Mohon tunggu...
Lutfiya Naura Hamida
Lutfiya Naura Hamida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

membaca, memahami, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Merangkai Bahasa, Merajut Sastra

18 Desember 2024   13:18 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:16 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Apakah title "bahasa go international" dipengaruhi dengan suburnya kehidupan sastra dalam suatu bangsa? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa per 2024 Badan Bahasa Indonesia menargetkan sebanyak 200.000 lema untuk meningkatkan jumlah lema pada KBBI. Penargetan disampaikan secara langsung oleh Kepala Badan Bahasa, yaitu E. Aminudin Aziz saat diadakannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan tujuan menyuburkan kedudukan bahasa Indonesia di mata internasional sebagai suatu bentuk nyata akan adanya perkembangan dalam bangsa. Selain itu, beragamnya lema dalam suatu bahasa akan kian mempermudah seseorang dalam mengekspresikan jiwa serta pikirannya sesuai konteks dan situasi.

Meskipun dengan tujuan memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional, upaya yang dilakukan tidak semata-mata pada penyebaran bahasa Indonesia ke luar negeri melalui BIPA saja. Perlunya prioritas terhadap peningkatan literasi melalui sastra dan melakukan revitalisasi bahasa daerah di dalam negeri juga disebut. Menariknya dari upaya yang disebutkan, sastra menjadi salah satu dari ketiga prioritas yang dilakukan sehingga memang betul ada kesempatan dalam menjadikan bahasa Indonesia mampu keliling dunia dan mengudara melalui sastra.

Johann Wolfgang von Goethe, seorang sastrawan dari Jerman, berpendapat bahwa inspirasi-inspirasi dalam sastra bersumber pada kenyataan. Pandangan sastra sebagai simbol dari suatu kehidupan berarti melibatkan bahasa sebagai sistem tanda yang mewakili realitas dalam kehidupan tersebut. Jika membahas mengenai tanda, ilmu linguistik menggali pembahasannya melalui kajian semiotika.

Melalui bukunya, Sugiharti menyebutkan bahwa aspek penting dalam semiotika terdiri dari dua, yaitu sistem bahasa dan sistem sastra. Semiotika dan bahasa bermaksud menyampaikan pandangan bahasa sebagai sistem tanda dan bagaimana bahasa diinterpretasikan secara tidak terbatas. Penerapan semiotika dalam sastra pun menerapkan konsep interpretant, yaitu dalam kegiatan membedah suatu sastra memerlukan proses intrepretasi sehingga bacaannya tidak hanya sebatas tulisan, tetapi dapat dimaknai lebih dalam. Oleh karena itu, melalui sastra dapat membantu dalam pembentukan interpretasi baru dari bahasa sebagai sistem tanda sehingga memperkaya dan menambah bentuk-bentuk lema bahasa dengan makna baru.

Setelah membahas bahasa dan sastra dari sudut pandang semiotika, lantas di bagian mana sastra mampu membawa keberagaman bahasa tersebut? Sebut saja sastra selain sebagai dokumentasi dari kehidupan, sastra juga dokumentasi dari kekayaan bahasa. Kreativitas yang dilibatkan melalui sastra tidak hanya mengenai cerita dan tokoh saja, pemilihan diksi juga memperluas jangkauan maksud penulis. Sebagai contoh, puisi berjudul Husspuss karya Sutardji melibatkan diksi-diksi di luar kamus resmi, tetapi di sini lah unsur estetis diutamakan dan memunculkan atmosfir baru bagi pembaca.

Mengingat muatan sastra tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, bahasa dalam dialog bahkan narasinya mengikuti alur kondisi kehidupan sekitar. Sesuai dengan pendapat Fairclough (1982) dalam buku yang ditulis oleh Saifullah bahwa bahasa merupakan pembentuk realitas dan tercipta norma baru. Jadi, tidak menutup kemungkinan bahasa slang atau dikenal bahasa gaul muncul sebagai penambah hasrat situasi cerita. Tentunya keberadaan bahasa ini cerminan dari sesungguhnya bagaimana cara seseorang berkomunikasi selayaknya dan senyaman dirinya. Tidak usah jauh-jauh, misalnya melibatkan bahasa Gen Z dan Gen Alpha yang hari ini orang-orang masih menyinggungnya sehingga para penulis sastra memanfaatkan momen ini sebagai pembentuk keintiman antara cerita dengan penikmatnya. Maka dari itu, melalui hal ini mampu membentuk lema baru setelah melewati proses kesepakatan dengan penutur sehingga pada akhirnya kualitas sastra dan bahasa mampu diapresiasi sebagai wujud arsip budaya.

Bahasa yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat, seperti bahasa gaul, menyatakan bahwa kekayaan bahasa dalam sastra tidak cuma-cuma. Pada dasarnya tidak ada yang bisa membatasi sastra kecuali moral. Terlebih mengenai bahasa yang terus menerus bertambah karena hadirnya proses sosial seseorang menyebabkan sastra mampu diingat karena keterikatannya dengan pengalaman pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa "literature is an expression of society" yang disebutkan dalam buku Wellek dan Warren mengenai pandangan dari De Bonald. Selain itu, satu hal yang patut disyukuri sebagai warga Indonesia adalah keberagaman bentuk sastra yang tidak sebatas satu jenis saja. Novel, cerpen, puisi, babat, hikayat, mitos, bahkan drama teater maupun musikal seluruhnya tumbuh sebagai keluarga sastra di Indonesia. Keberagaman ini lah yang menjadi wujud kesempatan bahasa-bahasa baru ditampilkan atau diekspresikan dengan berbagai alternatif sehingga para penyepakat mampu memahami kegunaannya.

Pembahasan sastra dan bahasa tidak akan pernah selesai seperti kreativitas para penulis atau pengarang. Jika tidak ada bahasa, maka sastra akan kehilangan nilai dan berkurang citranya. Ibaratnya seperti peribahasa anak ayam kehilangan induknya. Sebagian orang, termasuk penulis, pendekatan melalui sastra ini yang membangun pengetahuan terhadap bahasa. Hal ini dikarenakan pengalaman penulis dan pembaca kemungkinan berbeda sehingga apa yang penulis tahu dan dituangkan melalui sastra akan sampai kepada pembaca sebagai kilatan ilmu baru. Seperti yang dikatakan oleh Budi Darma dalam bukunya, yaitu sastra mampu memancing wishful thinking kita, pembaca, karena sastra memuat impian-impian yang tidak mungkin dicapai. Sama halnya sastra dengan anak-anak menciptakan hubungan baru akan keduanya karena sastra mengenalkan dunia yang belum dirasakannya dan sastra mengajarkannya banyak hal, termasuk bahasa.

Seperti yang sudah disinggung di awal bahwa dalam upaya menumbuhkan lema diperlukan peningkatan literasi melalui sastra. Memang betul bahwa sastra membangun niat untuk literasi, terlebih jika ceritanya sesuai dengan apa yang kita sukai dan ingin baca.  Sebenarnya pengertian literasi sendiri tidak hanya mengenai kata verba dengan arti "membaca", tetapi sejauh mana seorang pembaca mampu menerima kata-kata sebagai nilai pengetahuan terpandang. Meskipun begitu, dengan kehadiran sastra sebagai seni imajinasi ini keseriusan analisis seorang pembaca akan teralihkan dengan cerita menggugah dan akan hadir setelah membaca dengan menafsirkan makna dalam cerita sastra. Kegiatan literasi tidak hanya melibatkan bacaan pembahasan kompleks, sastra dengan segudang hiburan dan cerita menariknya menjadi pembuka jalur seseorang untuk mencoba meningkatkan literasi. Namun, adanya hal ini berartikan upaya yang diutamakan oleh Badan Bahasa untuk mencapai pertumbuhan lema adalah melalui sastra tulisan saja, sedangkan apakah sastra hanya terdiri dari sastra tulisan saja?

Novel dan cerpen bagaikan saudara kembar tidak identik yang paling dikenal kedudukannya di mata masyarakat sebagai sastra menghibur. Namun, jenis sastra itu luas, tidak hanya pembagian prosa dan puisi saja. Bahasa yang disampaikan melalui sastra juga tidak secara tertulis saja, tapi secara audio dan visual selain melalui kertas.

Perkembangan sastra di Indonesia sendiri sejak dulu sudah mengenalkan kehadiran drama karena tujuannya untuk merealisasikan naskah sebagai pertunjukkan seni memukau melibatkan realisasi dialog dengan suasana yang disesuaikan dalam cerita. Bentuk ini bahkan semakin berkembang mengikuti modernitas dan keinginan masyarakat, yaitu dalam bentuk film. Mitos-mitos yang dahulu hanya mampu menjadi lisan atau folklore saja, mampu dialihkan menjadi bentuk lain yang bisa terus dilestarikan. Drama musikal juga jangan sampai dilupakan karena hari semakin hari dewasa ini orang-orang semakin terbuka untuk sastra berjenis penggabungan antara drama dan musik. Jika membahas keterikatan budayanya, wayang merupakan bentuk yang paling terikat dengan wujud kebudayaan melalui sastra dan bahasa.

Meskipun tidak secara tulisan, sastra-sastra yang disebutkan itu tetap melibatkan bahasa sebagai penyampaian ekspresi setiap dialog dan adegannya sehingga bahasa mampu dimaknai lebih lanjut. Pemaknaan akan lebih luas karena memasukkan unsur-unsur seperti mimik wajah, intonasi, dan lainnya. Oleh karena itu, pengenalan terhadap ragam sastra selain sastra tulisan ini diperlukan agar semakin banyak peluang untuk memajukkan budaya Indonesia termasuk bahasa atau lema itu sendiri.

Setelah dibahas dengan begitu rinci bagaimana hubungan antara sastra, bahasa, sampai dengan literasi, menyadarkan bahwa dalam upaya menumbuhkan lema bahasa Indonesia melalui sastra tidak se-simple bagaimana air mengalir. Bahasa yang baru dikenal, seperti bahasa gaul, mampu disampaikan melalui sastra dengan mewujudkan bentuk baru untuk mengekspresikan nilai-nilai dalam sastra itu sendiri. Namun, upaya literasi terhadap sastra tulisan yang diutamakan oleh Badan Bahasa sebagai upaya penambahan lema masih tergolong terbatas. 

Kehadiran jenis sastra lain yang masih butuh dukungan dan diperhatikan lebih pula berpeluang untuk membantu lema bahasa Indonesia bertambah bahkan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa go international. Semakin banyak yang diperkenalkan, maka semakin banyak peluang untuk memajukan kedudukan Indonesia di mata masyarakat lokal dan luar. Mengingat keberagaman sastra tidak hanya sebagai cerita yang terdiri dari kata saja, melainkan penarik bagi perkembangan bahasa Indonesia sehingga perlunya kolaborasi kesadaran masyarakat lokal dan dukungan dari Badan Bahasa Indonesia.

Referensi

Darma, Budi. (2004). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Pengelola Siaran Pers. (2024, Juni). Badan Bahasa Targetkan 200.000 Lema pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Tahun 2024. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2024/06/badan-bahasa-targetkan-200000-lema-pada-kamus-besar-bahasa-indonesia-kbbi-tahun-2024

Saifullah, Aceng R. (2019). Semiotika dan Kajian Wacana Interaktif di Internet. Bandung: UPI Press.

Sugihastuti, M.S. (2000). Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty. Bandung: Nuansa Cendekia.

Wellek & Warren. (1949). Theory Of Literature. New York: Harcourt, Brace and Company.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun