Pendidikan karakter menjadi perhatian pemerintah beberapa tahun terkahir ini. Tahun 2017 yang lalu pemerintah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter.Â
Tahun 2018, Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal.
Sebenarnya dengan terbitnya dua peraturan di atas menjadi pertanyaan besar. Ada apa dengan karakter generasi penerus bangsa saat ini? Pembaca tidak perlu menjawab. Cukup diingat dan renungkan saja beberapa peristiwa yang belakangan viral di kanal youtube, televisi atau berita di media cetak yang berkaitan dengan karakter negatif. Misalnya saja, kasus tawuran, geng motor, perundungan dan masih banyak lagi. Perilaku semacam ini tidak hanya sekali, namun sudah berkali-kali setiap tahun ada saja.
Kasus lain yang bekaitan dengan karakter negatif tentu masih banyak, baik yang terekspos ataupun yang tidak.Â
Bahkan, saat ini kekerasan tidak hanya berbentuk fisik dalam dunia nyata. Kekerasan dapat terjadi secara virtual seperti ujaran kebencian, makian, dan penghinaan.Â
Persoalan-persoalan semacam ini menjadi PR besar bagi setiap lini kehidupan, mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, dan keluarga.Â
Sinergi dari berbagai lini kehidupan sangat diperlukan untuk menyongsong generasi emas tahun 2045 dengan harapan generasi penerus bangsa memiliki karakter positif atau karakter pancasila.Â
Sukatin & M. Shoffa Saifillah Al-Faruq (2021) menyebutkan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis peserta didik.Â
Dari pengertian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan karakter adalah satu bentuk upaya dalam menumbuhkan karakter yang lebih baik bagi peserta didik. Karakter baik tersebut diharapkan dapat tercermin dalam bentuk tingkah laku baik secara individu maupun bermasyarakat.
Berdasarkan peraturan-peraturan yang telah disebutkan di atas, pendidikan karakter dapat diselenggarakan oleh tripusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Tripusat pendidikan sebagai garda terdepan dalam pendidikan karakter tidak bisa berjalan terpisah. Misalnya saja ketika anak telah memasuki usia sekolah, ada sebagian orang tua yang memasrahkan sepenuhnya kepada sekolah sehingga perkembangan anak kurang diperhatikan. Dalihnya yang penting sudah bayar sesuai ketentuan sekolah dan itu dianggap selesai.
Padahal jika mengutip ungkapan "rumahku surgaku" yang syarat makna, maka seharusnya rumah dapat menjadi taman yang menyenangkan.Â
Rumah seharusnya dapat menjadi ruang pendidikan pertama dan seterusnya dalam usaha mencapai kebahagiaan hidup setiap anggota keluarga di dalamnya.Â
Oleh karena itu, bimbingan orang tua sekaligus guru di rumah sangat diperlukan dalam usaha menciptakan generasi yang tidak hanya memiliki kecerdasan saja, tetapi jauh lebih dari itu yaitu anak-anak juga memiliki nilai-nilai karakter positif dalam dirinya.
Kekompakan orang tua dalam mendidik anak menjadi modal dasar dalam keluarga. Orang tua dalam hal ini ayah dan ibu tidak bisa bekerja sendiri, keduanya perlu bersama-sama membangun lingkungan pendidikan di rumah yang penuh makna.Â
Dengan begitu, anak akan merasa nyaman mengenyam pendidikan di lingkungan pendidikan pertamanya. Dalam usaha penanaman pendidikan karakter di lingkungan keluarga, beberapa cara berikut dapat dijadikan alternatif pilihan, di antaranya adalah keteladanan, pembiasaan, motivasi, nasihat dan hukuman (Dicky Setiardi: 2017).
Keteladanan
Anak adalah peniru yang baik. Setiap saat anak akan melihat objek yang ada di depannya kemudian apa yang dilihat akan direkam dalam memori anak.Â
Dari hasil rekaman tersebut, sewaktu-waktu anak juga akan mempraktikkan apa yang telah terekam. Misalnya saja, ketika orang tua sering mengajak anak untuk berada di sampingnya saat melakukan ibadah, maka anak akan melihat dan pada kesempatan tertentu si anak akan mempraktikkan gerakan-gerakan dalam ibadah tersebut meskipun belum sempurna.
Selain secara visual, anak juga dapat merekam ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seseorang melalui pendengaran. Jika yang didengar adalah kata-kata tabu seperti umpatan anjing, jancok, fuck, dan lainnya, maka anak akan meniru apa yang diucapkan oleh orang lain. Begitupun sebaliknya jika yang sering didengar adalah hal-hal baik, maka anak akan mengucapkan hal-hal baik pula.
Contoh-contoh seperti yang disebutkan di atas sejalan dengan teori belajar sosial Albert Bandura. Bandura menyebutkan bahwa suatu perilaku belajar adalah hasil dari kemampuan individu memaknai suatu pengetahuan atau informasi, memaknai suatu model yang ditiru, kemudian mengolah secara kognitif dan menentukan tindakan sesuai tujuan yang dikehendaki (Herly Janet Lesilolo: 2018).
Dalam lingkungan keluaraga, orang tua menjadi pendidik dan model pertama pendidikan karakter. Anak akan meniru apa yang dilakukan dan diucapkan oleh orang tua.Â
Maka dari itu, sudah seyogianya orang tua menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat memperlihatkan contoh-contoh perilaku dan ucapan secara sopan dan santu. Orang tua juga dapat menunjukkan karakter peduli, kerjasama, beribadah, dan lainnya terhadap anak.
Pembiasaan
Ketika anak sudah mampu menangkap berbagai contoh penguatan pendidikan karakter, selanjutnya orang tua tinggal berupaya membiasakan si anak untuk terus mengamalkan apa yang telah diperolehnya. Proses pembiasaan munkin butuh waktu yang lama agar benar-benar tertanam dalam diri anak.Â
Dalam proses yang lama inilah kesabaran dan ketelatenan orang tua perlu ditingkatkan, Oleh karena keterbatasan, anak kadang lupa dengan apa yang seharusnya dilakukan atau anak merasa berat untuk melakukannya.
Pembiasaan karakter positif di rumah dapat dilakukan dari hal-hal kecil yang ada di sekitar anak. Misalnya, pembiasaan mengucapkan salam ketika hendak pergi ke luar rumah ataupun datang dari luar.Â
Pembiasaan lainnya seperti membaca doa sebelum dan sesudah makan, merapikan tempat tidur , menjaga kebersihan, membantu orang tua dan lainnya.Â
Jika pembiasaan ini berjalan dengan baik, contoh karakter tersebut akan menjadi otomatis dan membudaya dalam diri dan kehidupan anak. Anak akan merasa tidak nyaman bahkan merasa bersalah ketika tidak menerapkan karakter positif yang telah menjadi kebiasaannya.
Hadiah dan Hukuman
Hadiah dan hukuman berkaitan dengan psikologi anak. Secara psikologi anak akan merasa senang jika apa yang dilakukan itu dihargai. Sebaliknya anak akan merasa apa yang dilakukan tidak ada gunanya ketika yang dilakukan tidak dihargai. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, saat anak selesai merapikan tempat tidurnya dan kemudian lapor kepada ayah atau ibunya lalu si ayah atau ibu merespons dengan "Bagus, anak ibu memang pinter", maka anak akan merasa senang.Â
Anak akan merasa termotivasi untuk melakukan kegiatan tersebut setiap waktu. Namun, jika ayah atau ibu justru merespons negatif, misalnya "Apaan sih kamu." anak akan merasa sia-sia dan keesokan harinya akan merasa malas untuk melakukan kegiatan tersebut.
Hadiah yang diberikan kepada anak sejatinya tidak perlu sesuatu yang besar dan mewah. Pujian-pujian terhadap anak ketika anak melakukan sesuatu yang baik akan memberikan kesan positif dalam memori anak, sehingga anak akan melalukan pengulangan-pengulangan kegiatan positif tersebut. Hadiah besar seperti membelikan sesuatu secara berulang kali ketika anak berhasil dalam satu hal justru dapat menjadi boomerang bagi orang tua. Â
Anak akan melakukan sesuatu bukan karena seharusnya dilakukan tetapi bisa juga karena motif ingin mendapat hadiah besar, sehingga jika hadiahnya tidak ada, anak tidak akan melakukan sesuatu yang positif lagi.
Selain hadiah, hukuman dapat memiliki manfaat besar agar anak melakukan hal-hal positif. Bedanya dengan hadiah, hadiah diberikan kepada anak saat anak melakukan hal-hal positif, sedangkan hukuman diberikan kepada anak saat anak melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Hukuman dapat diberikan oleh orang tua dengan ketentuan bahwa hukuman tersebut sifatnya mendidik. Hukuman yang tidak mendidik akan memberikan kesan pada anak bahwa orang tuanya tidak menyayanginya. Anak akan merasa takut untuk melakukan sesuatu.Â
Lebih lanjut lagi, anak akan merasa benci kepada orang tuanya. Orang tua dapat menegur si anak saat anak melakukan kesalahan. Selain teguran, orang tua dapat meminta anak untuk membantu mencuci piring sebagai hukuman. Dengan begitu, orang tua juga telah mengajarakan hidup bersih.Â
Motivasi
Motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan dengan maksud memperolah sesuatu yang diharapkan.Â
Motivasi ini bisa timbul karena dalam diri sendiri atau dari luar. Motivasi sangat diperlukan oleh setiap individu. Jika tidak ada motivasi baik dari dalam diri maupun dari luar, maka akan merasa enggan untuk memperoleh sesuatu atau bangkit dari kegagalan.
Sama halnya dengan anak, anak akan melakukan sesuatu manakala dari dalam dirinya terdapat motivasi yang kuat untuk memperoleh, menyelesaikan atau melakukan sesuatu.Â
Motivasi dalam diri seringkali naik turun, jika posisi naik akan semangat dan sebalikanya jika turun maka akan merasa malas.Â
Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting untuk memberikan motivasi kepada anak dalam usaha penguatan karakter dalam diri anak. Motivasi orang tua sangat dibutuhkan oleh anak, lebih-lebih saat semangat anak menurun atau anak mengalami kegagalan.
Motivasi yang diberikan kepada anak dapat dibagi menjadi dua yaitu motivasi materi dan non materi. Motivasi materi dapat berbentuk barang-barang yang diberikan kepada anak, contohnya alat tulis dan buku bergambar yang diberikan kepada anak saat anak selesai ujian. Sementara itu, motivasi non materi dapat berupa pujian yang bertujuan untuk penguatan diri anak.
Sebagai simpulan, pendidikan karakter dalam lingkungan keluarga sejatinya adalah akar pendidikan karakter anak sebelum dimasukkan ke sekolah dan terjun ke masyarakat.Â
Akar harus kuat untuk menopang batang dan ranting, karena itu peran penting orang tua sebagai guru dan model pertama bagi anak perlu memiliki rancangan program pendidikan karakter anak. Perencanaan dan pendidikan yang matang dapat dimulai dari anak sejak dalam kandungan dan seterusnya.Â
Dengan perencanaan dan pendidikan yang matang, rumah akan menjadi sebener-benarnya surga yang menyenangkan karena di dalamnya terdapat suri tauladan yang mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H