Mohon tunggu...
lusianaindira
lusianaindira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Abdi Negara yang sedang mempelajari ilmu komunikasi

Saya adalah seorang PNS Kabupaten Brebes yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktor di Universitas Sahid.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Sistem Among Hindarkan Ibu Bulldozer dan Anak Strawberry

22 Desember 2024   13:26 Diperbarui: 22 Desember 2024   13:27 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Hari ini 22 Desember, diperingati sebagai hari Ibu di Indonesia. Meski jika kita melihat sejarah munculnya peringatan hari ibu ini, agak berbeda dengan peringatan mother’s day. Dimana hari ibu di Indonesia justru merupakan peringatan atas pelaksanaan kongres wanita I di Jogyakarta, 22-25 Desember 1928. Pada kongres tersebut, para ibu dari berbagai organisasi dan daerah menghadiri kongres untuk menetapkan berbagai agenda kemerdekaan bangsa dan perbaikan kualitas hidup perempuan. Meski demikian, mari kita lihat betapa ibu sebagai madarasah pertama dan utama bagi anak-anaknya ternyata memiliki peran yang sangat penting dalam membangun karakter generasi.

Belakangan kita sering mendengar istilah “generasi strawbery” yang sering diasosiasikan dengan karakter gen-Z (anak yang lahir antara tahun 1997-2012) Istilah "generasi strawberry" sendiri, pertama kali muncul di Taiwan untuk mengacu pada sebagian generasi baru yang memiliki keindahan eksotis namun memiliki ketahanan rendah,  mudah hancur saat terpapar tekanan atau tantangan seperti buah strawberry. Menurut Prof. Rhenald Kasali, dalam bukunya yang berjudul Strawberry Generation, mereka adalah kelompok anak muda yang kreatif, menguasi teknologi, namun cenderung rentan menyerah dan mudah tersinggung.

Kemunculan generasi strawberry ini tidaklah mungkin tiba-tiba, melainkan bisa jadi merupakan hasil pola asuh bulldozer dari orang tua. Baru saja terjadi, media dihebohkan dengan kasus penganiayaan seorang dokter muda atau koas dari Universitas Sriwijaya Palembang, oleh sopir dari ibu rekan juniornya. Hal ini ditenggarai dipicu oleh koas junior yang merasa keberatan dengan jadwal jaga yang telah disusun oleh Chief (ketua) Koasnya. Kemudian koas junior tersebut melaporkan perkara jadwal tersebut kepada ibunya. Sang ibu lalu mengajak chief koas tersebut bertemu di sebuah rumah makan dan di situlah terjadi penganiayaan oleh sopir ibu tersebut kepada chief koas.

Disini terlihat, bagaimana seorang ibu berusaha untuk ikut capur dalam menyelesaikan masalah akademis anaknya,  meski anak tersebut sudah dewasa. Memang, dalam hidup  tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta ibu kepada anaknya. Cinta ini mendorong banyak orang tua utamanya ibu untuk memberikan yang terbaik bagi buah hati mereka, melindungi mereka dari bahaya, dan memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman. Namun, terkadang dalam keinginan untuk memberikan perlindungan, beberapa orang tua melangkah terlalu jauh. Mereka tidak sekadar mengawasi, tetapi juga menyingkirkan segala rintangan yang mungkin menghalangi anak mereka. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah bulldozer parenting, atau pola asuh orang tua bulldozer.

Bayangkan seorang anak yang berada di tengah perjalanan mendaki gunung. Seharusnya, ia belajar mengenal medan, jatuh bangun menghadapi rintangan, dan menemukan cara untuk melangkah lebih jauh. Namun, orang tuanya memutuskan untuk "membersihkan jalannya." Batu besar yang menghadang disingkirkan, jalur yang terjal diratakan, bahkan tali pengaman disediakan agar anak tidak merasa takut. Anak tersebut memang akan sampai ke puncak, tetapi apa yang ia pelajari sepanjang perjalanan? Apakah ia benar-benar siap menghadapi pendakian berikutnya, di mana jalur yang sulit tidak selalu bisa diratakan oleh orang tuanya?

Dalam upaya melindungi anak dari kekecewaan, kegagalan, atau bahkan sekadar rasa tidak nyaman, orang tua bulldozer mengambil kendali penuh atas jalur kehidupan anak. Mereka menghilangkan tantangan sebelum tantangan itu benar-benar muncul. Alih-alih memberikan panduan, mereka mengambil alih kemudi. Meski didorong oleh niat baik, pola asuh ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah anak-anak yang dibesarkan dengan pola ini benar-benar siap menghadapi dunia nyata, dimana tidak semua keinginan kita bisa menjadi nyata.

Bicara tentang pola asuh orang tua, mari kita ingat sosok Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Dalam sejarah pendidikan Indonesia, nama Ki Hajar Dewantara tidak sekadar dikenal sebagai tokoh pelopor pendidikan nasional, tetapi juga sebagai seorang pemikir yang menawarkan konsep pengasuhan dan pendidikan yang sarat makna filosofis. Pemikiran beliau tidak hanya relevan pada zamannya, tetapi juga menjadi dasar penting untuk memahami bagaimana anak-anak sebaiknya diasuh dan dididik. Salah satu gagasan paling berharga yang diwariskannya adalah konsep “among, momong, ngemong,” sebuah pendekatan yang mengintegrasikan nilai-nilai kasih sayang, kebijaksanaan, dan pembebasan dalam mendidik generasi penerus.

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu dari guru ke murid atau dari orang tua ke anak. Lebih dari itu, pendidikan adalah seni membimbing, mengasuh, dan merawat dengan hati. Sistem Among adalah salah satu konsep pemikiran beliau, yang mengedepankan proses “among, momong, ngemong” menjadi inti dari pendekatan ini, di mana proses mendidik dilakukan dengan penuh penghormatan terhadap hakikat dan potensi individu anak.

“Momong”: Merawat dengan Kasih Sayang

Momong, dalam budaya Jawa, memiliki arti mendalam yang lebih dari sekadar mengasuh atau merawat secara fisik. Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam mendidik anak, orang tua atau guru perlu menjadi pengasuh yang penuh kasih sayang, memberikan perhatian dan perawatan yang mencakup tidak hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan emosional dan spiritual anak. Anak-anak adalah individu yang sedang berkembang, ibarat tunas yang baru tumbuh. Tugas utama orang tua dan pendidik adalah menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan penuh cinta agar mereka dapat bertumbuh dengan optimal.

Kasih sayang dalam momong tidak hanya sebatas memberikan perlindungan dari bahaya atau memenuhi kebutuhan dasar anak, tetapi juga mencakup usaha untuk merawat jiwa mereka. Anak-anak perlu merasa diterima, dihargai, dan dicintai tanpa syarat. Ketika seorang anak merasa dicintai apa adanya, tanpa tekanan untuk menjadi "sempurna," ia akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang kokoh. Anak-anak yang dirawat dengan kasih sayang tulus cenderung memiliki rasa aman yang mendalam, yang menjadi pondasi penting untuk menjelajahi dunia dan belajar dari pengalaman mereka.

Namun, momong bukan hanya tentang memberikan kenyamanan, tetapi juga tentang memahami. Setiap anak unik—mereka memiliki karakter, minat, dan bakat yang berbeda. Misalnya, dalam mendukung pendidikan anak, filosofi momong menuntut orang tua untuk tidak memaksakan anak mengejar nilai akademik tertentu jika itu bukan kekuatan atau minatnya. Sebaliknya, orang tua diminta untuk mengidentifikasi potensi unik anak dan membantu mereka mengembangkannya. Jika seorang anak lebih berbakat dalam seni daripada matematika, maka kasih sayang dalam momong berarti menyediakan ruang bagi anak untuk berkembang di bidang yang ia cintai, sambil tetap memberikan bimbingan pada area lain yang mungkin menjadi kelemahan mereka.

“Ngemong”: Memberi contoh dengan Kebijaksanaan

Ngemong memiliki makna lebih dalam, yaitu memberi contoh dan membimbing dengan lembut dan penuh kebijaksanaan. Dalam proses ngemong, orang tua dan guru tidak memaksakan kehendak mereka, melainkan menjadi pendamping yang membantu anak menemukan jalannya sendiri. Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa seorang pendidik harus bersikap seperti seorang penuntun yang bijak—mengarahkan tanpa memerintah, mengajarkan tanpa mendikte.

Filosofi ngemong menuntut orang tua dan guru untuk menjadi teladan. Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada dari apa yang mereka dengar. Karena itu, Ki Hajar Dewantara juga terkenal dengan semboyannya: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Dengan sikap ngemong, pendidik tidak menciptakan ketergantungan pada anak, tetapi membantu mereka menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.

“Among”: Membebaskan dengan Tanggung Jawab

Among adalah inti dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang memberikan arah utama dalam membimbing anak-anak. Di dalamnya terkandung pandangan bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik dan hak untuk mengeksplorasi dunia sesuai dengan minat dan bakat mereka. Namun, kebebasan yang diberikan melalui among bukanlah kebebasan tanpa kendali atau tujuan. Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara percaya bahwa kebebasan ini harus berjalan seiring dengan tanggung jawab, disiplin, dan nilai-nilai moral yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat.

Dalam konsep among, anak dipandang sebagai subjek pendidikan, bukan sekadar objek yang pasif menerima ajaran. Pandangan ini menempatkan anak sebagai individu yang memiliki peran aktif dalam proses belajar. Mereka bukan papan tulis kosong yang harus diisi, melainkan pribadi yang sudah memiliki potensi untuk berkembang, yang perlu dipandu untuk menemukan jalan mereka sendiri. Pendidik, baik itu orang tua maupun guru, bertindak sebagai fasilitator yang menciptakan ruang untuk anak belajar, mencoba, dan bahkan gagal—karena dari kegagalan itulah anak memperoleh pelajaran berharga.

Namun, kebebasan ini tidak sama dengan ketiadaan batas. Dalam among, pendidik diharapkan menjaga keseimbangan antara membiarkan anak belajar secara mandiri dan memberikan arahan ketika diperlukan. Kebebasan yang diberikan kepada anak selalu disertai dengan tanggung jawab. Contohnya, ketika seorang anak diperbolehkan memilih aktivitas yang diminatinya, mereka juga diajarkan untuk bertanggung jawab menyelesaikan apa yang mereka mulai. Hal ini menanamkan disiplin yang tumbuh dari dalam diri anak, bukan sekadar disiplin yang dipaksakan dari luar.

Salah satu kekuatan utama filosofi among adalah kemampuannya membentuk individu yang mandiri. Anak-anak yang diberi kebebasan untuk menentukan jalan mereka sendiri dengan tanggung jawab cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi. Mereka tidak hanya belajar untuk mengambil keputusan, tetapi juga menerima konsekuensi dari keputusan tersebut. Ini adalah pelajaran hidup yang sangat penting, terutama dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan.

Melalui among, anak-anak juga diajak untuk menjadi individu yang kreatif. Dalam kebebasan, anak dapat mengeksplorasi ide-ide baru, mencoba hal-hal yang belum pernah mereka lakukan, dan belajar dari pengalaman mereka. Hal ini melahirkan inovasi dan cara berpikir yang segar, yang menjadi modal penting dalam menghadapi perubahan zaman. Selain itu, kebebasan yang disertai tanggung jawab juga membantu anak-anak mengembangkan empati. Mereka belajar bahwa kebebasan pribadi harus berjalan seiring dengan menghormati kebebasan dan hak orang lain.

Penutup

Filosofi pendidikan dan pengasuhan Ki Hajar Dewantara Sistem Among (among, momong, ngemong) ini kiranya dapat menjadi solusi yang seimbang dan manusiawi. Pendekatan ini membantu orang tua mendidik anak-anak mereka menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tangguh, kreatif, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan bijaksana.

Dengan “momong,” orang tua memberikan kasih sayang yang menjadi pondasi emosional anak. Dengan “ngemong,” mereka membimbing dengan kebijaksanaan, memberi teladan, dan mendukung anak untuk menemukan jalan mereka sendiri. Dan dengan “among,” mereka memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, membiarkan anak belajar dari pengalaman mereka, baik dari keberhasilan maupun kegagalan.

Ketika prinsip ini diterapkan, seorang ibu tidak lagi menjadi "bulldozer" yang menyingkirkan semua hambatan. Sebaliknya, ibu menjadi pendamping yang bijak, menciptakan ruang bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya. Anak-anak pun tidak lagi menjadi generasi stroberi yang rapuh, tetapi generasi yang kuat seperti bambu: lentur, tahan terhadap angin perubahan zaman, dan mampu berdiri tegak kembali meski diterpa badai. Sebagai ibu, perempuan harus terus belajar, meng-update dan meng-upgrade pendidikan dan pengetahuannya utamanya dalam pola asuh anak yang sesuai dengan perkembangan jaman. Karena hal ini sejalan dengan kutipan terkenal dari salah satu peroklamator RI, Muhammad Hatta “Jika kamu mendidik satu laki-laki maka kamu mendidik satu orang, Namun jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi.” Mari, kita hidupkan Sistem Among, agar tidak perlu menjadi bulldozer yang menghasilkan generasi Strawberry. Selamat Hari Ibu!

*tulisan seorang ibu yang masih terus belajar dan saat ini menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid-Jakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun