Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca sepintas hasil penelitian Lukman Solihin (2019). Dalam penelitian tersebut disebutkan jika minat baca Indonesia tergolong rendah.Â
Hasil penelitian tersebut seperti mengamini hasil PISA tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Hasil PISA tahun 2018 untuk membaca menunjukkan Indonesia berada di urutan 72 dari 78 negara dengan skor 371. Dengan begitu, terpaksa kita harus mengelus dada karena belum ada peningkatan hasil tes dan kemampuan membaca.
Untungnya tes PISA untuk kemampuan membaca  ditujukan kepada anak-anak usia 15 tahun. Artinya, usia tersebut adalah usia produktif dan masih sekolah. Kita dapat membayangkan jika itu ditujukan kepada orang dewasa dengan usia 30 tahun, bukan tidak mungkin hasil tesnya lebih rendah lagi. Sebab, orang dewasa biasanya sudah sibuk dengan pekerjaan daripada membaca.
Saya pribadi mengakui minat baca saya rendah. Buku-buku yang dibeli hanya menjadi tumpukan penghias rumah, sehingga bebepa rekan saya menyebut saya bibliomania.Â
Membaca merupakan sesuatu yang mudah untuk diserukan tapi susah untuk dipraktikkan. Kalau pun dipraktikkan, istiqomahnya yang berat. Berbeda dengan yang memang sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian, akan merasa ada sesuatu yang kurang kalau tidak membaca.
Dalam membaca ada saja cobaannya. Cobaannya bisa datang dari diri sendiri dan dari luar. Cobaan dari diri sendiri seperti suka menunda, mata mengantuk, dan hilang mood membaca.Â
Dari luar misalnya bullying teman seperti kutu buku dan sok rajin, ajakan teman untuk nongkrong, media sosial dan bermain gim. Akibatnya, rencana semula yang ingin membaca akhirnya pun gagal.
Ketidakbiasaan membaca berdampak pada keterampilan bahasa lainnya, yaitu menulis. Keterampilan yang satu ini menurut saya memang keterampilan yang paling sulit daripada tiga keterampilan bahasa lainnya.Â
Perlu membaca berbagai jenis sumber bacaan dan diskusi dengan orang lain untuk menemukan ide dan menyusunnya ke dalam bentuk kalimat-kalimat.
Setelah kalimat-kalimat tersusun menjadi paragraf masalah tak lantas selesai, kadang harus berperang dengan rasa tidak percaya diri untuk dibaca orang lain. Bagi yang percaya diri, barangkali tinggal unggah saja.Â
Namun, bagi yang tidak percaya diri bisa sampai satu hari bergelut dengan pikiran sendiri menentukan pilihan unggah atau tidak. Syukur kalau keputusannya diunggah, tetapi kurang beruntung yang memilih tidak diunggah karena hanya akan jadi simpanan pribadi.
Setelah diunggah, masalah lain muncul dibaca orang lain apa tidak? Kalau dibaca berapa jumlah pembacanya? Rasa syukur kalau pembacanya banyak, tetapi ada juga yang ciut jika sedikit atau tidak ada yang membaca sama sekali tulisan yang dibuat. Saat itulah pertaruhan dimulai, antara lanjut untuk menulis atau berhenti dan trauma menulis.
Getir-getir seperti itulah yang dirasakan saat menulis, terlebih bagi yang masih amatiran seperti saya. Kurangnya minat membaca dan ketidakpercayaan diri yang terus menghantui. Jadi, mohon pemakluman pada pembaca jika tulisan saya kurang bernas, kurang menginspirasi dan terdapat berbagai kesalahan dalam ejaan karena kurang baik dan benar.
Usaha menulis memang tidak semudah membalikkan telor di atas penggorengan. Perlu usaha ekstra dan banyak minum suplemen bacaan seperti buku, koran, majalah baik digital maupun cetak.Â
Lantas bagaimana dengan yang ingin menulis tapi minat baca rendah? Jawabannya bisa dan tidak masalah! Yang menjadi masalah jika tidak mempunya keinginan menulis dan membaca. Ambyar!
Syarat sah membaca dan menulis itu adalah mulai, sebab keduanya praktik bukan sekadar teori. Dalam percintaan, teori atau kata-kata adalah pemanis untuk melanggengkan hubungan, sementara bentuk kasih sayang adalah praktiknya. Oleh karenanya, melanggengkan hubungan dengan buku dan pulpen membutuhkan praktik.
Kembali kepada pertanyaan sebelumnya, bagaimana jika ingin menulis tapi tidak suka membaca? Jawabannya bisa. Â Pada kasus tersebut kita tidak dapat memaksa seseorang untuk membaca agar bisa menulis, tetapi kita hanya dapat memberikan motivasi dan solusi untuk masalahnya.
Pada umumnya orang membaca bertujuan untuk menulis. Dengan membaca, seseorang berharap dapat memeroleh informasi untuk ditulis, manambah dan mempelajari kosakata, dan menambah pengetahuan tentang cara menulis. Bagi yang tidak suka, tujuan tersebut dapat diubah menjadi menulis untuk membaca.
Praktik semacam ini pernah saya lakukan saat pertama kali saya menulis. Suatu waktu keinginan untuk menulis menguat, tetapi minim minat baca. Karena keinginan tetap kuat, akhirnya saya beranikan menulis topik dan judul.Â
Selanjutnya, saya menuliskan beberapa kalimat yang membentuk satu paragraf dan terhenti karena kehabisan stok pembahasan untuk paragraf berikutnya.
Karena kehabisan stok pembahasan, mau tidak mau memaksa saya membuka mesin pencari google dan mencari materi yang sesuai dengan topik yang dibahas.Â
Beberapa artikel saya unduh kemudian dibaca untuk menyambung pokok pembahasan di paragraf kedua dan seterusnya dari tulisan yang saya buat. Dari kegiatan yang awalnya menulis kemudian mencari inilah sebenarnya telah mengajak saya untuk membaca tulisan orang lain.
Kebiasaan mencari dan membaca sebagai pendukung tulisan sendiri sampai saat ini memberikan pengaruh terhadap kebiasaan membaca. Akibat mencari dan membaca secara terus menerus seperti membangun kebiasaan baru yaitu kebiasaan membaca.Â
Jika sudah terbangun kebiasaan membaca, penulis dapat berkreasi di antara dua tujuan yaitu membaca untuk menulis atau sebaliknya menulis untuk membaca. Ide-ide akan selalu muncul untuk dibaca dan ditulis.
Membaca untuk menulis atau menulis untuk membaca sebenarnya menjadi sebuah pilihan bagi setiap orang. Intinya adalah adanya dua kegiatan yang dipraktikkan untuk menghasilkan seberkas pengetahuan yang tersimpan dalam otak dan tulisan. Yang paling penting dari keduanya adalah tindakan, yaitu tindakan untuk membaca dan menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H