Ketertarikan terhadap nilai dalam proses produksi animasi juga dijumpai dari penuturan Ahmad Rizki, yang memiliki minat terhadap animasi Jepang. Baginya, teknik tradisional yang dipertahankan para animator negara Jepang itu membuat penggemar anime tampaknya dapat lebih menghargai karya film animasi.
Rizki kemudian mendeskripsikan hal yang ia temukan pada saat menonton film animasi. Bila diamati secara cermat, gerakan tokoh anime ada yang tidak sempurna, gerakan tubuh tidak sesuai dengan pelafalan dialog. Juga beberapa latar atau situasi yang pasti memiliki kekurangan. Bagi Rizki, kondisi demikian sangat lumrah terjadi. Apalagi jika menggunakan teknik gambar di atas kertas. Kesalahan pada setiap goresan dalam animasi dengan teknik itu justru menunjukkan nilai dari seni manual yang digunakan para animator Jepang. Hal itu pula yang membedakan kekhasan pada animasi negeri sakura tersebut.
"Beda rasanya kalau kita nonton anime atau kartun lainnya. Keliatan banget kalo gambar. Coba deh!" pungkas Rizki dengan semangat sambil menunjukkan beberapa contoh scene anime yang ditontonnya.
Meski animasi 2D dengan tenik tradisional merupakan jenis kuno dari bagian teknik animasi, baik Dani maupun Rizki yang sangat suka pada teknik tersebut sepakat mengenai satu hal. Tidaklah mungkin animasi 2D hilang dari pasaran. Tetapi akan selalu ada titik jenuh dari setiap era. Dani kemudian mencontohkan, ketika awal kemunculan animasi 3D, banyak orang berlomba-lomba untuk membuat kartun serealistis mungkin. Tapi, kini banyak animasi yang kembali ke era lama, Â karena adanya nilai khas dan filosofi yang tercantum dalam cara lama tersebut, namun dengan kualitas yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H