Pengalaman horor saya saat KKN. Â Kemungkinan cerita ini tidak terlalu menakutkan tapi cukup memenuhi makna dari kata 'horor'.
Saya adalah alumni disalah satu Universitas yang ada di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya ingin membagikan pengalaman horor ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2019 yang lalu di Desa Oebobo.
****
Saya dan 22 teman mahasiswa yang lain, ditempatkan disalah satu desa bernama Desa Oebobo, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Diantaranya 15 orang  teman perempuan dan 8 orang teman laki-laki.
Ibu Foeh, Dosen Pendamping Lapangan memperkenalkan kami pada masyarakat desa setempat dan saat itu juga kedatangan kami disambut dengan sangat baik disana. Beliau hanya sebentar saja mengikuti acara sambutan tersebut. Setelah itu, beliau pamit pulang karena harus mengantarkan teman mahasiswa kelompok lain ke desa seberang. Kebetulan Ibu Foeh mendapat kepercayaan dua kelompok mahasiswa KKN.
Salah satu tokoh masyarakat, Bapak Esa yang menjabat sebagai Sekretaris Desa saat itu, menawarkan salah satu rumahnya yang kosong yang cukup untuk kami 23 orang tempati.
Bapak Agus selaku Kepala Desa Oebobo saat itu, awalnya mengusulkan supaya kami ditempatkan ke rumah-rumah warga maksimal 2 atau 3 orang per rumah. Namun usulan itu kami tolak karena sebelum ke desa, kami sudah menyiapkan segala kebutuhan makanan untuk 2 bulan ke depan seperti bahan makanan pokok dan bumbu masak lainnya.
Kami diarahkan oleh Bapak Esa ke rumah tersebut setelah acara penyambutanya selesai. Suasana yang saya amati selama perjalanan menuju tempat tujuan adalah pemandangan yang begitu indah menyejukkan mata karena hamparan hijaunya sawah-sawah yang terbentang di setiap sisi jalan tapi disisi lain suasana desa sangat sepi karena mungkin warga setempat sedang berkebun atau beristirahat pikir saya.Â
Sesampainya di halaman rumah tersebut, hal pertama yang saya amati adalah halaman rumahnya sangat luas namun tanahnya cukup tandus. Di samping kiri rumah terdapat banyak pepohonan namun yang menarik perhatian saya saat itu adalah pohon asam yang lumayan besar yang berdiri kokoh tanpa di apit oleh pohon yang lain.Â
Di belakang rumah terdapat persawahan dan di samping kanan rumah ada rumah warga. Keadaan rumah yang akan kami tempati adalah perumahan desa pada umumnya. Ketika disuruh masuk ke dalam dan diperhatikan, rumahnya tidak cukup terawat. Banyak debu yang menempel di jendela rumah, ada juga sarang laba-laba pada dinding dan atap rumah, lantainya sangat berabu dan hanya menggunakan satu penerangan yang berada tepat ditengah-tengah ruangan.Â
Setelah itu, kami langsung berinisiatif untuk membersihkan rumah itu karena kata Bapak Esa, sudah 2 tahun dibiarkan kosong oleh pemilik sebelumnya. Pantas saja keadaan rumahnya seperti itu, ternyata sudah dibiarkan kosong cukup lama.
Dari sinilah kisah horor itu dimulai...
Kami 23 orang ini adalah mahasiswa yang dibagi dengan latar belakang jurusan (Program Studi) yang berbeda-beda. Ada yang dari Akuntansi Publik, Akuntansi Politik, Sosiologi, Psikologi, Teknik Pertambangan, Kimia, Fisika, Matematika, Biologi, Â Ilmu Komputer dan Ilmu Komunikasi. Kami disatukan dengan perbedaan yang ada. Awal mula hubungan kami masih terasa sangat canggung karena belum saling mengenal satu sama lain.
Rumah yang kami tempati mempunyai 2 kamar tidur yaitu kamar tidur utama dan kamar tidur biasa, 1 ruang makan dan 1 ruang tamu. Kami sepakati bersama bahwa yang menempati 2 kamar tidur adalah teman perempuan dan untuk teman laki-laki menempati ruang tamu.
Singkat cerita, ketika suatu malam sekitar pukul 22.00 WITA, kami berkumpul di ruang tamu dan sedang membicarakan hal-hal random, tiba-tiba salah satu teman saya bernama Neke mengajukan protesnya tentang  kapasitas orang dalam kamar tidur kepada kami yang menempati kamar tidur biasa. Kebetulan dia menempati kamar tidur utama bersama Priska, Cia, Lia, Yumni, Serly, Sofi, Ka Ita, dan Ani sedangkan  saya, Niken, Enu Asni, Ka Fera, Ria, dan Oche menempati kamar tidur biasa.
(percakapan dalam bahasa Kupang)
"Basong yang di kamar biasa pung sadiki le. Cuman 6 orang sa ni. Katong pung kamar sampe 10 orang memang !!" ucap Neke
Â
"Sonde bisa !! katong hanya pas 6 orang sa, sond bisa lebih. Kamar talalu sempit tambah le tempat tidor kecil. Ini sa ketong tidur su batadempet" balas Niken anggota kamar biasa
Â
"Tambah satu orang su. supaya katong pung 9 orang sa. Basong liat su katong tidur su sama ke kepompong sonde bisa bagerak" sambung Rista anggota kamar utama
Â
"Tidak bisa !! katong ju di kamar biasa ju su basesak mati" sambung Enu Asni
Sebenarnya disini sudah terjadi perselisihan karena sempat menyinggung anggota yang menempati kamar. Perselisihan ini terjadi cukup lama sampai teman laki-laki membantu melerainya. Mereka menanyakan kenapa sampai ada perselisihan dan kami mencoba menjelaskan. Dimana anggota kamar utama mengajukan protes yang kata Neke 10 orang itu untuk mengurangi satu anggota mereka dan menambahkan pada anggota kamar biasa.Â
Sedangkan anggota kamar biasa menolak karena menurut mereka anggota untuk kamar biasa tidak bisa lebih dari 6 orang karena setiap kamar juga menyimpan koper/bawaan masing-masing anggota. Beberapa teman laki-laki membantu dengan mengecek kedua kamar sambil memberikan saran.Â
Setelah itu, mereka mengatakan kalau memang ukuran  kamar biasa sangat kecil. Sehingga mereka menyetujui usulan kami yang menempati kamar biasa. Tapi tidak dengan teman-teman anggota kamar utama, mereka tidak menyetujuinya. Mereka masih kekeuh dengan perkataan mereka.
Salah satu teman laki-laki, saya kurang tahu itu siapa, dia yang menyadari ada kekeliruan dan mengatakan kejanggalannya pada Benny selaku Ketua Kelompok. Setelah mendengarnya, Benny menyuruh kami duduk dan untuk membahasnya.
Di awal pembahasan, Benny menanyakan berapa banyak anggota KKN kepada kami semua. spontan kami menjawab 23 orang.
"23 orang e. laki-laki ada berapa ? perempuan ada berapa ?" tanya Benny lagi
Â
"Laki-laki ada 8 orang, perempuan ada 15 orang" jawab Oche teman perempuan kami.
Benny masih sempat bertanya kebenaran dari jawaban Oche selaku sekretaris kelompok kami. Kami anggota juga masih tidak tahu pasti berapa banyak jumlah laki-laki dan perempuan sebenarnya. Kami pun memutuskan diam tidak menjawab dan hanya mendengarkan saja. Saat itu, kami semua masih belum sadar, tidak ada pembahasan lain dari anggota lain lagi, jadi Benny menyuruh kami menghitung teman-teman kami sendiri serta menyuruh untuk menghitung berapa banyak jumlah teman laki-laki dan berapa banyak jumlah teman perempuan.
Sesuai Saran Benny, kami mulai menghitung, tetapi kami masih belum sadar juga sekalipun sudah menemukan jawaban dari pertannyaan Benny.Â
Mungkin Benny merasa kalau kami belum juga paham akan maksud dari pertanyaannya, dia pun menjelaskan kalau seandainya menjumlahkan sesuai dengan yang tadi diributkan oleh kami perempuan maka jumlah anggotanya menjadi 24 orang sedangkan jumlah sesungguhnya 23 orang.
Setelah mendengar penjelasan Benny, kami semua heboh dengan fakta yang baru saja kami dengarkan. Anggota kamar tamu mulai bersuara menyampaikan isi hati masing-masing seperti yang di ucapkan Ka Ita.
"Tapi pas pertama kali katong tempati itu kamar, katong sempat hitung, dan ada 10 orang, bahkan katong hitung sampe 3 kali" kata Ka Ita
Â
"Iya ketong sempat hitung masing-masing sampe 3 kali dan memang betul ada 10 orang" ucap Yumni untuk menguatkan argumen Ka Ita
Kejadian ini sangat membuat kami ketakukan terlebih bagi perempuan dan dimana saat kami KKN sempat viral berita tentang KKN DESA PENARI. Hal itupun menambahkan perasaan ketakutan ketika kami ingin melakukan aktivitas dimalam hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H