Setelah lulus SD,  Marsinah  melanjutkan  sekolahnya  di  SMP  Negeri  5  Nganjuk. Setelah   lulus   SMA   pada   tahun   1982,   Marsinah   melanjutkan pendidikannya  di  SMA  Muhammadiyah  dengan  bantuan  biaya  dari pamannya.  Marsinah  ingin  sekolah  hukum.  Namun  karena  terkendala biaya, keinginan Marsinah untuk melanjutkan studi batal.
Marsinah kemudian memutuskan untuk pindah ke Surabaya pada tahun 1989  dan  bergabung  di  rumah  saudara  perempuannya yang  sudah menikah, Marsin. Marsinah juga bekerja di pabrik plastik milik SKW di Kawasan  Industri  Rungkut,  namun  gajinya hampir  tidak  mencukupi, sehingga  Marsinah  harus  mencari  penghasilan  tambahan  dengan menjual  nasi  bungkus.  Marsinah  juga  pernah  bekerja  di  perusahaan pengemasan sebelum kemudian pindah ke Sidoarjo pada tahun 1990 dan bekerja di PT CPS.Â
Selama bekerja di PT CPS, Marsinah dikenal sebagai penyanyi dan selalu memperjuangkan nasib rekan-rekannya. Marsinah adalah  aktivis  di  unit  kerja  PT  CPS  Serikat  Pekerja  Seluruh  Indonesia (SPSI).
Pada awal tahun 1993, pemerintah mengimbau para pengusaha di Jawa Timur  untuk  menaikkan  upah  pokok  pekerjanya  sebesar  20  persen. Namun,  para  pedagang,  termasuk PT  CPS,  tempat  Marsinah  bekerja, tidak  serta  merta  menerima  imbauan  tersebut.  Hal  ini  kemudian menimbulkan  protes  dari  para  pekerja  yang  menuntut  kenaikan  gaji. Pada  2  Mei  1993,  Marsinah  menghadiri  rapat  perencanaan  protes  di Tanggulangin, Sidoarjo. Pada tanggal 3 Mei 1993, para buruh melarang rekan-rekan mereka untuk mogok kerja.
 Namun,  Komando  Distrik  Militer  (Koramil)  setempat  langsung  turun tangan mencegah personel PT CPS beroperasi. Para pekerja melakukan pemogokan keesokan harinya dan mengajukan 12 tuntutan kepada PT CPS.  Salah  satu  tuntutan  buruh  adalah  kenaikan  gaji  pokok  dari  Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250 per hari. Selain itu, mereka membayar tunjangan harian sebesar 550 rupee, yang dapat ditarik saat pekerja tidak masuk  kerja.  Marsinah  juga  merupakan  salah  satu  dari  15  perwakilan karyawan  yang  bernegosiasi  dengan  perusahaan.  Ia  terlibat  dalam perundingan  hingga  5  Mei  1993.  Sore  hari  5  Mei  1993,  13  pegawai dibawa  ke  Kodim  Sidoarjo,  yang  diduga  menghasut  rekannya  untuk protes.  Mereka  kemudian  dipaksa  mengundurkan  diri  dari  PT  CPS setelah  dituduh  melakukan  pertemuan  rahasia  dan  mencegah  pekerja lain   melakukan   pekerjaannya. Â
Saat   itu,   Marsinah   dikabarkan mendatangi  Kodim  Sidoarjo  untuk  menanyakan  keberadaan  13 rekannya yang sebelumnya dia bawa ke sana. Namun, sekitar pukul 10 malam. pada 5 Mei 1993, Marsinah menghilang. Keberadaan Marsinah tidak diketahui hingga jasadnya ditemukan di Nganjuk pada 9 Mei 1993 dalam  keadaan  mengenaskan.  Berdasarkan  hasil  otopsi,  diketahui Marsinah  meninggal  sehari  sebelum  jenazah  ditemukan,  8  Mei  1993. Penyebab  kematian  Marsinah  adalah  penganiayaan  berat.  Selain  itu, Marsinah juga diketahui pernah diperkosa. Kasus pembunuhan Marsinah memicu reaksi keras dari masyarakat dan aktivis  hak  asasi  manusia.Â
 Aktivis  kemudian  membentuk  Komite Solidaritas  Marsinah  (KSUM)  dan  menuntut  pemerintah  menyelidiki dan membawa mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu ke pengadilan.  Presiden  Soeharto  menuntut  pengusutan  tuntas  kasus Marsinah.  Suharto  juga  menegaskan,  kasus  pembunuhanMarsinah tidak   boleh   disembunyikan   dan   mengimbau   masyarakat   untuk menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwajib. Dulu, alat itu justru menimbulkan  korban  jiwa  dalam  kasus  pembunuhan  Marsinah.Â
Sebelum  pidato  Soeharto  pada  30  September  1993,  pemerintah membentuk  Tim  Terpadu  Bakorstanasda  Jatim  untuk  mengusut  kasus Marsinah. Delapan petinggi PT CPS kemudian ditangkap secara rahasia dan  tanpa  prosedur  formal.  Salah  satu  yang  ditangkap  adalah  manajer sumber  daya  manusia  PT  CPS  Mutiari,  yang  saat  itu  sedang  hamil. Selain  itu,  pemilik PT  CPS,  Yudi  Susanto,  ditangkap dan diinterogasi. Mereka yang ditahan disebut-sebut mengalami siksaan fisik dan mental yang  berat,  dan  diminta  untuk  mengaku  bersekongkol  menculik  dan membunuh Marsinah.
Selama proses penyelidikan dan penyidikan, Tim Terpadu  menangkap  dan  menginterogasi  sepuluh  orang  yang  diduga terlibat   dalam   pembunuhan   Marsinah.   Dari   hasil   pemeriksaan terungkap  Suprapto,  karyawan  Departemen  Pengendalian  PT  CPS, membawa Marsinah dengan sepeda motornya di dekat kediaman aktivis serikat pekerja. Marsinah kemudian dikabarkan dibawa ke rumah Yudi Susanto  di  Jalan  Puspita,  Surabaya.  Setelah  tiga  hari  ditahan,  penjaga PT CPS Suwono membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS Yudi Susanto kemudian  divonis  17  tahun  penjara. Â
Pada  saat  yang  sama,  beberapa karyawan  PT  CPS  dijatuhi  hukuman  penjara  antara  empat  hingga  12 tahun.  Namun  saat  itu,  Yudi  Susanto  dengan  tegas  menyatakan  tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah dan hanya sebagai kaki tangan.Yudi  Susanto  kemudian mengajukan kasasi  ke  Mahkamah Agung  dan dinyatakan  bebas.  Karyawan  PT-CPS  yang  divonis  juga  mengajukan kasasi  sampai  dibebaskan  dari  segala  dakwaan  atau  oleh  Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung ini pasti akan memicu kontroversi dan  ketidaksenangan  publik. Â
Para  aktivis  terus  menuntut  agar  kasus pembunuhan  Marsinah  diusut  tuntas  dan  dugaan  keterlibatan  militer diungkap. Hingga saat ini, Marsinah dikenang sebagai pahlawan buruh. Marsinah  juga  dianugerahi  Penghargaan  Yap  Thiam  Hien.  Kisah Marsinah  juga  telah  diadaptasi  ke  dalam  berbagai  sastra  dan  seni pertunjukan.Dia   melanjutkan,   penyelesaian   penyelidikan   Marsinah   hanya membutuhkan  itikad  baik  dari  Presiden.  Presiden  menegaskan,  Indah bisa  menginstruksikan  jajarannya  untuk  mengusut  pelanggaran  HAM.