Mohon tunggu...
Peserta 232LusiPebriani
Peserta 232LusiPebriani Mohon Tunggu... Lainnya - https://www.kompasiana.com/lusipebriani11

https://www.kompasiana.com/lusipebriani11

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem Ekonomi Islam: Riba Vs Bagi Hasil

2 April 2021   19:45 Diperbarui: 2 April 2021   19:47 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Interest atau bunga merupakan biaya sevis atau pelayananyang dikenakan bank untuk sebuah pinjaman atau kredit yang diberikan kepada nasabah. Dari sisi nasabah peminjam dana, interest adalah biaya (cost). Para ekonom sekuler yang sebagian besar adalah agen dari setan berpendapat segala sesuatu itu ada biayanya. Bunga menjadi bagian yang tidak daoat dipisahkan dari sistem moneter saat ini. Meskipun jelas dinyatakan haram dalam kitab suci, namun negara-negara mayoritas penduduk Muslim seperti di Indonesia, masih mempraktikannya. Ekspektasi bunga adalah sesuatu yang indah dan enak dipandang. Namun bunga dalam ekonomi justru merusakknya. Konsekuensi bunga jika diterapkan didalam ekonomi menurut buku ini adalah, yang pertama bunga akan menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus. Meskipun sudah mencapai titik jenuh atau konstan. Kedua, bunga mendorong persaingan para pemain dalam ekonomi. Ketiga, bunga cenderung menguntungkan memberi kesejahteraan pada segelintir kaum minoritas dan menghancurkan kaum mayoritas.

Bunga bank dalam kajian hukum fiqh Islam, merupakan masalah kontemporer yang melahirkan dua paradigma cara berijtihad yang berbeda dalam menentukan status hukumnya yaitu dengan paradigma tekstual dan kontekstual. Perbedaan yang mendasar antara kedua paradigma tersebut adalah cara melihat ilat (sebab adanya hukum) pengharaman riba sebagai hukum asal. Paradigma tekstual memahami ilat pengharaman riba terletak pada adanya tambahan, sebagaimana makna yang dikandung oleh kata riba itu sendiri dan berdasarkan konfirmasi nas, bahwa hanya modal pokok yang dapat diambil, sehingga apabila ilat itu terdapat di bunga bank, maka bunga bank tersebut adalah riba, dan hukumnya adalah haram.

Kelompok paradigma kontekstual memahami nas dari pengharaman riba secara konteks, yaitu adanya unsur zulm atau eksploitasi yang terjadi pada waktu diharamkannya riba. Sehingga kondisi tersebut bila dijumpai pada pemberlakuan bunga bank, barulah bunga bank itu dikategorikan sebagai riba yang status hukumnya jelas, yaitu haram. Kelompok ini melihat bahwa apa yang terjadi di bunga bank tidak ada unsur zulm atau eksplotasi, sehingga mereka menetapkan bahwa bunga bank tidak termasuk riba, dan hukumnya boleh.

Dalam sistem Profit Loss Sharing harga modal ditentukan secara bersama dengan peran dari kewirausahaan. Price of capital dan enterpreneurship merupakan kesatuan integratif yang secara bersamasama harus diperhitungkan dalam menentukan harga faktor produksi. Dalam pandangan syariah uang dapat dikembangkan hanya dengan suatu produktifitas nyata. Tidak ada tambahan atas pokok uang yang tidak menghasilkan produktifitas. Dalam perjanjian bagi hasil yang disepakati adalah proporsi pembagian hasil (disebut nisbah bagi hasil) dalam ukuran persentase atas kemungkinan hasil produktifitas nyata. Nilai nominal bagi hasil yang nyata-nyata diterima, baru dapat diketahui setelah hasil pemanfaatan dana tersebut benar-benar telah ada (ex post phenomenon, bukan ex ente). Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang bekerja sama. Besarnya nisbah biasanya akan dipengaruhi oleh pertimbangan kontribusi masing-masing pihak dalam bekerja sama (share and partnership) dan prospek perolehan keuntungan (expected return) serta tingkat resiko yang mungkin terjadi (expected risk) (Hendri Anto, 2003). Kesepakatan suatu tingkat nisbah terlebih dahulu harus memperhatikan ketiga faktor tersebut. Faktor pertama, share on partnership merupakan sesuatu yang telah nyata dan terukur. Oleh karenanya tidak memerlukan perhatian khusus. Dua faktor terakhir, expected return, dan expected risk memerlukan perhatian khusus. Oleh karenanya kemampuan untuk memperkirakan keuntungan maupun resiko yang mungkin terjadi dalam kerjasama yang berlandaskan PLS mutlak dibutuhkan, terutama pada aspek kemungkinan resiko. Hal ini karena, pertama, resiko memiliki efek negatif bagi usaha. Semakin besar resiko semakin mengurangi nilai keuntungan usaha. Kedua, resiko memiliki sumber, cakupan dan sifatyang seringkali tidak memperhitungkan data secara cermat. Ketiga, perkiraan atas keuntungan biasanya memasukkan perhitungan variabel resiko. Pada dasarnya suatu resiko muncul karena ada ketidakpastian (uncertainty) di masa depan. Van Deer Heidjen (1996) membagi ketidakpastian menjadi 3 kategori: Risk. Kemunculannya berkemungkinan memiliki preseden historis dan dapat dilakukan estimasi probabilitas untuk tiap hasil yang mungkin muncul. Structural uncertainties. Kemungkinan terjadinya suatu hasil bersifat unik, tidak memiliki preseden di masa lalu. Akan tetapi tetap berkemungkinan terjadi dalam logika kausalitas. Unknowables. Kemunculan kejadian secara ekstrim tidak terbayangkan sebelumnya

Di bawah ini akan disajikan antara persamaan dan perbedaan pandangan keduanya adalah sebagai berikut:

1. Persamaan pandangan

a. Dalam membahas mengenai riba dan pemahaman mereka akan riba, keduanya sama-sama berangkat dari dasar hukum pemahaman nash, baik itu dari nash-nash Al-Qurang maupun Sunnah. b. Dalam melakukan interpretasi mengenai riba dalam nash-nash tersebut, keduanya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu supaya interpretasi yang mereka hasilkan dapat memberikan sumbangsi bagi terciptanya kemaslahatan umat, sehingga umat tidak lagi berada dalam kebimbangan ketika menentukan suatu transaksi yang masih mengandung keraguan akan boleh dan tidaknya secara hukum. c. Pada dasarnya keduanya memiliki pandangan, bahwa riba merupakan sesuatu yang mutlak dilarang dalam Islam dan hukumnya haram. Karena pratik riba hanya akan menciptakan suatu tatanan dalam masyarakat menjadi rusak, timbulnya ketidakadilan dan terjadinya penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap sekelompok orang lainnya. d. Keduanya juga sama-sama memiliki pandangan, bahwa pembahasan yang mereka lakukan dalam kajian mereka masing-masing adalah pembahasan mengenai riba jenis nasi’ah atau jahiliyah yang sudah jelas-jelas dilarang dalam Al-Quran maupun hadist, sedangkan untuk riba fadhl, mereka tidak membahasnya secara lebih luas dalam bukunya masing-masing. e. Dalam kaitannya dengan argumentasi bahwa riba yang dilarang dan dibolehkan adalah riba jenis produktif dan konsumtif, keduanya tidak memiliki landasan atau keterangan yang kuat untuk mengklaim bahwa pandangan merekalah yang paling benar. Sebab memang tidak ada riwayat atau keterangan, yang menyebutkan bahwa riba yang terjadi pada masa jahiliyah itu adalah jenis riba konsumtif bukan jenis riba yang produktif, atau malah sebaliknya.

2. Perbedaan pandangan

a. Perbedaan pandangan dalam menentukan aspek apa sebenarnya yang terkandung dalam Al-Quran dan hadist dalam pelarangan riba. Abdullah Saeed lebih cenderung memandang aspek formalnya, atau apa yang ada dalam dzahir ayat. b. Perbedaan pendangan pada poin pertama di atas, menyebabkan terjadinya perbedaan pula dalam menentukan bagian pernyataan mana dalam Al-Quran yang sebenarnya harus dijadikan pijakan utama dalam memahami pelarang riba. Abdullah Saeed cenderung melihat pernyataan la tadzlimuuna wa la tudzlamun sebagai titik tolaknya dalam memahami pelarangan ini, sementara Yusuf Al-Qaradh wi lebih melihat pada pernyataan fa lakum ru’ usu amwa likum sebagai acuan utamanya. c. Perbedaan dalam menentukan landasan analogi apakah yang semestinya dipakai dalam membahas masalah pelarangan riba ini, Abdullah Saeed lebih melihat hikmah sebagai landasan analoginya, sebab menurutnya ilat memliki banyak kelemahan, sebaliknya Yusuf Al-Qaradh wi cenderung menggunakan ilat sebagai landasan analoginya. d. Perbedaan dalam memandang wacana ketidakadilan, menurut Abdullah Saeed, ketidakadilan hanya terdapat pada riba yang terdapat pada masa jahiliyah, karena terjadinya penindasan kriditur kepada debitur, hingga menyebabkan perbudakan, sedangkan transaksi pinjaman berbunga di bank saat ini, mustahil akan menyebabkan penindasan, lebih-lebih perbudakan oleh kreditu kepada debitur. Sedangkan menurut Yusuf Al-Qaradh wi, keadilan hanya akan tercapai bila antara pemilik modal dan pengusahan, berbagi resiko atas keuntungan maupun kerugian, dari modal yang digunakan dalam usaha tersebut. e. Perbedaan-perbedaan dalam menentukan landasan pengharaman dalam menghukumi bunga bank, menurut Yusuf Al-Qaradh wi, bunga bank sama dengan riba yang dilarang dalam Islam, karena berpijak pada stateman bahwa setiap penambahan dalam transaksi pinjaman adalah dilarang. Sedangkan Abdullah Saeed memandang, sepanjang pinjaman tersebut tidak menyebabkan ketidakadilah, maka pinjaman tersebut dibolehkan, dan demikina pula sistem pinjaman dalam bank, meskipun jelas-jelas terdapat bunga di dalamnya.

Perbedaan mendasar antara bunga dan bagi hasil antara lain: 1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi selalu  untung. Sedangkan pada bagi hasil penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman kemungkinan untung atau kemungkinan rugi. 2. Pada sistem bunga persentasenya berdasarkan jumlah uang (modal) keuntungan yang dipinjamkan. Sedangkan bagi hasil, besarnya rasio/nisbahnya berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh. 3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan untung ruginya. Sedangkan sistem bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. 4. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. Sedangkan bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya.

Hikmah Pelarangan serta Dampak Bunga Bank dan Riba Banyak hikmah yang dapat diambil dari adanya pelarangan riba, di antaranya yaitu: 1. Menjadikan pribadi-pribadi manusia yang suka saling menolong satu sama lain. 2. Dengan sikap saling tolong menolong menciptakan persaudaraan yang semakin kuat. Sehingga pintu pada tindakan memutus hubungan silaturrahmi baik anat sesama manusia. 3. Menjadikan kerja sebagai sebuah kemuliaan, karena pekerjaan tersebut sebagai sarana untuk memperoleh penghasilan. Karena dengan bekerja seseorang dapat meningkatkan keterampilan dan semangat besar dalam hidupnya. 4. Tidak merugikan orang-orang yang sedang kesusahan, karena dengan adanya riba seseorang yang mengalami kesulitan justru semakin susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun