Mohon tunggu...
Lusi Anggraini
Lusi Anggraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/UIN Imam Bonjol Padang

Penulis/ hobi baca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Eksistensialisme Teistik: Kiekegaarddan Marcel

19 November 2024   01:49 Diperbarui: 19 November 2024   02:23 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

EKSISTENSIALISME TEISTIK: KIEKEGAARDDAN MARCEL


Lusi Anggraini


Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang
lusianggraini2006@gmail.com


Abstrak 

          Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala sesuatu gejala bertitikt olak dari eksistensinya. Eksistensi sendiri dapat diartikan sebagai suatu bentukk eberadaan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalamt entang eksistensialisme teistik: Kiekegaarddan Marcel. Penelitian ini dilakukan denganj enis penelitian kualitatif dengan model pendekatan deskriptif. Hasil dari penelitian ini

didapati bahwa Kierkegaard yang mewakili eksistensialis teistik menempatkan kehidupan
duniawi sebagai kehidupan etis, yaitu pemilikan sadar dari diri yang bebas. Meskipun
demikian, dalam eksiastensialisme Kierkegaard, terdapat konflik antara tahap estetika dan
tahap religius, yaitu kekuatan dan kegelisahan dalam realitas etis diri manusia dan untuk
mengatasinya manusia melompat ke dalam panggilan kewajiban tertinggi, ke dalam diri
Tuhan, melalui iman. Individualitas Kierkegaard terserap ke dalam diri Kristus.
 Kata kunci : Eksistensialisme, teistik, Kiekegaarddan Marcel.


PENDAHULUAN

         Sehubungan dengan itu, terjadilah kecenderungan untuk memberikan tempat yang
setinggi-tingginya kepada kemampuan rasional sebagai alat untuk memahami kenyataan.
Sesuatu yang dinyatakan sebagai keunggulan harus dapat di rumuskan sebagai hasil
pemikiran yang pasti. 1
 Di samping itu, suatu pemikiran tentang kenyataan haruslah
dinyatakan dalam rumus-rumus yang umum. Apa yang 'universal itulah yang benar, bukan
yang 'partikular'. ialam Either/Or itu S.K. untuk pertama kalinya mengajak kita untuk
menjalani eksistensi kita sebagai manusia, masing-masing dengan subjektivitasnya. Bagi S.K.
manusia yang kongkret dan nyata adalah yang individual dan subjektif, bukan apa yang
dipukul rata dan objektif. Pembahasan lebih lanjut serta mendalam mengenai Eksistensialisme Teistik: Kiekegaarddan Marcel akan di bahas berikut ini. ii Eropa Barat
pada abad ke 19 merupakan abad kejayaan ilmu pengetahuan.2

TRAJEKTORI KIEKEGAARDDAN MARCEL


           Soren Aabye Kierkegaard adalah nama lengkap filsuf ienmark yang kemudian terkenal
dengan singkatan S.K. Suatu hal yang khas pada filsuf ini ialah kegemarannya untuk menulis
dengan berbagai nama samaran: suatu hal yang tidak lazim kita jumpai di antara tokoh-tokoh
filsafat. ii antara nama-nama samaran itu, yang paling digemarinya adalah Johannes
Climacus (Johannes sang Pendaki) dan Johannes de Silentio (Johannes dari Kesunyian).
Apakah yang sebenarnya menjadi sebab dari penggunaan sejumlah nama samaran itu tidaklah
jelas dapat dipastikan. Na mun tidak tertutup kemungkinan bahwa S.K. memang mengala- mi
suatu krisis perihal identitas dirinya sebagai anggota keluarga Kierkegaard. Sehubungan
dengan ini, sebagaimana biasanya pembahasan mengenai S.K. dan filsafatnya, demi
pengertian yang lebih mendalam tentang filsafatnya, maka perlu kita dahulukan pembicaraan
mengenai latar belakang kehidupan keluarganya.
 Anamnesis mengenai diri S.K. ini tidak sekadar untuk menjadi- kan dia semata-mata
sebagai suatu kasus psikologi, melainkan dikarenakan pula oleh kenyataan bahwa di
kemudian hari buah pikirannya menunjukkan dengan gamblang betapa besarnya pen garuh
suasana kehidupan keluarganya itu. S.K. dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal
pada tanggal 11 November 1855.
 Kedua peristiwa ini dan hampir semua peristiwa penting yang terjadi dalam hidup nya
terjadi di Kopenhagen. Berbeda dengan Nietzsche yang pindah-pindah dari satu kota ke kota
lain, dari satu negara ke negara lainnya, Kierkegaard dalam usia dewasa hanyalah berpindah-
pindah kamar sewaan di Kopenhagen. Hal ini tentunya menjadi sebab pula mengapa S.K.
yang terutama menulis dalam bahasa negerinya sendiri tidak begitu segera dikenal oleh orang-
orang yang berada di luar batas negerinya. Hidupnya yang berakhir ketika menjelang usia 43
tahun itu tidak memungkinkan ia mengalami masa kejayaannya sebagai filsuf.3
 S.K. dilahirkan sebagai anak bungsu dalam keluarga tujuh bersaudara. Ketika ia lahir,
ayahnya Michael l'edersen Kierkegaard sudah berusia 56 tahun, sedangkan ibunya Anne Lund 

45 tahun. Pada waktu itu ayahnya sudah sedemikian beruntung dalam usaha dagangnya,
sehingga ketika S.K. lahir, keluarganya tergolong kalangan berada di masyarakat Kopenha-
gen. Ayahnya mempunyai lebih banyak waktu untuk mencurahkan perhatian pada pendidikan
anak-anaknya. S.K. yang bungsu dan cerdas merupakan anak kesayangannya. Ia sering
membicarakan hal-hal dengan S.K. yang sebenarnya masih terlalu muda untuk mengerti
masalah-masalahnya. Pembicaraan ini antara lain meliputi masalah-masalah yang
berhubungan dengan religi. ii samping itu, ayahnya yang sudah tua pun sering mengajak
S.K. bermain, sampai pada suatu hari ia jatuh dari pohon dan mengalami cedera di punggunya
sehingga kemudian ia harus hidup dengan cacat jasmani yang juga berpengaruh terhadap
kehidupan seterusnya.4
 Michael Pedersen Kierkegaard (M.K.) sangat kuat hasratnya untuk mendidik S.K.
sebagai persiapan untuk memasuki sekolah theologi. Mungkin hal ini berhubungan erat
dengan salah satu peristiwa yang berakhir traumatis terhadap ayahnya sendiri. ialam sejarah
hidup ayahnya telah mengalami dua peristiwa traumatis yang sungguh-sungguh membekas
selama hidupnya. Peristiwa pertama terjadi ketika M.K. masih kanak-kanak dan hidup dalam
kemelaratan yang pahit. Pada suatu hari M.K. menggembala domba di padang tandus di
Jutland. Menghayati kekesalan, kesepian, dan kemelaratannya, maka M.K. tiba-tiba
menengadah ke langit dan menyatakan amarahnya terhadap Tuhan.
 Peristiwa yang kedua berhubungan dengan perkawinan nya dengan Anne Lund,
istrinya yang kedua, yang kemudian menurunkan ketujuh anaknya. Anne Lund yang bekerja
sebagai pembantu rumah-tangga pada keluarga Kierkegaard itu diper- istrinya sebelum selesai
masa berkabung sehubungan dengan meninggal istrinya yang pertama. Akan tetapi lebih dari
itu karena penyelewengan yang dilakukannya, maka anak pertama mereka lahir hanya lima
bulan setelah perkawinannya dengan Anne Lund.5
 Kedua peristiwa ini jelas tidak bisa dilupakan oleh M.K. selama hidupnya sehingga ia
tidak pernah mampu memaafkan dirinya sendiri akibat perbuatannya itu. iua peristiwa ini
yang akhirnya diceritakan pada S.K. ketika ia mencapai usia dewasa, juga telah meninggalkan
bekas yang sangat mendalam pada S.K. dan hal ini ditonjolkan oleh S.K. sebagai suatu
peristiwa dalam hidupnya yang diibaratkan sebagai gempa yang dahsyat.
 Melankoli yang diderita oleh ayahnya akibat kedua trauma ini kian lama kian
berpengaruh terhadap diri S.K. ii samping itu, bagi S.K. sendiri serentetan kematian anggota keluarganya juga merupakan sebab kemurungan yang mendalam pada dir- inya. iua
kakaknya, seorang lai-laki dan seorang perempuan, meninggal ketika S.K. masih kanak-
kanak. Kemudian menyusul kematian kakak-kakaknya yang lain serta ibunya: kakak
perempuan (September 1832); kakak laki-laki (September 1833); sedangkan ibunya
meninggal (Juli 1834), dan dalam tahun itu juga kakak perempuan yang paling disayanginya
meninggal pula (iesember). ialam dua tahun berturut-turut S.K. menyaksikan anggota-
anggota keluarganya itu dimakamkan.
 iari tujuh bersaudara, tinggal dua saja, yaitu kakaknya, Peter Christian dan S.K.
sendiri. Peristiwa-peristiwa kemurungan yang menimpa keluarga- nya ini membuat S.K.
berpikir mengapa Tuhan sedemikian mur- ka terhadap keluarganya. Mengapa kematian terjadi
demikian beruntun? Sejak itu pada S.K. timbul suatu prasangka yang kuat bahwa kutukan
Tuhan telah jatuh pada keluarganya.6


EKSISTENSIALISME : TEISTIK KIEKEGAARDDAN MARCEL.


       Eksistensialisme lahir dipelopori oleh Kierkegaard, meskipun pada masa yang sama
Nietzsche di Jerman juga melakukan serangan yang sama seperti yang dilakukannya. Oleh
Karena itu, sebutan Kierkegaard adalah bapak eksistensialisme masih bisa iiperdebatkan dan
didiskusikan. Barangkali Nietzsche pun pantas mendapat sebutan itu. Penulis Sendiri cenderung
menyebut bahwa Kierkegaard adalah eksistensialis pertama, yang secara Embrional kemudian
melahirkan eksistensialisme teistik dan Nietzsche sebagai eksistensialis Pertama yang menjadi
cikal bakal bagi lahirnya eksistensialisme ateistik.
Sebelum masuk pada pembahasan mendalam mengenai Eksistensialisme Teistik
Kiekegaarddan Marcel. Maka perlu melihat posisi serta yang berlawanan dengannya sebagai
dasar pola piker. Yakni ada dua corak atau model eksistensialisme, yaitu ateistik dan teistik,
atau kadang-Kadang disebut irreligius dan religius. Nama-nama seperti Nietzsche. Heidegger,
Sartre, Albert Camus adalah para tokoh eksistensialisme ateistik, dan nama-nama seperti
Kierkegaard, Karl Jaspers, Gabriel Marcel dan juga Iqbal adalah di antara mereka yang
mendukung Eksistensialisme teistik. Menurut pengelompokan Sartre, yang masuk dalam
kelompok teis Adalah Karl Jasres dan Gabriel Marcel dan yang teis adalah dia sendiri dan
eksistensialis Eksistensialis Prancis. Corak eksistensialisme ateistik Sartre dan Camus dengan
akar eksistensialisme Nietzsche banyak berkembang dan menjadi dominan di Prancis dan

Amerika. Penyelidikan Filosofisnya biasanya menggunakan interpretasi model Husserl dan
orientasi ontologisny. Biasanya kembali kepada tipe fenomenologi Heidegger. Sedemikian
populernya jenis.
Eksistensialis ini, Jean Wahl ketika singgah di Paris pernah ditanya orang di suatu
kafe, apakah Tuan seorang eksistensialis, surement, Monsieur est extentialiste.
Eksistensialisme religius yang dikembangkan oleh Marcel dan Jaspers berakar pada
Eksistensialisme Kierkegaard dengan interpretasi filosofos yang berupa Hegelianisme.
Interpretasi monoteistik Barat sangat mendasari mereka dalam membicarakan manusia dan
Hubungannya dengan Tuhan.
Ciri yang menonjol untuk membedakan keduanya adalah bahwa yang ateistik menolak
Tuhan demi kebebasan manusia, sedangkan yang teis justru dengan menerima Tuhan manusia
Mendapatkan kebebasannya. Kedua-duanya sama-sama menekankan pentingnya
individualitas dan kebebasan dan sama-sama memandang manusia sebagai realitas terbuka
dan tek pernahbSelesai. Argumen eksistensialis ateis, apabila eksistensi Tuhan diterima
berarti eksistensi Manusia menjadi semu, karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan
Tuhan.7
Eksistensialis teis berpendapat, manusia mengatasi temporalitas yang menjadi ciri
eksistensi dengan menjadikan Tuhan sebagai masa depannya. iari ciri tersebut nampak jelas
bahwa kemunculan dua aliran tersebut sebenarnya iipacu oleh permasalahan eksistensi
agama atau Tuhan. Bagaimana pun juga mereka lahir di Bawah kultur Barat yang berakar kuat
pada rezim esensialisme dan institutionalisme. iari rezim Seperti itu, lahir lembaga-lembaga
Kristen dan pandangan-pandangan Kristen esensialistik.
Gereja muncul sebagai institusi otoriter yang tidak hanya mendeterminasi para
penganutnya, Tapi kadang-kadang juga mendikte perkembangan kultural. ii dalam Kristen
esesnsialisme Seperti itu, kreativitas dan vitalitas individu menjadi tenggelam ke dalamnya;
pribadinya adalah Pribadi kelompok. Bahkan paham-paham Kekristenan mempunyai
benderanya masing-masing. Lutheranisme, Calvinisme, Evengelisme dan lain sebagainya.8
 Mereka lebih condong Mempertahankan bendera kelompoknya dari pada Kristen
Murni itu sendiri. Racun teologis dari Kristen-Kristen ezensialistik itulah menurut Nietzscheyang merasuki filsafat dan kebudayaan Eropa; gerak kultural Eropa dan dinamika individu
menjadi terhambat. Problem agama Nietzsche adalah problem kultural. Bukti intervensi
agama ke dalam gerak budaya tergambar ialam ungkapan Nietzsche , "apa yang ditolak oleh
Kristen adalah fakta dari budaya manusia Yang besar.9
 
 iari kata-kata ini, Kristen berlaku sebagai determinator sehingga gerak Individu,
kehendaknya dan kreativitasnya menjadi tertutup. Hal inilah yang mengantisipasi Nietzsche
merasa muak dan membenci Tuhan Kristiani. iengan "membunuh" Tuhan, dia ingin
Menciptakan suatu dunia tanpa Tuhan demi kebebasan manusia. Baginya larangannya sudah
Tidak merupakan rintangan lagi, itu berarti bahwa dunia sudah terbuka kesempatan yang
seluas-Luasnya bagi kebebasan dan aktivitas kreatif manusia.
 Apa yang dilakukan Nietzsche itu mengantisipasi Heidegger dan Sartre untuk menolak
Eksistensi Tuhan. Tuhan menjadi halangan utama bagi kebebasan manusia. Adanya Tuhan
berarti esensi manusia telah ditentukan olehnya. Nampak jelas bahwa Tuhan mereka pahami
Sebagai esensialis. Analogi Tuhan dengan paper cutter oleh Sartre mempertegas bahwa para
Eksistensialis ateis memahami Tuhan dalam arti esensi.
 Para eksistensialis teis juga menolak esensialisme Kristen. Mereka tidak bisa menerima
Kristen yang dikemas dalam konsep-konsep logisme, karena cenderung mengabaikan
hubungan Personal manusia dengan Tuhannya. Tuhan tidak mereka pahami sebagai esensi,
tetapi sebagai Individu; bukan dengan cara impersonal tetapi personal. ii bawah bayang-
bayang Kierkegaard, Marcel dan Jaspers berpendirian sama bahwa absolutisme Hegelian
hanya menampilkan Kristen dalam suatu sistem tertutup dan membuat nonsense hubungan
personal manusia dengan waTuhannya.
 Tuhan tidak dipahami sebagai suatu diri yang berdiri "di belakang" manusia, tetapi Ia
Menjadi arah proyeksi dati eksistensi manusia. ialam kebebasannya, manusia tidak bisa
Memenuhi tuntutan-tuntutan etisnya sendiri. Melalui momen-momen krisis, seperti nampak
ialam Kierkegaard, dan situasi batas, seperti nampak dalam Jaspers, mereka menemukan
Kembali Tuhan; Tuhan menjadi harapan ke depan bagi keabadiannya. ialam eksistensialisme
Marcel, kemandirian individual tidak henti pada a self enclosed unit, suatu unit diri yang
Tertutup, tetapi suatu unit diri yang "terbuka" bagi Yang Kudus.

Dengan demikian jelas bahwa " benang merah" perbedaan keduanya adalah problem
Esensialisme dalam agama. Para eksistensialis ateis menolak agama karena mereka
Memahaminya sebagai esensi, sistem. Pemahaman agama seperti ini pun sebenarnya juga
tidak Bisa diterima oleh eksistensialis teis, karena wataknya yang mengkooptasi keunikan
individu. Para eksistensialis teis menerima Tuhan dan menganggapnya tidak merampas
kebebasan Manusia perorangan karena Tuhan dia pahami secara individual, bukan sebagai
suatu sistem iiri yang tertutup.
Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apa pun keputusan yang
diambilnya, tak pernah ia mantap dan sempurna.
"Yes, I percetoe perfectly that there are two possibilities, one can do either this or
that." (E/O Vo. II, p. 134) "Ya, sejak semula saya menyaksikan bahwa ada dua
kemungkinan, seorang hanya bisa melakukan apakah ini ataukah itu.
Tidak bisa dihindarkan bahwa dalam kenyataan kita selalu menghadapi tuntutan untuk
mengambil keputusan yang lagi-lagi berkisar pada penghayatan filsafat kehidupan ini, yakni:
"... concentrated in one single proposition, I say merely eitheror." Terpusat pada satu
proposisi, aku hanya berkata apakah ini ataukah itu."
Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya
yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk.
Kemu- dian ia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak, yang baik atau yang buruk.
Kalau seseorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, yaitu setelah ia memilih
satu di antara keduanya, barulah putusan-putusannya menjadi bermakna. Tanpa pendirian
yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada
artinya karena, untuk memilih dan membuat keputusan itu, manusia bebas. Artinya, ia harus
mampu mempertanggungjawabkan dirinya. Justru oleh kesediaan bertanggung jawab ini,
maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula. Setiap orang
harus lebih dahulu menetapkan bagi dirinya sendiri: siapa dia, lalu memutuskan ingin jadi apa
dia, dan barulah kemudian ia bertindak sesuai dengan pilihannya yang telah diungkapkan
sebagai keputusan baginya iengan demikian, semua tindakannya didukung oleh suatu sikap etis yang tidak
terlepas dari tanggungjawab sehingga orang itu, menurut S.K., telah melampaui suatu
eksistensi yang sekadar terletak pada taraf estetis belaka, sebagaimana digambarkan oleh
sosok ion Juan, yaitu suatu taraf yang terutama ditandai oleh hasrat yang tidak habis-
habisnya untuk dipuaskan. Sikap estetis itu bukanlah harus ditiadakan, melainkan har- us
ditingkatkan lebih tinggi lagi, yaitu ke taraf etis. Transfigurasi nilai-nilai estetis ke taraf etis
itu memungkinkan lebih langgeng- nya nilai-nilai tersebut.
Taraf terakhir yang harus dicapai oleh manusia adalah taraf religius, Pada taraf ini
manusia tidak lagi mengidamkan pengertian dan kesaksian dari sesama manusia. P'ada taraf
religius ini ia menghayati pertemuannya dengan Tuhan sebagai satu dialogi yang sejati.11
Kepercayaan terhadap Tuhan adalah suatu tindakan. transendental yang dimungkinkan karena
Tuhan memberikan kesempatan pada manusia untuk mengatasi dirinya dan meng- hadap
kepada-Nya; menghadap dengan kesejatiannya, sebab:
"God is the only one who does no grow tired of listening to men,"
"Tuhan adalah satu-satunya yang tidak pernah kesal mendengarkan manusia."
 Sejak menemukan-Nya kembali, bagi S.K. Tuhan adalah suatu kedekatan baginya. la
mengeritik orang yang hanya se- cara sepintas tahu tentang agama, berpikir tentang agama,
dan berbicara tentang agama. Bagi S.K. agama harus dihayati sebagai suatu pengalaman
subjektif. Juga dalam hubungan ini, S.K. me- nekankan bahwa yang menjadi soal bukanlah
agama itu sendiri, melainkan bagaimana menjalani suatu eksistensi beragama.
 S.K. menganggap sia-sia usaha orang-orang yang ingin membuktikan ada-tidaknya
Tuhan. Usaha demikian itu adalah spekulasi yang abstrak belaka; suatu ikhtiar logis yang
diarahkan pada sekadar mencari pengetahuan tentang Tuhan, padahal jalan menuju Tuhan
tidak mungkin ditempuh melalui logika yang abstrak, melainkan harus didasarkan pada
penghayatan subjektif.12
 Sren Kierkagaard membagi eksistensi manusia ke dalam tiga tingkat yang masing-
masing memiliki ciri khas, yaitu: Eksistensi yang estetik, Eksistensi yang etik, Eksistensi
yang religius. Sren Kierkegaard berbeda dengan kaum eksistensialis lainnya yang
mengesampingkan keberadaan Tuhan atau dengan filsuf eksistensialis yang pada umumnyad apat dikatakan atheis. Oleh karena itu, baginya agama merupakan sebagai suatu bentuk pemahaman dan penghayatan teologik untuk mencapaiAllah. ialam pandangannya tentang

teologik ia banyak mengadakan kritik terhadap agama Kristen. Itu tidak berarti ia sendiri
berbalik dari iman kepercayaan Kristiani. iengan demikian, dalam filsafat Sren Kierkegaard
dapat dikatakan, bahwa filsafat yang di kemukakan nya terlalu ideologik.13


KESIMPULAN
           

           Kierkegaard yang mewakili eksistensialis teistik menempatkan kehidupan
duniawi sebagai kehidupan etis, yaitu pemilikan sadar dari diri yang bebas. Meskipun
demikian, dalam eksiastensialisme Kierkegaard, terdapat konflik antara tahap estetika dan
tahap religius, yaitu kekuatan dan kegelisahan dalam realitas etis diri manusia dan untuk
mengatasinya manusia melompat ke dalam panggilan kewajiban tertinggi, ke dalam diri
Tuhan, melalui iman. Individualitas Kierkegaard terserap ke dalam diri Kristus. Padahal
sayogyanya, antara tahap etis dan tahap religuis tidak ada konflik, maupun apa yang disebut
Kierkegaard dengan momen-momen krisis setidaknya tidak ada, tetapi sebaliknya
penemuan Tuhan manusia adalah wujud dari aktivitas dan kreativitasnya dan semakin
menegaskan individualitas, kebebasannya dan immoralitasnya. 

REFERENSI
Armawi, Armaidy. 2011. Eksistensi Manusia ialam Filsafat Sren Kierkegaar, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 1, April 2011, hal
26
Bertens, Kees. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Penerbit Kanisius; Yogyakarta. Hadiwijono.
Bertens, Kees. 1987. Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Gramedia.
Harun, 1980. Seri Sejarah Filsafat Barat 2. Penerbit Kanisius; Yogyakarta
Hassan, faud. 2018. Berkenalaan dengan Eksistensialisme; PT dunia pusaka jaya.
Kierkegaard, Sren Aabye (Johannes ie Silentio), 1983, Fear and Trembling, Terj. Howard V.
Hong dan Edna H. Hong, Princeton University Press: Princeton

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun