Mohon tunggu...
Luqman Rico Khashogi
Luqman Rico Khashogi Mohon Tunggu... Penulis - Pengembara Ilmu

Pembelajar, Peneliti, Penulis, dan Pemerhati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ekologi, Agama, dan Civil Society (2)

31 Juli 2022   07:15 Diperbarui: 31 Juli 2022   07:16 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keberpihakan Agama

Di sini, agaknya keterlibatan dan keberpihakan Agama seolah masih menemui jalan terjal; ceramah-ceramahnya kalau tidak identik dengan aktivitas ibadah yang sifatnya ritual dan simbol-simbol non-substansial, maksimal digunakan menguji loyalitas terhadap negara total. Narasi besar dan pedoman buku Moderasi Beragama seolah lebih berkutat pada pentingnya komitmen kebangsaan tebar toleransi. Sangat sedikit menyentuh ekologi, kata Fahri dan Zainuri dalam kajiannya, "Moderasi Beragama Di Indonesia."

Kepedulian ruang ekologi sepertinya bukan tema signifikan. Diskusi soal ekologi lebih sering ditinggalkan. Malah kadang ditanggalkan. Tidak tahu apakah adu sentimen primordial lebih "menjanjikan". Keterlibatan elit Agama dalam olah lingkungan pada muaranya dipertanyakan. Padahal komitmen kebangsaan era pandemi dan new normal belakangan, diuji sejatinya bukan hanya ikrar setia ketaatan baik verbal atau di atas secarik kertas berbubuh tanda tangan, tapi juga dengan bukti otentik keterlibatan yang relevan.

Persoalan Ekologi kini mungkin bukan hanya menjadi salah satu momentum untuk mengarahkan fokus aktivisme civil society keagamaan ke depan, tapi sebagai trigger, juga penting menghadirkan jembatan titik temu antar aktor keagamaan; bagaimana mereka ringan tangan terlibat secara kolaboratif dalam menjaga dan mengembangkan tata kelola ekologi di wilayahnya masing-masing.

Tentu ini tidak untuk menguji komitmen organisasi keagamaan, tapi lebih pada bagaimana membangun relasi kontributif dengan melakukan upaya-upaya bersama untuk menghadapi hari-hari ke depan yang mungkin akan cukup melelahkan terutama terkait "politik ekologi".

Sambil tetap mengantisipasi dan memahami polarisasi yang sering dibedah Drone Emprit-nya mas Ismail Fahmy (https://pers.droneemprit.id/), yang barangkali akan muncul beberapa hari ke depan ini. Misalkan, narasi berulang gaslighting yang manipulatif itu; tuduhan 'korban disinformasi' atau 'korban profokasi' terhadap duduk persoalan padahal penuduh juga bisa jadi tidak lebih memahami. Atau teknis strawman fallacy yang distortif itu; mengambil argumen orang, memutarbalikkannya, lalu mengritik distorsinya. Atau toxic positivity; masyarakat dipaksa berpikir positif bahwa kondisinya "tenang dan damai" saat faktanya ada banyak tekanan.

Memang, penyelenggara negara jauh lebih bermartabat bila melakukan kontrol narasi thanking, regretting, dan apologizing, daripada mengedepankan praising, consoling, dan blaming.

Politik Ekologi: Cara Pandang Alternatif

Dalam pandangan umum, pengelolaan lingkungan sejatinya bukan hanya mengatur lingkungan sekitar, namun juga mengendalikan berbagai kegiatan manusia dalam mempertimbangkan faktor ekologis. Sehingga, pengelola dan yang dikelola adalah manusia. (Beale 1980) Akan tetapi "politik ekologi" berada pada posisi yang berbeda.

Pisau bedah ini menegaskan bahwa persoalan lingkungan dan berbagai mata rantai ketidakteraturan alam tidak melulu kesalahannya ditimpakan dan diarahkan kepada masyarakat sebagai aktor utama. Justru pada perilaku kuasalah kewajiban itu bertumpu. Tidak berkutat pada kewajiban memberi edukasi, kemitraan, kolaborasi, atau insentif, yang kesemuanya adalah bentuk dari keterlibatan dan kehadiran aktor kepemerintahan, tapi juga memastikan kegiatan dan sinergitas itu berjalan continue dan simultan.

Diantara frame populer dari politik ekologi adalah lebih mengarahkan analisanya terhadap bahwa persoalan lingkungan di tengah masyarakat sebenarnya tidak serta merta disebabkan oleh persoalan internal masyarakat itu sendiri tapi lebih dominan karena faktor eksternal yang sifatnya makro; tekanan politik dan ekonomi.(Arifin 2012) Politik Ekologi hadir sebagai pendekatan yang meneropong problem lingkungan sebagai masalah struktural dan material. Cara pandang politicized environment menggeser cara pandang ke arah bahwa permasalahan lingkungan tidak lepas dari tekanan politik dan ekonomi. (Herdiansyah n.d.)

Paradigma ini jelas berbeda dengan pandangan Malthusian yang menyimpulkan bahwa problem lingkungan terjadi karena rendahnya daya dukung masyarakat dan minimnya daya tampung. Juga berbeda dengan pandangan pendekatan cultural ecology yang mengatakan bahwa problem lingkungan terjadi karena persoalan sistemik; tekanan penduduk dan rendahnya inovasi pengelolaan.(Arifin 2012)

Kerusakan lingkungan yang multi-impact sebenarnya adalah akibat dari minimnya pemerataan pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya (inequality). Ini tidak lain sebagai dampak praktek gurita power and authority yang memaksa masyarakat mengeksploitasi alam. Sehingga, gencarnya kampanye soal ramah lingkungan, back to nature, go green, dan lain sebagainya sejatinya tidak lebih dari upaya untuk membenarkan apa yang sedang mereka lakukan. (Arifin 2012)

Di sini, kuatnya power and authority di satu sisi berhasil mengkader rakyat untuk tidak hanya secara spontan merusak sendiri kekayaan alamnya tapi juga mempersilakan berebut antar mereka, di sisi lain the rulling class menjadi sangat leluasa karena rakyat pun sudah memakluminya.

 

Mengawal Konstitusi

Memang, kerangka Politik Ekologi mengupas bencana lingkungan dengan membuka tabir ragam perilaku kuasa dan hegemoni wacana yang saling terkait secara dinamis saat melegitimasi kebijakan dan berdampak pada meningkatnya ketimpangan struktural agraria, perusakan alam, bahkan konflik horisontal. Ini adalah salah satu ciri khas dari pemikiran Neo-Marxisme soal underdevelopment yang kemudian mendapat pencerahan lebih melalui Foucault (Foucault 1977) sebagai kritik terhadap argumen dan teori sebelumnya yang menyalahkan masyarakat atas benang kusut problem ekologi.

Dalam sebuah kajian, setidaknya ada 3 hal penting penyebab tumpulnya implementasi kebijakan pemerintah dalam keberpihakan lingkungan; (1) lemahnya penegakan hukum, (2) dampak politik transaksional yang menyandera pemangku kebijakan publik, dan (3) rendahnya kepedulian pemerintah daerah terhadap upaya sosialisasi & edukasi. Ketiga-tiganya adalah akibat dari budaya money politic yang menegaskan kekuatan korporasi di daerah. (Bahri et al. 2021) Sehingga, penguatan civil society dan pengawasan izin; baik system maupun sumber daya manusianya adalah langkah konkrit yang harus dikedepankan.

Akankah Agama dan civil society dapat secara aktif mengambil momentum dalam sengkarut politik ekologi? Seberapa jauh Agama dan civil society bisa menjangkau upaya kecil menekan 'patalogi ekologis'? Tentu, harapan itu ada. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU No. 32 Tahun 2009 bukan angan belaka. Meski sambil duduk manis menjadi penonton setia.

Anggap saja aktor utamanya Agama; ketahanannya seperti sedang diukur tidak dengan kemegahan berbagai apologinya, tapi pada pengejawantahannya dalam realitas sosial di tengah gurita ketimpangan, vulgarnya ketidakadilan, dan hegemoni kekuasaan.

Bila Robin Bush mengatakan bahwa kesuksesan penyelenggaraan Pemilu di negara mayoritas Muslim bukanlah hal yang mengejutkan, tapi keterlibatan organisasi dan aktivis Muslim dalam memastikan validitas itulah yang jauh lebih mengejutkan, (Tanthowi 2021) maka seharusnya keberhasilan tata kelola ekologi di negara ini juga bukan hal yang mengejutkan, sebab keterlibatan organisasi dan aktivis Muslim dalam politik ekologi itulah yang jauh lebih mengejutkan.

Luqman Rico Khashogi ~ UIN Saizu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun