Mohon tunggu...
Luthfa Arisyi
Luthfa Arisyi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Jurnalistik di Universitas Padjadjaran yang sekali-sekali suka nulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Zaman Berubah Tetapi Tidak dengan DAMRI

29 November 2022   23:14 Diperbarui: 29 November 2022   23:23 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemacetan menjadi salah satu permasalahan yang tak kunjung selesai di Indonesia terlebih di kota-kota besar seperti Kota Bandung. Kemacetan di Kota Bandung terbilang cukup tinggi, karena penggunaan kendaraan pribadi dan ditambah dengan kota yang padat penduduk membuat mobilitas dalam kegiatan sehari-hari cukup tinggi. 

Oleh karena itu pemerintah terus berupaya untuk mengurangi kemacetan di Kota Bandung dengan memanfaatkan transportasi umum. Ketika penggunaan transportasi umum ditingkatkan, maka penggunaan atas kendaraan pribadi dapat ditekan sehingga kemacetan pun berkurang.

DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia) adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang jasa transportasi darat. Salah satu cabangnya, Perum DAMRI di Bandung, memiliki segmen usaha bus kota yang merupakan salah satu jasa angkutan umum  di kota Bandung. DAMRI sendiri mulai beroperasi sejak tahun 1946. Lantas, bagaimana kualitas layanan salah satu moda transportasi umum tertua yang masih beroperasi hingga saat ini?

Berdasarkan hasil wawancara dari narasumber pertama, Shafira seorang mahasiswa dari Universitas Padjadjaran ia terbilang cukup sering menggunakan DAMRI yakni sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu untuk rute Dipati Ukur - Jatinangor, terlebih apabila ada kelas offline tambahan maka menggunakan DAMRI sudah menjadi makanan sehari-hari. 

Alasan ia masih bertahan menggunakan DAMRI di tengah pilihan menggunakan kendaraan pribadi karena awal tarif menaiki DAMRI gratis dan jarak yang ditempuh untuk ke tempat halte naik DAMRI pun dekat dengan rumah. Namun, untuk sekarang walaupun sudah dikenakan tarif biaya, mahasiswa ini masih tetap memilih untuk menaiki DAMRI karena tarifnya cukup murah dan ramah dikantung mahasiswa.

Untuk masalah fasilitas utama sendiri menurut Shafira, seperti kursi penumpang dan alat pembayaran Qris, sudah cukup memuaskan menurutnya. Namun, ada beberapa hal yang dikeluhkan dan menurut salah satu pengguna DAMRI ini perlu adanya peningkatan kualitas agar lebih nyaman dalam menggunakan DAMRI. 

Hal pertama yakni mengenai jam operasional, menurut Shafira jam operasional DAMRI kadang tidak menentu dan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan sehingga terkadang tidak dapat diprediksi kapan terakhir keberangkatan terakhirnya. Selain itu,  Shafira juga sempat bertemu dengan beberapa supir DAMRI yang kurang ramah sehingga membuat penumpang kurang nyaman.

Dari keluhan yang dialami Shafira ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan. Pertama, mengenai peningkatan efektifitas penggunaan aplikasi teman bus. Aplikasi ini seharusnya dapat memudahkan penumpang untuk mengetahui posisi bus berada dengan menunjukan keberadaan bus. 

Lalu, walaupun dengan menggunakan Qris sudah cukup tetapi alangkah baiknya apabila mesin tap on segera dipasang di seluruh DAMRI sehingga untuk transaksi pembayaran dapat dilakukan dengan lebih cepat tanpa menunggu konfirmasi seperti menggunakan Qris. Dan yang terakhir, seperti yang kita ketahui bahwa kita sedang dalam masa transisi COVID-19, sudah seharusnya dalam bus DAMRI disediakan hand sanitizer agar lebih aware terhadap masa transisi ini.

Selain Shafira, kami juga mewawancarai satu orang lagi mahasiswa, yaitu Alisha. Menurut penuturan Alisha, ia sudah lebih dari 5 kali menggunakan DAMRI rute Jatinangor-Dipatiukur. 

Awalnya ia selalu menggunakan DAMRI untuk bepergian antara Jatinangor-Bandung karena waktu itu tarifnya masih gratis. Sementara jika dibandingkan dengan moda transportasi lain yang tersedia untuk rute tersebut harganya relatif mahal. Namun, belakangan ini Alisha sudah tidak lagi memilih DAMRI sebagai opsi utama.

Bukan tanpa alasan Alisha akhirnya meninggalkan DAMRI. Ada beberapa faktor berkaitan dengan pelayanan yang membuatnya tidak nyaman ketika menggunakan DAMRI. 

Tidak berbeda jauh dengan Shafira, keluhan terbesar yang dilontarkan Alisha adalah mengenai kejelasan informasi jadwal dan trayek. Alisha merasa selama ini tidak ada informasi yang jelas mengenai jadwal keberangkatan bus sehingga ia tidak tahu kapan dan di mana ia harus menunggu DAMRI. 

"Bahkan pernah waktu itu aku mau ke Bandung dari Jatinangor untuk mengejar travel ke Jakarta, aku sampai harus berangkat 2 setengah jam sebelum keberangkatan travel aku supaya nggak ketinggalan" jelas Alisha. Pengalaman Alisha tersebut adalah buntut dari ketidakjelasan mengenai jadwal keberangkatan. Ia sampai harus menghabiskan banyak waktu untuk memastikan dapat naik ke DAMRI dalam waktu yang tepat.

Selain itu, ia juga merasa belakangan sopir-sopir DAMRI agak kurang ramah. Hal ini juga menjadi salah satu alasan Alisha berhenti menggunakan DAMRI. "Gatau kenapa akhir-akhir ini tuh tiap aku naik DAMRI, sopirnya jutek-jutek banget" tutur Alisha. Setelah merasakan kurangnya pelayananan DAMRI, Alisha kini beralih ke moda transportasi lainnya.

Alisha berharap kedepannya DAMRI dapat memperbaiki layanannya. Sama seperti Shafira, Alisha juga berharap ada perbaikan dengan aplikasi teman bus. Harapannya agar informasi mengenai jadwal keberangkatan, pemberhentian, dan trayek dapat diterima dengan jelas oleh pengguna layanan DAMRI. Selain itu, ia juga berharap agar kru yang bertugas di dalam bus DAMRI dapat lebih ramah lagi sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan di hati para penggunanya.

Melihat penuturan dari Shafira dan Alisha, dapat dikatakan bahwa DAMRI kurang bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman.   Di saat banyak bermunculan layanan transportasi umum berbasis digital seperti ojek online, taksi online dan TransJakarta yang memanfaatkan aplikasi smartphone untuk mendistribusikan informasi layanannya, DAMRI sepertinya masih terjebak di masa lalu. Seharusnya DAMRI dapat memanfaatkan teknologi yang ada untuk memaksimalkan pelayanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun