Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kelas-kelas Pendidikan

4 Mei 2020   10:47 Diperbarui: 4 Mei 2020   10:47 3396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan di pelosok | Sumber: Tribunnews.com

"Kata ibu, sekolah itu menyenangkan. Lagipula eksklusif! Kalian tentu tahu artinya. Hanya anak orang kaya saja yang bersekolah di situ. Semuanya anak-anak yang kenal sopan santun. Setiap murid mendapat kamar tidur sendiri-sendiri, begitu pula kamar untuk belajar..."

Begitulah sekilas ucapan Frances yang ditujukan kepada Patricia dan Isabel O'Sullivan dalam buku Si Kembar Di Sekolah Yang Baru, karya Enid Blyton. Si kembar Pat dan Isabel berbeda sekolah dengan Frances, karena orangtuanya telah memilihkan sekolah yang dianggap cocok untuk mereka berdua.

Pilihan sekolah yang merepotkan tentu dialami setiap orang yang telah lulus dan hendak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang langsung di terima di sekolah A. Ada juga yang maunya di sekolah A tapi jatuhnya ke sekolah B. 

Nahasnya, ada yang putus sekolah karena tidak diterima di sekolah impiannya dan kokoh dengan pendiriannya ingin sekolah sesuai dengan impiannya tersebut.

Di Indonesia saban tahun anak-anak dihadapkan pada pilihan tersebut. Secara umum anak-anak menginginkan sekolah yang terbaik untuk mereka. Terbaik dari segi pelayanan, sarana dan prasarana, dan kualitas belajar mengajar. 

Akan tetapi, tidak semua anak akan tertampung di sekolah yang dianggap terbaik itu. Beberapa kendala sering menjadi tembok penghalang impian mereka.

Disparitas ekonomi, kompetensi, geografis, dan label sekolah itu sendiri yang menjadi penghalang. Disparitas itu akhirnya memunculkan kelas-kelas pendidikan, yang selanjutnya akan saya sebut kelas-kelas sekolah. Disparitas itu pula nantinya akan menimbulkan sekat-sekat antarkelas sekolah.

Pembicaraan Frances dengan Pat dan Isabel sama halnya dengan permbicaraan anak-anak yang baru lulus sekolah di Indonesia. Misalnya, saya akan masuk sekolah ini, saya mau masuk sekolah itu. Saya tidak mau masuk sekolah itu karena ini. 

Pembicaraan itu pula menunjukkan adanya kelas berdasarkan ekonomi, sehingga muncullah istilah sekolahnya orang kaya dan sekolahnya orang miskin.

Sekolah orang kaya adalah sekolahnya orang yang bermodal sehingga untuk urusan fasilitas, pelayanan, sarana dan prasarana, dan kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan sekolah tidak menjadi persoalan. Sebenarnya, sekolah seperti ini dapat dilihat sekilas dari bentuk fisik bangunannya yang biasa didesain sebagus dan semenarik mungkin.

Berbeda dengan sekolah orang kaya, sekolah orang miskin masih menjadi persoalan hingga saat ini. Banyak anak-anak yang tidak dapat mengakses pendidikan berkualitas. 

Bahkan, dilansir dari tempo.co saat ini masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Salah satu faktor yang menyebabkan putusnya sekolah adalah kemiskinan.

Martono, Puspitasari, dan Wardiyono (2018) dalam Kematian Sekolah Swasta membagi kelas sekolah menjadi dua, yaitu kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas biasanya memasuki sekolah negeri atau swasta yang mahal dan berkelas. Individu kelas bawah cenderung memilih sekolah swasta murah dan bahkan tidak sedikit pula yang cenderung memilih berhenti sekolah.

Agaknya kesenjangan antara dua kelas itu dapat kita lihat saat ini. Saat pendidikan kita diuji oleh pandemi covid-19 dan dikeluarkannya kebijakan pembelajaran daring. Kita dapat menyaksikan kerepotan orang tua dalam menyediakan paket seluler. 

Barangkali bagi kelas atas atau orang kaya harga paket bukanlah masalah, tetapi bagi kelas bawah atau miskin justru sebaliknya. Jangankan paket, perangkat gawainya saja ada yang tidak memiliki.

Kelas lain sekolah kita dapat ditentukan dari letak geografis, yang dapat dibagi menjadi sekolah kota, sekolah desa dan sekolah pelosok. Perbedaan sekolah di desa dan di kota pernah penulis rasakan. Di kota, gedung-gedung sekolah tegak mentereng, perpustakaan mudah dijumpai di sekolah dan perpustakaan umum. 

Buku-buku bacaan mudah di temui baik di toko besar maupun lapak pinggir jalan. Di kota juga, akses internet begitu mudah, selain sekolah, perpustakaan umum, di tempat-tempat tongkrongan juga menyediakan internet.

Sementara itu di desa, akses untuk memeroleh buku bacaan cenderung kurang lengkap. Internet tidak usah ditanya lagi, kalau pun ada hanya sekolah yang dikategorikan maju yang menyediakan internet. Belum kelar urusan fasilitas dan pelayanan, sekolah yang ada di desa kadang kekurangan siswa. Hingga akhirnya, opsi regrouping menjadi alternatif.

Potret pendidikan dengan fasilitas lengkap dan pembelajaran yang didukung dengan berbagai media pembelajaran daring seperti sekarang ini akan sulit kita jumpai di sekolah pelosok. 

Kita dapat melihat sendiri di layar kaca televisi dan media cetak bagaimana keadaan sekolah di pelosok negeri dengan fasilitas seadanya mereka tetap semangat untuk belajar. 

Akses yang sulit menuju sekolah tak menjadi hambatan untuk mereka berangkat menuntut ilmu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mereka belajar saat covid-19 menguji ketahanan pendidikan kita saat ini?

Dari segi kompetensi, kita dapat melihat ketika saat anak-anak akan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Kadang terceletuk obrolan antarsiswa, seperti "di sana siswanya pintar-pintar dan tes masuknya sulit." 

Obrolan seperti itu menandakan adanya kompetensi yang sangat diperhitungkan oleh sekolah tujuan. Akhirnya, anak-anak yang merasa tidak mampu dari segi kompetensi akan mengalihkan pilihannya ke sekolah yang lebih ringan persyaratannya baik negeri maupun swasta.

Akibat dari sistem yang seperti itu, muncullah istilah sekolah favorit. Sekolah favorit menyeleksi dan menerima siswa berdasarkan kompetensinya, bahkan ada yang tanpa tes karena prestasinya. Adanya sekolah favorit menjadikan sekolah non favorit sebagai alternatif kedua. 

Namun, semenjak diberlakukannya sistem zonasi, perlahan-lahan sekolah favorit dan non favorit dihilangkan, sehingga penerimaan siswa baru berdasarkan zona.

Akhir kata, sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerataan pendidikan masih menjadi sesuatu yang urgen hingga saat ini. Adanya kelas-kelas pendidikan atau sekolah sebagai indikasi bahwa pendidikan belum merata sepenuhnya. Kesenjangan pendidikan antara di kota, desa, dan pelosok, kaya dan miskin, sebagai potret wajah pendidikan kita. 

Kita menyadari bahwasanya memang tidak mudah mewujudkan itu, perlu usaha keras, modal yang besar dan waktu yang panjang. Akan tetapi, dengan semangat gotong royong dan merdeka belajar semoga semuanya tercapai.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun