Selain itu, dalam kaitan penciptaan karya sastra, pentigraf juga dirasa sesuai dengan keterbatasan waktu di sekolah. Genre karya sastra ini tergolong pendek sehingga peserta didik dapat memanfaat keterbatasan waktu di sekolah untuk membuat karya sastra ini. Setelah karya sastra ini dibuat, guru pun dengan cepat dapat mengamati karya tersebut untuk dinilai baik dan tidaknya.
Dengan demikian masalah-masalah pembelajaran sastra di sekolah sedikit dapat teratasi. Hal tersebut tentu pula meringankan beban peserta didik dan guru. Dengan kata lain, peserta didik dapat berkreasi dan berkarya dengan waktu yang memang cukup terbatas.
Hakikatnya, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya pembelajaran cerpen ditunjukan untuk menumbuhkan kepedulian seluruh warga sekolah terhadap keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai alat komunikasi dan sebagai alat pemersatu bangsa ini. Pembelajaran cerpen juga dapat menumbuhkan karakter profil pelajar Pancasila pada diri peserta didik.Â
Kepedulian itu pada gilirannya diharapkan akan meningkatkan sikat positif kita terhadap bahasa Indonesia dan sastra Indonesia baik sebagai lambang identitas dan kebanggaan bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, pembangkit rasa solidaritas kemanusiaan maupun sebagai sarana memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Daftar Pustaka:
Saputra, A. W., & Meilasari, P. (2020). Pentigraf sebagai inovasi pembelajaran sejarah pada masyarakat di era disrupsi. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 6(2), 131-141.
Wahyudi, I., & Wati, R. (2021). Fenomena Sastra Cyber: Tren Menulis Cerita Sastra Dalam Bingkai Media Sosial. Arkhais-Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia, 12(2), 91-98.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H