Paradigma ini jelas berbeda dengan pandangan Malthusian yang menyimpulkan bahwa problem lingkungan terjadi karena rendahnya daya dukung masyarakat dan minimnya daya tampung. Juga berbeda dengan pandangan pendekatan cultural ecology yang mengatakan bahwa problem lingkungan terjadi karena persoalan sistemik; tekanan penduduk dan rendahnya inovasi pengelolaan.(Arifin 2012)
Kerusakan lingkungan yang multi-impact sebenarnya adalah akibat dari minimnya pemerataan pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya (inequality). Ini tidak lain sebagai dampak praktek gurita power and authority yang memaksa masyarakat mengeksploitasi alam. Sehingga, gencarnya kampanye soal ramah lingkungan, back to nature, go green, dan lain sebagainya sejatinya tidak lebih dari upaya untuk membenarkan apa yang sedang mereka lakukan. (Arifin 2012)
Di sini, kuatnya power and authority di satu sisi berhasil mengkader rakyat untuk tidak hanya secara spontan merusak sendiri kekayaan alamnya tapi juga mempersilakan berebut antar mereka, di sisi lain the rulling class menjadi sangat leluasa karena rakyat pun sudah memakluminya.
Â
Mengawal Konstitusi
Memang, kerangka Politik Ekologi mengupas bencana lingkungan dengan membuka tabir ragam perilaku kuasa dan hegemoni wacana yang saling terkait secara dinamis saat melegitimasi kebijakan dan berdampak pada meningkatnya ketimpangan struktural agraria, perusakan alam, bahkan konflik horisontal. Ini adalah salah satu ciri khas dari pemikiran Neo-Marxisme soal underdevelopment yang kemudian mendapat pencerahan lebih melalui Foucault (Foucault 1977) sebagai kritik terhadap argumen dan teori sebelumnya yang menyalahkan masyarakat atas benang kusut problem ekologi.
Dalam sebuah kajian, setidaknya ada 3 hal penting penyebab tumpulnya implementasi kebijakan pemerintah dalam keberpihakan lingkungan; (1) lemahnya penegakan hukum, (2) dampak politik transaksional yang menyandera pemangku kebijakan publik, dan (3) rendahnya kepedulian pemerintah daerah terhadap upaya sosialisasi & edukasi. Ketiga-tiganya adalah akibat dari budaya money politic yang menegaskan kekuatan korporasi di daerah. (Bahri et al. 2021) Sehingga, penguatan civil society dan pengawasan izin; baik system maupun sumber daya manusianya adalah langkah konkrit yang harus dikedepankan.
Akankah Agama dan civil society dapat secara aktif mengambil momentum dalam sengkarut politik ekologi? Seberapa jauh Agama dan civil society bisa menjangkau upaya kecil menekan 'patalogi ekologis'? Tentu, harapan itu ada. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU No. 32 Tahun 2009 bukan angan belaka. Meski sambil duduk manis menjadi penonton setia.
Anggap saja aktor utamanya Agama; ketahanannya seperti sedang diukur tidak dengan kemegahan berbagai apologinya, tapi pada pengejawantahannya dalam realitas sosial di tengah gurita ketimpangan, vulgarnya ketidakadilan, dan hegemoni kekuasaan.
Bila Robin Bush mengatakan bahwa kesuksesan penyelenggaraan Pemilu di negara mayoritas Muslim bukanlah hal yang mengejutkan, tapi keterlibatan organisasi dan aktivis Muslim dalam memastikan validitas itulah yang jauh lebih mengejutkan, (Tanthowi 2021) maka seharusnya keberhasilan tata kelola ekologi di negara ini juga bukan hal yang mengejutkan, sebab keterlibatan organisasi dan aktivis Muslim dalam politik ekologi itulah yang jauh lebih mengejutkan.
Luqman Rico Khashogi ~ UIN Saizu