Bermula sebab pertemuan yang tak diduga, membuka segala yang mati dan kenyamanan yang membuat bodoh. Ketidakberterimaan akan hidup.
Mendidih, di mana-mana kompromi. Sedari dini sudah dipaksa berbuat yang tak ingin dibuat. Tak bersuara apa lagi berteriak.
Terlihat baik dengan segalamu, kaukian liar, memanipulasi dengan tindakan, malah membinasakan. Seolah menjadi harapan, sebaiknya kau hanya ingatan yang buruk.
Hanya sibuk menikmati waktu yang malang. Penuh gairah amarah, kebencian, emosional, sebaliknya juga pencemburu akut. Ingin dihindari dan dimiliki pada saat yang sama. Relasi macam apa? Dasar pendosa yang pura-pura baik.
Maaf, maaf, dan maaf yang tak berujung! Kepergian adalah pilihan yang harus dilakukan tetapi diam-diam jatuh dalam dosa yang merayu. Ada penyesalan dan hasrat yang dirumit cemburu.
Aish, dengan air mata dijatuhkan dengan itu pula aku menikmati hujan yang salah. Terbiasa melakukan pembelaan diri dengan perbuatan yang disangka baik tapi berujung maut.
Pendosa itu adalah aku! Demi dipeluk kau, aku bisa berhenti dari kejujuran. Tersesat di kompas kesendirian! Yang paling kubenci adalah membiasakan diri mati pada kesadaran, tak sadar akan sisa hidup. Dasar, pendosa yang payah. Pendosa yang berpura-pura baik. Munafik.
Aku seperti lumpur di jalan, melakukan pemberontakan dalam diam di kala luang. Di April yang basah, ada kejujuran pendosa yang payah dan dilarutkan dalam abjad-abjad yang penuh air mata.
***
Rantauprapat, 17 April 2023
Lusy Mariana Pasaribu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H