Banyak orang beranggapan selama ini bahwa pelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan mata pelajaran yang gampang-gampang sulit. Bahkan, tidak jarang peserta didik kita menganggap remeh mengenai keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sehingga kerap kali mereka tidak terlalu antusias untuk mendalami atau menggeluti ilmu bahasa dan sastra Indonesia.
Dalam proses pembelajaran seorang guru tidak perlu kaku dan berpusat pada dirinya sendiri, tetapi peran dan keberadaan peserta didik harus dilibatkan. Guru harus menerapkan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang berorientasi pada karakteristik, kebutuhan, serta bakat dan minat peserta didik.
Guru diharapkan mampu menciptakan atau mewujudkan suasana pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang inovatif, kreatif, berdaya guna, dan memberikan pengalaman bermakna. Hal ini tentunya senada dengan konsep Merdeka Belajar yang diusung pada Kurikulum Merdeka saat ini.
Porsi pembelajaran sastra memang menipis di sekolah. Porsi pembalajarn Sastra di sekolah sekitar dua puluh persen, lebih sedikit dibandingkan dengan materi kebahasaan.
Sastra itu tidak terlalu diminati oleh pelajar mulai dari SD sampai SMA karena kurikulumnya yang tidak memberikan porsi banyak kepada pembelajaran sastra. Kalaupun ada pembelajaran sastra pada kurikulum, hal itu sifatnya masih minim sehingga diperlukan interpretasi-interpretasi guru bahasa Indonesia.
Selain faktor kurikulum, sudah selayaknya pula Guru bahasa Indonesia menambah cakrawala wawasan mengenai pembelajaran sastra sebagai bekal pengajaran sastra di sekolah.
Salah satu pembelajaran sastra pada jenjang SMP adalah Teks Cerpen. Cerpen atau cerita pendek merupakan prosa fiksi yang menceritakan tentang suatu peristiwa yang dialami oleh tokoh utama. Seperti namanya, cerpen lebih sederhana daripada novel. Sering kali peserta didik menulis dengan langkah yang selalu berbeda, dan tentunya tergantung pada panjang cerita Anda (misalnya 2000-5.000 kata untuk cerita pendek) mungkin menghabiskan waktu antara 5-10 jam.
Kendala yang dihadapi peserta didik saat pembelajaran cerpen yakni peserta didik mengalami banyak kesulitan dalam belajar sastra, khususnya cerpen. Minat baca peserta didik rendah.
Peserta didik masih enggan mencari sumber referensi. Mencari referensi dengan membaca buku-buku, media massa baik cetak maupun elektronik atau berselancar di dunia maya adalah pekerjaan yang menyebalkan bagi sebagian besar orang. Namun kebiasaan membaca perlu ditumbuhkan. Peserta didik juga kerap kali mengalami krisis ide.
Seorang penulis profesional pun bisa saja mengalami krisis ide, apalagi bagi penulis pemula. Untuk itu peserta didik harus kreatif dalam mencari ide bahasan. Ide bisa didapat kapan saja dan di mana saja.
Terus berlatih untuk dapat mengembangkan ide menjadi sebuah cerita. Kemudian permasalahan yang sering terjadi adalah takut salah. Rasa takut salah biasanya dikuti takut dikritik.
Apabila perasaan takut salah dan takut dikritik masih hinggap pada diri peserta didik, maka akan menghambat ide dan kreatifitasnya. Guru harus terus memantik semangat dan mengobarkan motivasi kepada peserta didik.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu sebuah cara untuk menumbuhkan bakat menulis peserta didik. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pentigraf atau cerpen tiga paragraf.
Menurut Indradi (2018) Pentigraf adalah kependekan dari Cerpen tiga paragraf. Keringkasan dan kemenarikan cerita yang disajikan membuat pentigraf sebagai genre sastra yang sangat cocok untuk dipelajari di era ini.
Cerpen sebagai bagian dari karya sastra memuat sisi rekreatif dan edukatif lantaran selain terhibur, pembaca dapat mengambil nilai-nilai kehidupan yang diteladaninya sehari-hari.
Wujud pentigraf mampu mengakomodir keperluan peserta didik. Peserta didik diuntungkan karena pentigraf ditulis dalam bentuk yang ringkas dan sederhana. Melalui gawai yang dimiliki peserta didik bisa membuat pentigraf.
Peserta didik dapat juga langsung mengunggah ke media sosial yang mereka miliki. Lebih ringkas dan menjadi penerapan alih wahana sastra dan adaptasi sastra dengan berbagai media, serta integrasi pemanfaatan TIK dalam pembelajaran sastra.
Oleh sebab itu, pentigraf ini layak disajikan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran sastra khusunya pembelajaran menulis cerpen di sekolah.
Menurut Tjahjono (2017), pentigraf sebenarnya merupakan salah satu wujud dari flash fiction, yaitu prosa fiksi yang singkat, meskipun tidak ada ukuran baku terkait singkatnya itu.
Pentigraf ini merupakan salah satu genre fiksi mini yang sempat melejit tahun 1980. Salah satu pionirnya adalah Tengsoe Tjahjono, seorang sastrawan yang aktif mengirimkan pentigrafnya ke harian Suara Indonesia Malang. Kemunculan pentigraf baru dirasakan lagi setelah beberapa sastrawan nasional mulai turun gunung untuk menyadarkan budaya literasi, khusunya literasi sastra.
Bentuk pentigraf memang terbatas hanya tiga paragraf saja, tetapi semua unsur cerita tetap harus dihadirkan. Unsur tersebut adalah (1) tokoh, (2) latar. (3) alur. (4) tema, dan unsur intrinsik lainnya.
Menurut Budianta pentigraf secara tidak langsung mengajak pembaca untuk menyelami esensi terdalam sekaligus memeras satu kisah hingga saripatinya saja. Oleh sebab itu, pembaca akan mampu menghayati isi cerita dan genre ini sangat cocok bagi pembaca yang sibuk sekalipun.
Penerapan pentigraf dalam pembelajaran menulis cerpen pada kompetensi dasar mengungkapkan pengalaman dan gagasan dalam bentuk cerita pendek dengan memperhatikan struktur dan kebahasaan kelas IX di SMP Negeri 3 Penajam Paser Utara dilaksanakan dengan baik.
Setelah peserta didik memahami konsep cerita pendek, dan mampu menelaah unsur kebahasaan dan unsur pembangun cerpen, selanjutnya peserta didik berkreasi menulis cerpen hasil karya mereka.
Dimulai dengan kesepakatan kelas dan kesepakatan tema. Tema dalam menulis pentigraf adalah tema bebas, sehingga nantinya akan ada tema yang beragam tersaji sesuai dengan pengalaman berkesan yang ingin dituangkan peserta didik dalam cerpennya.
Saat proses kreatif menulis cerpen, peserta didik tampak antusias dan tenggelam dalam imajinasinya menuangkan ide-idenya menjadi cerpen. Setelah selesai tahap penulisan dan penyuntingan.
Hasil karya peserta didik kemudian di jadikan sebuah buku antologi cerpen berjudul “Langit Milik Adera”. Biasanya Cerpen hasil karya siswa hanya menjadi arsip portofolio guru. Antologi Cerpen ini nantinya juga dapat dipajang pada kegiatan merayakan hasil belajar atau gelar karya pada kegiatan Proyek Pelajar Pancasila.
Buku antologi cerpen “Langit Milik Adera” ini berisi kumpulan pentigraf karya siswa kelas IX. Penulis sebagai guru bahasa Indonesia, juga turut terlibat menyumbangkan satu karya sebagai bentuk kolaborasi dengan peserta didik.
Pentigraf yang dibuat penulis berjudul ”Tak Semanis Capuccino”. Masih banyak karya peserta didik yang tak kalah menarik misalnya pentigraf yang berjudul ” ”Melepas Rindu”, ”Man Jadda Wa Jadda”, ”Utuh jadi Rapuh”, “Dua Alam yang Berbeda” dan lain sebagainya yang dikemas menjadi kumpulan pentigraf. Membaca kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini, kita akan menemukan replika kehidupan yang sangat berkesan. Tentang kehidupan mereka yang tidak pernah datar. Ada dinamika yang pada akhirnya membuat episode hidup dan kehidupan ini menjadi sarat makna.
Oleh karena itu, munculnya pentigraf yang digagas oleh Tengsoe Tjahjono cukup memberi angin segar bagi pembelajaran sastra di sekolah, khususnya dalam kaitan dengan cerpen dan pemberian soal berupa nilai, amanat, serta watak tokoh. Peserta didik mampu menuangkan ide dan kreatifitasnya dalam teks cerita pendek dengan cepat namun tetap memperhatikan unsur pembangun cerpen itu sendiri.
Pentigraf yang merupakan cerita pendek berisi tiga paragraf juga tergolong sangat cocok jika digunakan sebagai soal ujian dengan materi cerpen. Tidak akan ada lagi potongan karya yang membuat simpang siur antara nilai dari potongan tersebut dengan nilai yang terkandung dalam seluruh karya. Begitu pula watak tokoh yang tampak jelas tanpa ada perubahan watak, sehingga tidak ada kerancuan dalam pemilihan watak tokoh.
Pentigraf yang berisi tiga paragraf, tetap harus mempunyai tokoh, alur cerita, dan konflik yang kuat sehingga cocok dijadikan sebagai soal analisis karya sastra di sekolah.
Selain itu, dalam kaitan penciptaan karya sastra, pentigraf juga dirasa sesuai dengan keterbatasan waktu di sekolah. Genre karya sastra ini tergolong pendek sehingga peserta didik dapat memanfaat keterbatasan waktu di sekolah untuk membuat karya sastra ini. Setelah karya sastra ini dibuat, guru pun dengan cepat dapat mengamati karya tersebut untuk dinilai baik dan tidaknya.
Dengan demikian masalah-masalah pembelajaran sastra di sekolah sedikit dapat teratasi. Hal tersebut tentu pula meringankan beban peserta didik dan guru. Dengan kata lain, peserta didik dapat berkreasi dan berkarya dengan waktu yang memang cukup terbatas.
Hakikatnya, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pembelajaran cerpen ditunjukan untuk menumbuhkan kepedulian seluruh warga sekolah terhadap keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai alat komunikasi dan sebagai alat pemersatu bangsa ini. Pembelajaran cerpen juga dapat menumbuhkan karakter profil pelajar Pancasila pada diri peserta didik.
Kepedulian itu pada gilirannya diharapkan akan meningkatkan sikat positif kita terhadap bahasa Indonesia dan sastra Indonesia baik sebagai lambang identitas dan kebanggaan bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, pembangkit rasa solidaritas kemanusiaan maupun sebagai sarana memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Daftar Pustaka:
Saputra, A. W., & Meilasari, P. (2020). Pentigraf sebagai inovasi pembelajaran sejarah pada masyarakat di era disrupsi. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 6(2), 131-141.
Wahyudi, I., & Wati, R. (2021). Fenomena Sastra Cyber: Tren Menulis Cerita Sastra Dalam Bingkai Media Sosial. Arkhais-Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia, 12(2), 91-98.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H