Mohon tunggu...
Lusi Anggraini
Lusi Anggraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/UIN Imam Bonjol Padang

Penulis/ hobi baca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Eksistensialisme Teistik: Kiekegaarddan Marcel

19 November 2024   01:49 Diperbarui: 19 November 2024   02:23 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


EKSISTENSIALISME : TEISTIK KIEKEGAARDDAN MARCEL.


       Eksistensialisme lahir dipelopori oleh Kierkegaard, meskipun pada masa yang sama
Nietzsche di Jerman juga melakukan serangan yang sama seperti yang dilakukannya. Oleh
Karena itu, sebutan Kierkegaard adalah bapak eksistensialisme masih bisa iiperdebatkan dan
didiskusikan. Barangkali Nietzsche pun pantas mendapat sebutan itu. Penulis Sendiri cenderung
menyebut bahwa Kierkegaard adalah eksistensialis pertama, yang secara Embrional kemudian
melahirkan eksistensialisme teistik dan Nietzsche sebagai eksistensialis Pertama yang menjadi
cikal bakal bagi lahirnya eksistensialisme ateistik.
Sebelum masuk pada pembahasan mendalam mengenai Eksistensialisme Teistik
Kiekegaarddan Marcel. Maka perlu melihat posisi serta yang berlawanan dengannya sebagai
dasar pola piker. Yakni ada dua corak atau model eksistensialisme, yaitu ateistik dan teistik,
atau kadang-Kadang disebut irreligius dan religius. Nama-nama seperti Nietzsche. Heidegger,
Sartre, Albert Camus adalah para tokoh eksistensialisme ateistik, dan nama-nama seperti
Kierkegaard, Karl Jaspers, Gabriel Marcel dan juga Iqbal adalah di antara mereka yang
mendukung Eksistensialisme teistik. Menurut pengelompokan Sartre, yang masuk dalam
kelompok teis Adalah Karl Jasres dan Gabriel Marcel dan yang teis adalah dia sendiri dan
eksistensialis Eksistensialis Prancis. Corak eksistensialisme ateistik Sartre dan Camus dengan
akar eksistensialisme Nietzsche banyak berkembang dan menjadi dominan di Prancis dan

Amerika. Penyelidikan Filosofisnya biasanya menggunakan interpretasi model Husserl dan
orientasi ontologisny. Biasanya kembali kepada tipe fenomenologi Heidegger. Sedemikian
populernya jenis.
Eksistensialis ini, Jean Wahl ketika singgah di Paris pernah ditanya orang di suatu
kafe, apakah Tuan seorang eksistensialis, surement, Monsieur est extentialiste.
Eksistensialisme religius yang dikembangkan oleh Marcel dan Jaspers berakar pada
Eksistensialisme Kierkegaard dengan interpretasi filosofos yang berupa Hegelianisme.
Interpretasi monoteistik Barat sangat mendasari mereka dalam membicarakan manusia dan
Hubungannya dengan Tuhan.
Ciri yang menonjol untuk membedakan keduanya adalah bahwa yang ateistik menolak
Tuhan demi kebebasan manusia, sedangkan yang teis justru dengan menerima Tuhan manusia
Mendapatkan kebebasannya. Kedua-duanya sama-sama menekankan pentingnya
individualitas dan kebebasan dan sama-sama memandang manusia sebagai realitas terbuka
dan tek pernahbSelesai. Argumen eksistensialis ateis, apabila eksistensi Tuhan diterima
berarti eksistensi Manusia menjadi semu, karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan
Tuhan.7
Eksistensialis teis berpendapat, manusia mengatasi temporalitas yang menjadi ciri
eksistensi dengan menjadikan Tuhan sebagai masa depannya. iari ciri tersebut nampak jelas
bahwa kemunculan dua aliran tersebut sebenarnya iipacu oleh permasalahan eksistensi
agama atau Tuhan. Bagaimana pun juga mereka lahir di Bawah kultur Barat yang berakar kuat
pada rezim esensialisme dan institutionalisme. iari rezim Seperti itu, lahir lembaga-lembaga
Kristen dan pandangan-pandangan Kristen esensialistik.
Gereja muncul sebagai institusi otoriter yang tidak hanya mendeterminasi para
penganutnya, Tapi kadang-kadang juga mendikte perkembangan kultural. ii dalam Kristen
esesnsialisme Seperti itu, kreativitas dan vitalitas individu menjadi tenggelam ke dalamnya;
pribadinya adalah Pribadi kelompok. Bahkan paham-paham Kekristenan mempunyai
benderanya masing-masing. Lutheranisme, Calvinisme, Evengelisme dan lain sebagainya.8
 Mereka lebih condong Mempertahankan bendera kelompoknya dari pada Kristen
Murni itu sendiri. Racun teologis dari Kristen-Kristen ezensialistik itulah menurut Nietzscheyang merasuki filsafat dan kebudayaan Eropa; gerak kultural Eropa dan dinamika individu
menjadi terhambat. Problem agama Nietzsche adalah problem kultural. Bukti intervensi
agama ke dalam gerak budaya tergambar ialam ungkapan Nietzsche , "apa yang ditolak oleh
Kristen adalah fakta dari budaya manusia Yang besar.9
 
 iari kata-kata ini, Kristen berlaku sebagai determinator sehingga gerak Individu,
kehendaknya dan kreativitasnya menjadi tertutup. Hal inilah yang mengantisipasi Nietzsche
merasa muak dan membenci Tuhan Kristiani. iengan "membunuh" Tuhan, dia ingin
Menciptakan suatu dunia tanpa Tuhan demi kebebasan manusia. Baginya larangannya sudah
Tidak merupakan rintangan lagi, itu berarti bahwa dunia sudah terbuka kesempatan yang
seluas-Luasnya bagi kebebasan dan aktivitas kreatif manusia.
 Apa yang dilakukan Nietzsche itu mengantisipasi Heidegger dan Sartre untuk menolak
Eksistensi Tuhan. Tuhan menjadi halangan utama bagi kebebasan manusia. Adanya Tuhan
berarti esensi manusia telah ditentukan olehnya. Nampak jelas bahwa Tuhan mereka pahami
Sebagai esensialis. Analogi Tuhan dengan paper cutter oleh Sartre mempertegas bahwa para
Eksistensialis ateis memahami Tuhan dalam arti esensi.
 Para eksistensialis teis juga menolak esensialisme Kristen. Mereka tidak bisa menerima
Kristen yang dikemas dalam konsep-konsep logisme, karena cenderung mengabaikan
hubungan Personal manusia dengan Tuhannya. Tuhan tidak mereka pahami sebagai esensi,
tetapi sebagai Individu; bukan dengan cara impersonal tetapi personal. ii bawah bayang-
bayang Kierkegaard, Marcel dan Jaspers berpendirian sama bahwa absolutisme Hegelian
hanya menampilkan Kristen dalam suatu sistem tertutup dan membuat nonsense hubungan
personal manusia dengan waTuhannya.
 Tuhan tidak dipahami sebagai suatu diri yang berdiri "di belakang" manusia, tetapi Ia
Menjadi arah proyeksi dati eksistensi manusia. ialam kebebasannya, manusia tidak bisa
Memenuhi tuntutan-tuntutan etisnya sendiri. Melalui momen-momen krisis, seperti nampak
ialam Kierkegaard, dan situasi batas, seperti nampak dalam Jaspers, mereka menemukan
Kembali Tuhan; Tuhan menjadi harapan ke depan bagi keabadiannya. ialam eksistensialisme
Marcel, kemandirian individual tidak henti pada a self enclosed unit, suatu unit diri yang
Tertutup, tetapi suatu unit diri yang "terbuka" bagi Yang Kudus.

Dengan demikian jelas bahwa " benang merah" perbedaan keduanya adalah problem
Esensialisme dalam agama. Para eksistensialis ateis menolak agama karena mereka
Memahaminya sebagai esensi, sistem. Pemahaman agama seperti ini pun sebenarnya juga
tidak Bisa diterima oleh eksistensialis teis, karena wataknya yang mengkooptasi keunikan
individu. Para eksistensialis teis menerima Tuhan dan menganggapnya tidak merampas
kebebasan Manusia perorangan karena Tuhan dia pahami secara individual, bukan sebagai
suatu sistem iiri yang tertutup.
Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apa pun keputusan yang
diambilnya, tak pernah ia mantap dan sempurna.
"Yes, I percetoe perfectly that there are two possibilities, one can do either this or
that." (E/O Vo. II, p. 134) "Ya, sejak semula saya menyaksikan bahwa ada dua
kemungkinan, seorang hanya bisa melakukan apakah ini ataukah itu.
Tidak bisa dihindarkan bahwa dalam kenyataan kita selalu menghadapi tuntutan untuk
mengambil keputusan yang lagi-lagi berkisar pada penghayatan filsafat kehidupan ini, yakni:
"... concentrated in one single proposition, I say merely eitheror." Terpusat pada satu
proposisi, aku hanya berkata apakah ini ataukah itu."
Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya
yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk.
Kemu- dian ia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak, yang baik atau yang buruk.
Kalau seseorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, yaitu setelah ia memilih
satu di antara keduanya, barulah putusan-putusannya menjadi bermakna. Tanpa pendirian
yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada
artinya karena, untuk memilih dan membuat keputusan itu, manusia bebas. Artinya, ia harus
mampu mempertanggungjawabkan dirinya. Justru oleh kesediaan bertanggung jawab ini,
maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula. Setiap orang
harus lebih dahulu menetapkan bagi dirinya sendiri: siapa dia, lalu memutuskan ingin jadi apa
dia, dan barulah kemudian ia bertindak sesuai dengan pilihannya yang telah diungkapkan
sebagai keputusan baginya iengan demikian, semua tindakannya didukung oleh suatu sikap etis yang tidak
terlepas dari tanggungjawab sehingga orang itu, menurut S.K., telah melampaui suatu
eksistensi yang sekadar terletak pada taraf estetis belaka, sebagaimana digambarkan oleh
sosok ion Juan, yaitu suatu taraf yang terutama ditandai oleh hasrat yang tidak habis-
habisnya untuk dipuaskan. Sikap estetis itu bukanlah harus ditiadakan, melainkan har- us
ditingkatkan lebih tinggi lagi, yaitu ke taraf etis. Transfigurasi nilai-nilai estetis ke taraf etis
itu memungkinkan lebih langgeng- nya nilai-nilai tersebut.
Taraf terakhir yang harus dicapai oleh manusia adalah taraf religius, Pada taraf ini
manusia tidak lagi mengidamkan pengertian dan kesaksian dari sesama manusia. P'ada taraf
religius ini ia menghayati pertemuannya dengan Tuhan sebagai satu dialogi yang sejati.11
Kepercayaan terhadap Tuhan adalah suatu tindakan. transendental yang dimungkinkan karena
Tuhan memberikan kesempatan pada manusia untuk mengatasi dirinya dan meng- hadap
kepada-Nya; menghadap dengan kesejatiannya, sebab:
"God is the only one who does no grow tired of listening to men,"
"Tuhan adalah satu-satunya yang tidak pernah kesal mendengarkan manusia."
 Sejak menemukan-Nya kembali, bagi S.K. Tuhan adalah suatu kedekatan baginya. la
mengeritik orang yang hanya se- cara sepintas tahu tentang agama, berpikir tentang agama,
dan berbicara tentang agama. Bagi S.K. agama harus dihayati sebagai suatu pengalaman
subjektif. Juga dalam hubungan ini, S.K. me- nekankan bahwa yang menjadi soal bukanlah
agama itu sendiri, melainkan bagaimana menjalani suatu eksistensi beragama.
 S.K. menganggap sia-sia usaha orang-orang yang ingin membuktikan ada-tidaknya
Tuhan. Usaha demikian itu adalah spekulasi yang abstrak belaka; suatu ikhtiar logis yang
diarahkan pada sekadar mencari pengetahuan tentang Tuhan, padahal jalan menuju Tuhan
tidak mungkin ditempuh melalui logika yang abstrak, melainkan harus didasarkan pada
penghayatan subjektif.12
 Sren Kierkagaard membagi eksistensi manusia ke dalam tiga tingkat yang masing-
masing memiliki ciri khas, yaitu: Eksistensi yang estetik, Eksistensi yang etik, Eksistensi
yang religius. Sren Kierkegaard berbeda dengan kaum eksistensialis lainnya yang
mengesampingkan keberadaan Tuhan atau dengan filsuf eksistensialis yang pada umumnyad apat dikatakan atheis. Oleh karena itu, baginya agama merupakan sebagai suatu bentuk pemahaman dan penghayatan teologik untuk mencapaiAllah. ialam pandangannya tentang

teologik ia banyak mengadakan kritik terhadap agama Kristen. Itu tidak berarti ia sendiri
berbalik dari iman kepercayaan Kristiani. iengan demikian, dalam filsafat Sren Kierkegaard
dapat dikatakan, bahwa filsafat yang di kemukakan nya terlalu ideologik.13


KESIMPULAN
           

           Kierkegaard yang mewakili eksistensialis teistik menempatkan kehidupan
duniawi sebagai kehidupan etis, yaitu pemilikan sadar dari diri yang bebas. Meskipun
demikian, dalam eksiastensialisme Kierkegaard, terdapat konflik antara tahap estetika dan
tahap religius, yaitu kekuatan dan kegelisahan dalam realitas etis diri manusia dan untuk
mengatasinya manusia melompat ke dalam panggilan kewajiban tertinggi, ke dalam diri
Tuhan, melalui iman. Individualitas Kierkegaard terserap ke dalam diri Kristus. Padahal
sayogyanya, antara tahap etis dan tahap religuis tidak ada konflik, maupun apa yang disebut
Kierkegaard dengan momen-momen krisis setidaknya tidak ada, tetapi sebaliknya
penemuan Tuhan manusia adalah wujud dari aktivitas dan kreativitasnya dan semakin
menegaskan individualitas, kebebasannya dan immoralitasnya. 

REFERENSI
Armawi, Armaidy. 2011. Eksistensi Manusia ialam Filsafat Sren Kierkegaar, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 1, April 2011, hal
26
Bertens, Kees. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Penerbit Kanisius; Yogyakarta. Hadiwijono.
Bertens, Kees. 1987. Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Gramedia.
Harun, 1980. Seri Sejarah Filsafat Barat 2. Penerbit Kanisius; Yogyakarta
Hassan, faud. 2018. Berkenalaan dengan Eksistensialisme; PT dunia pusaka jaya.
Kierkegaard, Sren Aabye (Johannes ie Silentio), 1983, Fear and Trembling, Terj. Howard V.
Hong dan Edna H. Hong, Princeton University Press: Princeton

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun