Mohon tunggu...
Lutfi Febri
Lutfi Febri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Berpolitik islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Skripsi Berjudul Diskresi Hakim dalam Memutuskan Perkara Dispensasi Muhamad Iqbal - UIN Raden Mas Said Surakarta

19 Mei 2024   08:56 Diperbarui: 19 Mei 2024   09:25 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama : Lutfi Febri Susanto

NIM / KELAS : 222121081 / HKI 4C

REVIEW SKRIPSI BERJUDUL DISKRESI HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA DISPENSASI NIKAH KARYA MUHAMAD IQBAL - UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA 2022

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami istri. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, cammon law, maupun Islamic law. Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalamnya mengatur beberapa asas yang dapat berfungsi sebagai penghambat dan mengatur sedemikian rupa dalam pasal-pasalnya guna mencegah terjadinya pelanggaran, baik terhadap asas-asas maupun terhadap norma-norma yang terjelma dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan.

Meskipun perkawinan udah diatur dalam undang undang terutama tentang batas usia, akan tetapi dalam masyarakat sering ditemukan pasangan yang belum mencapau batas usia minimal pernikahan yang hendak melakukan pernikahan. Kenyataan sosial dari masyarakat yang memberikan alasan tersebut yang membuat undang undang yang ada mengaturnya, dengan cara dispensasi nikah.

Secara yuridis permasalahan dispensasi nikah sudah diatur di dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di dalam tetapi tidak secara mendetail yang bisa dijadikan sumber hukum materiil bagi hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan permohonan dispensasi nikah. Oleh karena itu, para hakim dengan kewenangan dan otoritas yang dimilikinya akan melakukan penyimpangan hukum dengan permasalahan dispensasi nikah yang dihadapi. Sebagaimana terdapat dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 menyebutkan "hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

ALASAN MEMILIH JUDUL SKRIPSI INI

Skripsi ini menarik untuk direview karena dilihat dari judul dan latar belakang sudah membuat pembaca sangat penasaran akan pembahasannya, dengan pembahasan yang belum familiar dikalangan masyarakat ini juga membuat skripsi ni menjadi nilai plus untuk dibahas.

PEMBAHASAN

Penulis memberikan Tinjauan umum dispensasi nikah dan diskresi hakim yang dibagi kedalam beberapa poin

A. Dispensasi Nikah

Dispensasi merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan sesuatu hal yang istimewa. Kebijakan tersebut berkaitan dengan peraturan ataupun perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa atau pihak pemerintah. Menurut Vander Pot, dispensasi meliputi persoalan yang berhubungan dengan pembentuk undang-undang yang diadakan larangan. Akan tetapi, karena ada hal-hal yang penting dapat diberi kebebasan.

Sedangkan, pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan perempuan untuk membolehkan atau menghalalkan hubungan kelamin sebagai suami isteri. Hakikat nikah ialah akad antara calon laki-laki dan isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.

Pengertian pernikahan juga juga didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu bukan hanya sekedar perbuatan hukum saja, tetapi berkenaan dengan perbuatan keagamaan, sehingga sah atau tidaknya pernikahan tergantung sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.

Dengan begitu, dispensasi nikah dapat diartikan sebagai suatu kebijakan oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan bagi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita yang belum mencapai umur 19 tahun.

Dispensasi nikah di dalam undang-undang no 16 tahun 2019 tentang perubahan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang hanya memuat satu pasal khusus mengubah ketentuan pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat 1, orang tua phak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti yang cukup.

3. Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagai mana dimaksud pada ayat 2 wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

B. Pembatasan Usia Nikah

1. Usia Menikah Menurut Hukum Islam

Meskipun tidak terdapat regulasi dalam hukum Islam terhadap batas usia nikah bagi calon suami, demikian juga halnya terhadap batas usia bagi calon istri yang juga tidak ditegaskan adanya ketentuan tersebut. Akan tetapi, terdapat sumber hukum yang merujuk pada pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah r.a, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang artinya:

"Dari Aisyah ra, sesungguhnya Nabi SAW telah menikah dengannya pada saat ia berumur enam tahun dan ia diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW pada usia sembilan tahun."

Menurut ulama ushul fiqh, bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum adalah setelah anak tersebut akil baligh (mukallaf) dan cerdas.

Berdasarkan paparan diatas maka dapat kita kelompokkan untuk menentukan batasan usia nikah bisa dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu:

a. Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh)

b. Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat Al- Quran yang menyebutkan batas kemampuan untuk menikah.

c. Hadis yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah SAW

2. Usia Menikah Menurut Hukum Positif

Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yaitu berkaitan denganperkara atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah dibawah umur, penulis akan paparkan batas usia nikah di bawah ini menurut hukum positif, yaitu sebagai berikut:

a. Batas usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, terdapat dalam BAB II syarat-syarat Perkawinan pasal 6 ayat (2) yaitu "Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua". Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan hanya di izinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Dan pada ayat (2) "Dalam hal penyimpangan terhapat ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dan pada ayat (3) "Ketentuan- ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3), dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

b. Batas Usia Nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 15 ayat (1), yaitu: "Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 yakni calon suami berumur sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 19 tahun. Dan pada ayat (2), "bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin yang sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

c. Sedangkan batasan usia nikah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: "Laki-laki yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan- alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan "Dispensasi".

C. Dampak Pernikahan Usia Dibawah Umur

1. Dampak Negatif

a. Peningkatan perceraian akibat pernikahan di bawah umur, Pernikahan di bawah umur mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingginya kematian ibu dan anak;

b. Secara medis penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah usia muda, dengan berhubungan seks lalu menikah, dan

c. kemudian hamil dalam kondisi yang tidak siap maka dampak negatif yang sering akan timbul, seperti terkenanya kanker rahim atau "cancer cervix" karena hubungan seks secara bebas ataupun berhubungan intim dengan berganti-ganti pasangan;

d. Sementara itu, sikap pro terhadap pernikahan di bawah umur beralasan bahwa nikah usia muda menjadi suatu hal kebiasaan dan tradisi yang telah membudidaya dibeberapa masyarakat.

2. Dampak Positif

a. Memperjelas status perkawinan:

b. Memperjelas nasib anak yang membutuhkan sosok atau figur bapak;

c. Mendapat pengakuan yang baik dari lingkungan;

d. Terjaga dari pandangan-pandangan atau nilai moral baik dari masyarakat;

e. Menjaga dari Perbuatan zina yang tidak terkendali;

D. Pandangan Maqasid Syariah Terhadap Pembatasan Usia Pernikahan

Pemerintah melarang pernikahan usia di bawah umur adalah dengan berbagai pertimbangan, sedangkan agama membolehkan pernikahan dini juga dengan mempertimbangkan mashlahah. Kedua hal ini merupakan permasalahan yang cukup dilematis. Melihat hal itu dari kacamata ushuliyin (pakar hukum Islam), menegaskan bahwa untuk melahirkan sebuah undang-undang atau fatwa hukum, maka seorang mujtahid (penggali hukum) harus memperhatikan maqashid syari'ah (tujuan pembuatan hukum). Karena memang syari'ah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, termasuk juga dalam persoalan pernikahan.

Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan Undang- undang yang melarang pernikahan usia di bawah umur atau dengan kata lain membatasi usia minimal perkawinan haruslah sesuai dengan maqasid asy- syariah. Jangan sampai penetapan undang-undang mengalahkan ketentuan agama. Padahal diketahui bahwa manusia mempunyai kemampuan yang terbatas untuk bisa menerawang kedepan guna menentukan apa yang terbaik bagi diri mereka. Jangan hanya karena tuntutan emansipasi wanita dari beberapa organisasi komnas perempuan dan atau hanya karena mengatas namakan komnas perlinduingan anak, hukum harus menginjak norma agama yang sudah ditetapkan oleh sang pembuat hukum Allah SWT melalui Nabi SAW, karena belum tentu anak yang melakukan pernikahan dibawah umur akan mendapatkan banyak dampak sebagaimana dibayangkan banyak orang.

E. Konsep Diskresi.

Diskresi sendiri diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindankan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) dari pada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).

Pengertian diskeresi menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi mengartikan diskresi sebagai keputusan atau tindakan yang ditetapkan atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan.

Kebebasan diskresi adalah kebebasan administrasi yang mencakup kebebasan administrasi (interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Kebebasan interpretasi mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki organ pemerintah untuk menginterpretasikan suatu undang-undang. Kebebasan mempertimbangkan muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintahan. Sedangkan kebebasan mengambil kebijakan lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan,

F. Lembaga yang Berwenang Melakukan Diskresi

Di dalam melakukan tindakan hukum (rechtshandelingen) Pejabat/Badan administrasi pemerintahan memiliki instrumen pemerintahan. Instrumen pemerintah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah alat-alat atau sarana-sarana yang digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan tersebut, pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum dengan menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan, mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang- undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, dan sebagainya.

Sedangkan peraturan kebijakan (beleid regels), adalah merupakan produk hukum yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freies ermessen. Artinya ketika freies ermessen atau diskresi ini dituangkan dalam bentuk tertulis, ia menjadi peraturan kebijakan, yakni peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung.

Artinya, peraturan kebijaksanaan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya. Dalam hal ini, peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah sarana hukum tata usaha negara yang bertujuan mendinamisir keberlakuan peraturan perundang-undangan.

Dengan diberikan kewenangan untuk membuat peraturan kebijakan (beleid regels) yang berdasar pada prinsip freies ermessen tersebut, sesungguhnya merupakan implikasi dari negara kesejahteraan (welfare state). Karena sebagai negara yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg atau public service. Agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif.

G. Diskresi Hakim

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).

Ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali, oleh karena mencangkup mereka yang secara langsung dan tidak langsung berkecimpung di bidang penegak hukum. Di dalam tulisan ini, maka yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara lasngsung berkecimbung di bidang penegak hukum yang tidak hanya mencangkup "Law enforcement" akan tetapi juga "peace maintenance" kiranya sudah dapat di duga bahwa kalangan tersebut mencangkup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status sosial) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang saja atau rendah.kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan peranan (role). Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant), suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Penulis memberikan Analisis diskresi hakim dalam dispensasi nikah yang ada di Pengadilan Agama Yogyakarta pemohon telah mengajukan permohonan dispensasi nikah pada tanggal 14 Februari 2022 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Yogyakarta. Atas dasar duduk perkara dalam Putusan tersebut menguraikan bahwa Pemohon hendak menikahkan anaknya, yaitu calon mempelai yang masih belum cukup umur sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dengan Berdasarkan permasalahan dalam kasus ini, bahwa anak pemohon belum calonnya. berusia 19 tahun, tetapi telah mantap untuk melaksanakan perkawinan dengan calon yang sama-sama belum berusia 19 tahun. Tetapi, telah berada dalam fase hamil 8 bulan. Walaupun mereka relatif masih muda, mereka sepakat untuk melangsungkan perkawinan dan mantap untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai suami maupun isteri dalam sebuah rumah tangga. Hal ini, didasari pada lamanya kedua belah pihak dalam mengenal. Pemohon beranggapan walaupun usia anak pemohon belum genap sesuai dengan usia nikah, tetapi anaknya mempunyai kedewasaan baik fisik maupun mental, dan tidak terdapat halangan dalam perkara hukum perkawinan. Serta, orang tua siap untuk mendampingi dan membimbingnya, baik jasmani maupun rohani.

Pemohon mengajukan dispensasi nikah atas dasar Anak Pemohon dan Calon Suami Anak Pemohon telah menyatakan saling mencintai, dan keduanta telah saling mengenal dengan akrabnya sekurang-kurangnya sudah 2 tahun, keduanya sering bepergian bersama, baik siang mapun malam, anak Pemohon sudah hamil 8 bulan dengan calon suaminya, serta keduanya siap melangsungkan pernikahan. Selain itu, kedua orang tua calon mempelai berkeinginan menikahkan calon mempelai dan siap membimbing secara rohani dan jasmani, antara Anak Pemohon dan Calon Suami, anak Pemohon tidak ada halangan menurut hukum untuk melangsungkan pernikahan, dan calon suami anak Pemohon sudah bekerja sebagai karyawan rumah makan, berpenghasilan cukup untuk nafkah keluarga.

Berdasarkan duduk perkara diatas, dapat dirujuk bahwa sebelum melakukan pernikahan, maka calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat pernikahan yang ditentukan oleh undang-undang yang diatur dalam pasal 6 dan 7, yaitu:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dandalam keadaat dapat menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3), dan (4), pasal ini atau salah seorang atau diantara mereka tidak dapat menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberi izin setelah lebih dahulu.

6) Ketentuan tersebut, ayat (1) samapi dengan ayat (5) pada berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Dan, pasal 7 menjelaskan:

1) Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun

2) Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk leh kedua orang tua pihak pria maupun pihak perempuan

3) Ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini.

Selain berpegang teguh pada peraturan atau undang-undang yang berlaku, seorang hakim dalam mengabulkan dispensasi nikah berpedoman pada kondisi calon anak yang dimohonkan untuk menikah. Hal tersebut dilihat dari segi kesiapan calon mempelai, seperti keadaan fisik atau jasmani, psikologi ataupun rohani.

Diskresi hakim dalam mengabulkan perkara dispensasi nikah sesuai dengan pedoman perilaku hakim yang berbunyi Hakim harus mempunyai maret yang mendorong perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntunan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam proses perkara dispensasi nikah, aturan sebagaimana dijelaskan diatas, seperti logika berfikir silogisme, yaitu adanya premis mayor, minor dan selanjutnya sampai pada konklusi dengan syarat memperhatikan kedua premis.

Artinya, selain mengacu pada Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 juga mengacu pada Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam. Sehingga, konstruk dalam memberi pertimbangan terhadap perkara ini jelas. Namun, aturan tersebut tidak menjelaskan secara rinci alasan untuk mengajukan dispensasi nikah. Oleh karena itu, dengan kemerdekaan dan otoritas yang dimilikinya, hakim akan menemukan alasan hukum dengan cara melakukan penafsiran-penafsiran dan pemaknaan. Sehingga dapat merumuskan alasan hukum terhadap perkara dispensasi nikah yang diajukan.

Dengan demikian, hakim akan membuat sebuah konklusi berupa putusan yang mengabulkan permohonan dispensasi nikah yang diajukan. Dan, sebaliknya apabila fakta-fakta dalam persidangan hakim tidak yakin, akan adanya keburukan yang diduga akan timbul, berarti tidak sejalan dengan premis mayor dan minor. Yang akhirnya, konklusi dari pada itu adalah menolak pemohonan dispensasi nikah tersebut.

Lain halnya, ketika hakim tidak mengabulkan permohonan dispensasi nikah dengan menafsirkan pasal 7 undang-undang no 16 tahun 2019 atas perubahan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ketidakadaan alasan yang mendesak untuk segera dinikahkan dan permohonan pemohon tidak berasalan hukum. Sebagaimana terdapat dalam permohonan dispensasi nikah nomor 51/Pdt.P/2021/PA..

Pemohon telah mengajukan permohonan dispensasi nikah pada Maret 2021 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Yogyakarta. Atas dasar duduk perkara dalam Putusan tersebut menguraikan bahwa Pemohon hendak menikahkan anaknya, yaitu calon mempelai yang masih belum cukup umur sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dengan calonnya.

Berdasarkan permasalahan dalam kasus ini, bahwa anak pemohon belum berusia 19 tahun, tetapi telah mengenal atau menjalin hubungan kurang lebih 1 tahun dan telah melakukan hubungan layaknya suami istri dengan calon yang telah berusia lebih dari 19 tahun. Tetapi, saat ini calon suami anak pemohon belum mempunyai penghasilan tetap atau pekerjaan tetap, sementara ini ia hanya membantu pekerjaan orang tuanya.

Bahwa karena antara anak pemohon dengan calon suaminya tersebut jarang bertemu, karena tempat tinggal mereka agak berjauhan, dan mereka juga bersedia menunda pernikahannya dan lagi pula calon suami anak pemohon tersebut saat ini belum mempunyai penghasilan atau pekerjaan tetap, maka pernikahan antara anak pemohon dengan calon suaminya tersebut tidak ada alasan yang mendesak untuk segera dilaksanakan, dan sebaliknya apabila dipaksakan untuk segera dilaksanakan, maka dimungkinkan akan lebih banyak membawa mudharat bagi masing-masing pihak, maka majlis hakim berkesimpulan bahwa permohonan pemohon tidak beralasan hukum, dan dinyatakan ditolak.

Diskresi hakim dalam menolak perkara dispensasi nikah sesuai dengan pedoman perilaku hakim yang berbunyi Hakim harus mempunyai sikap mandiri yang mendorong perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku

RENCANA JUDUL SKRIPSI

Secara garis besar dan gambaran yang ada didalam diri saya, kemungkinan saya akan meneliti suatu pernikahan dan  prosesi pernikahan adat yang ada didaerah saya dengan mempertimbangkan lokasi penelitian yang saya rasa cukup mudah dijangkau yang memngkinkan mudahnya mencari data di penelitian ini

Dengan adanya penelitian sayadikemudian hari diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap pernikahan adat yang ada didaerah saya yang rencananya akan saya relevansikan terhadap proses instimbath hukum / hukum islam misalnya urf, maqasid, dll

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun