku, sesuai rencana hari ini aku akan pergi jalan-jalan bersama temanku, Tartila. Tak jauh. Hanya keliling desa. Menikmati alam sekitar yang sudah lama tak aku rasakan.

Begitu indah. Tak kusangka setelah sekian lama aku pergi dari desa, ternyata desa ini semakin mempesona. Membuatku tak bisa berkata-kata menyaksikan keindahannya.

Entah mengapa, sebentar saja jalan-jalan, tubuhku terasa sangat letih. Seperti tak ada tenaga yang tersisa untuk melanjutkan perjalanan ini. Seketika aku terjatuh. Tartila yang berada di sampingku dengan sigap menangkap dan membawaku kesebuah gubuk yang terletak dekat sawah. Gubuk itu sepertinya tidak asing lagi bagiku. Bentuknya persegi. Ah...! seketika aku lupa akan kondisi tubuhku. Aku bangkit, melihat-lihat sekeliling, memastikan, benarkah gubuk ini ?

Aku menelan ludah. Benar, ini adalah gubuk tempat yang dulu biasa aku habiskan untuk menikmati panorama senja di waktu sore. Ini adalah gubuk tempatku melampiaskan rasa senang dan sedih. Ya… aku ingat gubuk ini. Aku juga ingat seseorang yang selalu bersamaku di tempat ini. Seseorang yang sebenarnya sudah aku hapus dari ingatanku, aku sudah melupakannya.

Telah lama aku tinggalkan desa ini hanya demi menghapus rasa sakit  yang aku derita sebab tidak bisa memilikinya. Tapi sekarang kenangan pahit itu kembali hadir dan bersemayam dalam diriku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kepergianku yang begitu lama terasa hampa, tak berarti apa-apa. Hanya membuang-buang waktu dengan percuma, tak ada hasil. Kalau seperti ini jadinya, apa gunanya aku pergi selama itu. Padahal, kepergianku dari desa ini, merantau kenegeri yang jauh, mengais rejeki kesana-kemari untuk melanjutkan hidupku. Bahkan, di sana aku hampir mati gara-gara beberapa hari tidak makan dan minum. Aku rela tidur di kolong jembatan. Kau tahu? Itu semua kulakukan hanya demi satu hal; melupakanmu.

Tak ingin berlama-lama di tempat itu dan juga tak ingin lebih lama berkabung dengan masa laluku, aku segera mengajak Tartila pulang. Ah…! Rasa-rasanya aku ingin pulang selamanya. Pulang ke tempat yang bisa membuatku tak akan bisa lagi ingat pada lelaki itu. Laki-laki yang sebenarnya tidak punya salah apa-apa. Hanya saja, aku tak tahu harus berbuat apalagi demi menyingkirkan penderitaan ini. Penderitaan yang akan selalu hadir dalam kehiduapanku selama aku masih berada di dunia ini. Jika memang seperti itu, barangkali akulah yang harus pergi lagi, pergi untuk selamanya. Agar penderitaan ini cepat selesai dan biarkan saja laki-laki itu tidak pernah tahu akan perasaanku yang sebenarnya.

Kang, semoga kau senantiasa bahagia bersama dengan istri tercintamu. Maaf jika selama ini, aku ada salah padamu. Maaf atas segala perasaanku yang sebenarnya tak pantas aku jaga keberadaannya. Sekali lagi maafkan aku.

* * *

Suasana rumah Pak Hasan pagi ini begitu ramai. Menyaksikan sekaligus melayat anaknya yang baru saja berpulang ke rahmatullah. Tak ada yang tahu penyebab kematiaanya. Padahal masih sangat muda. Yang orang ketahui, dia ditemukan tewas di kamarnya dalam keadaan tali melilit di lehernya.

Tepat di dekat jenazah, istri Pak Hasan menangis tersedu-sedu melihat anak kesayangannya sudah tak bernyawa. Tak ada pesan ataupun tanda-tanda sebelumnya bahwa dia akan meninggal secepat ini. Pak Hasan dan keluarganya hanya tahu bahwa anaknya baru pulang setelah lima tahun lamanya menghilang.

*) Santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun