Sudah disebutkan sebelumnya bahwa kegiatan ospek beberapa kali dilakukan dengan cara yang tidak aman dan nyaman. Tidak aman dalam artian Kegiatan tersebut tidak lepas dari  ancaman kekerasan mental dan fisik, sedangkan tidak nyaman sebagai akibat dari kurang baiknya perlakuan pihak panitia, kurang kondusifnya lingkungan kampus, serta sambutan yang kurang hangat oleh  warga lama terhadap warga baru di kampus.
Beberapa kasus dapat menjadi contoh pelaksanaan ospek masih belum sepenuhnya jauh dari kekerasan. Misalnya, dimulai dari kasus terbaru yaitu di salah satu kampus negeri di Surabaya yaitu Unesa, dalam pelaksanaan ospek, pihak panitia melakukan kekerasan verbal dengan cara membentak salah satu mahasiswa.
Kejadian itu terjadi beberapa waktu lalu dan beredar luas di pemberitaan nasional. Kasus itu bermula saat salah satu panitia meminta mahasiswa baru menunjukkan ikat pinggangnya. Namun, salah satu mahasiswa baru tidak memakai ikat pinggang. Melihat hal itu mulailah panitia ospek membentak  si mahasiswa baru tersebut.
Selain kasus di Unesa, jika ditarik mundur ke belakang pada tahun 2019 kasus kekerasan dan perpeloncoan juga pernah terjadi. Masih segar dalam ingatan kita, praktik kekerasan dan perpeloncoan dilakukan oleh panitia ospek di Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara. Mahasiswa baru di kampus tersebut di suruh meminum air yang disediakan panitia lalu meludahkannya kembali. Setelah itu, air bekas tadi digilir ke mahasiswa baru lainnya dan melakukan hal yang sama. Jelas, perasaan geli, jijik, hingga mual-mual dirasakan mahasiswa baru yang meminumnya.
Selanjutnya, jika ditarik lebih jauh lagi ke belakang, maka kita akan menemukan kasus yang lebih parah yaitu pada tahun 2013. Kasus meninggalnya salah satu mahasiswa IPDN Sulawesi Utara membuat geger tanah air, khususnya di lingkungan pendidikan. Meninggalnya mahasiswa IPDN tersebut rupanya terjadi akibat kekerasan yang diterima saat masa orientasi.
Kasus lainnya tentu masih banyak, namun tiga kasus yang telah disebutkan rasanya sudah cukup menjadi bahan evaluasi pendidikan kita. Selain itu, berbagai kasus yang terjadi menjadi penanda bahwa pendidikan kita sejauh ini belum bisa lepas dari tindak kekerasan baik fisik maupun verbal. Tentu dengan berbagai kekerasan dan perpeloncoan  yang terjadi akan merusak citra pendidikan terlebih kampus dimana mereka menimba ilmu.
Seputar faktor kekerasan
Pertanyaan berikutnya, faktor apa sih yang melatarbelakangi perilaku kekerasan muncul dalam kegiatan ospek? Kita bisa melihat tak ada asap kalau tidak ada api. Begitu juga dengan ospek, pasti ada yang faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan. Beberapa faktor berikut sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan saya selama menjadi peserta dan panitia ospek semasa kuliah dulu.
Ajang unjuk gigi. Hadirnya mahasiswa baru menjadi suatu keberkahan tersendiri bagi mahasiswa lama di suatu kampus. Dalam menyambut mahasiswa baru itulah satu agenda wajib dilaksanakan yang kita sebut ospek. Mahasiswa lama dipilih dan disaring untuk menjadi panitia ospek, sehingga tidak ayal untuk menjadi panitianya terkadang harus berebut kursi.
Terpilih menjadi panitia ospek membawa citra positif. Setidaknya dengan dipilih menjadi panitia ospek, anggapan sebagai orang yang memiliki peran besar di kampus terpatri pada si terpilih menjadi panitia. Nah, disinilah terkadang menjadi ajang unjuk gigi bagi para senior untuk menunjukkan kebolehan dan kekuasaannya.Â
Senior yang merasa lebih dulu dan lama di kampus akan beraksi dengan begitu agresif sehingga memungkinkan untuk melakukan tindak kekerasan. Apalagi, jika melihat sedikit saja kesalahan pada mahasiswa baru dan tidak mampu mengendalikan diri, maka si mahasiswa baru akan menjadi bulan-bulanan kejengkelan. Umumnya, tindakan semacam ini tidak dilakukan sendiri, tetapi bisa dua orang  atau lebih.