"Kata ibu, sekolah itu menyenangkan. Lagipula eksklusif! Kalian tentu tahu artinya. Hanya anak orang kaya saja yang bersekolah di situ. Semuanya anak-anak yang kenal sopan santun. Setiap murid mendapat kamar tidur sendiri-sendiri, begitu pula kamar untuk belajar..."
Begitulah sekilas ucapan Frances yang ditujukan kepada Patricia dan Isabel O'Sullivan dalam buku Si Kembar Di Sekolah Yang Baru, karya Enid Blyton. Si kembar Pat dan Isabel berbeda sekolah dengan Frances, karena orangtuanya telah memilihkan sekolah yang dianggap cocok untuk mereka berdua.
Pilihan sekolah yang merepotkan tentu dialami setiap orang yang telah lulus dan hendak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang langsung di terima di sekolah A. Ada juga yang maunya di sekolah A tapi jatuhnya ke sekolah B.Â
Nahasnya, ada yang putus sekolah karena tidak diterima di sekolah impiannya dan kokoh dengan pendiriannya ingin sekolah sesuai dengan impiannya tersebut.
Di Indonesia saban tahun anak-anak dihadapkan pada pilihan tersebut. Secara umum anak-anak menginginkan sekolah yang terbaik untuk mereka. Terbaik dari segi pelayanan, sarana dan prasarana, dan kualitas belajar mengajar.Â
Akan tetapi, tidak semua anak akan tertampung di sekolah yang dianggap terbaik itu. Beberapa kendala sering menjadi tembok penghalang impian mereka.
Disparitas ekonomi, kompetensi, geografis, dan label sekolah itu sendiri yang menjadi penghalang. Disparitas itu akhirnya memunculkan kelas-kelas pendidikan, yang selanjutnya akan saya sebut kelas-kelas sekolah. Disparitas itu pula nantinya akan menimbulkan sekat-sekat antarkelas sekolah.
Pembicaraan Frances dengan Pat dan Isabel sama halnya dengan permbicaraan anak-anak yang baru lulus sekolah di Indonesia. Misalnya, saya akan masuk sekolah ini, saya mau masuk sekolah itu. Saya tidak mau masuk sekolah itu karena ini.Â
Pembicaraan itu pula menunjukkan adanya kelas berdasarkan ekonomi, sehingga muncullah istilah sekolahnya orang kaya dan sekolahnya orang miskin.
Sekolah orang kaya adalah sekolahnya orang yang bermodal sehingga untuk urusan fasilitas, pelayanan, sarana dan prasarana, dan kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan sekolah tidak menjadi persoalan. Sebenarnya, sekolah seperti ini dapat dilihat sekilas dari bentuk fisik bangunannya yang biasa didesain sebagus dan semenarik mungkin.
Berbeda dengan sekolah orang kaya, sekolah orang miskin masih menjadi persoalan hingga saat ini. Banyak anak-anak yang tidak dapat mengakses pendidikan berkualitas.Â