Pandangan yang keliru
Mari alihkan sejenak pandangan kita kepada anak kecil yang sedang belajar berjalan atau anak kecil yang sedang belajar naik sepeda. Kita dapat mengambil pesan dari semangatnya belajar, semangat mencoba meski mereka beberapa kali jatuh dan bersimpuh. Mereka kadang tidak peduli kalau lututnya harus lecet dan lebam. Pada intinya mereka akan bisa berjalan dan naik sepeda.
Anak-anak yang belajar berjalan atau naik sepeda tidak berpandangan bahwasannya berjalan itu susah dan bersepeda itu rumit. Mereka tidak peduli kalau harus jatuh berkali-kali dan menyurutkan niat mereka agar bisa berjalan dan bersepeda. Hingga pada akhirnya mereka pun bisa dan orang tuanya turut bangga.
Anak-anak kecil tersebut yang tidak memandang sulitnya belajar berjalan dan naik sepeda setali tiga uang dengan kegiatan menulis. Menulis amatlah mudah jika ada kemauan dan percobaan yang rutin. Pandangan tentang susahnya menulis hanya bagi orang yang enggan untuk mencobanya dan bersabar dalam mempraktikannya.
Pandangan tentang menulis itu susah merupakan pandangan yang keliru. Secara sederhana, kita telah mengetahui jumlah huruf alfabet dalam bahasa Indonesia sebanyak 26 dengan 5 huruf vokal dan 21 huruf konsonan.Â
Dalam kehidupan sehari-hari, kita telah menggunakan huruf-huruf tersebut ketika berbahasa baik dalam bahasa tulis maupun lisan. Kita dapat membayangkan betapa mudahnya bukan bermain-main dengan huruf sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari?
Sebatas impian
Pernah rasanya ketika mengikuti seminar dan penyajinya adalah penulis-penulis buku best seller macam Asma Nadia dan Tere Liye tiba-tiba muncul perasaan tergugah untuk menulis. Perasaan tersebut menggebu-gebu dan rasanya ingin segera dihadapan komputer atau laptop. Namun, setelah acara seminar selesai, malah perasaan tersebut selesai pula.
Pernah juga merasa tergugah ketika membaca novel romantis seperti Dilan, lly From 3800 FT, Â Dear Nathan dan novel romantis lainnya. Novel-novel tersebut seperti memberi pengaruh positif untuk menuliskan guratan kisah pembaca di atas lembaran. Akan tetapi, setelah selesai membaca, pembaca tak kunjung menuliskannya.
Apa yang terjadi? Mengapa cita-cita ingin menuliskan kisah hidup tidak terealisasi? Jawabannya barangkali apa yang diinginkan hanya sebatas impian. Dalam artian, keinginan yang menggebu tidak diikuti dengan tindakan nyata. Sebab, kita tahu bahwasannya menulis yang sifatnya aktif produktif tidak akan selesai jika hanya sebatas mimpi yang ada di angan-angan.
Menulis memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak seinstan memasak mie instan. Latihan menjadi modal penting bagi siapa saja yang ingin menulis atau bahkan menjadi penulis. Menulis akan terasa susah dan tak kunjung selesai manakala hanya sebatas impian.