Mohon tunggu...
Luqman Rico Khashogi
Luqman Rico Khashogi Mohon Tunggu... Penulis - Pengembara Ilmu

Pembelajar, Peneliti, Penulis, dan Pemerhati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerakan Mahasiswa, Legislasi, dan Legitimasi

11 April 2022   06:20 Diperbarui: 11 April 2022   06:26 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan, proses legislasi mendapat sorotan publik lantaran dianggap kurang partisipatif dan jauh dari transparansi. Beberapa diantaranya adalah UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, lalu UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, ada juga UU tentang MK di tahun yang sama. Disusul UU sapu jagat; Cipta Kerja. "Seolah-olah kita enggak punya tata negara..." kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur (4/11/2020). 

Akibatnya, bukan hanya banyak aspirasi tercederai tapi juga muncul banyak kekhawatiran implikasinya di ranah sosial ekonomi masyarakat. Yang terbaru, ada UU Ibu Kota Negara (IKN) yang juga kilat itu, dan dianggap menjadi rekor tercepat dalam sejarah pembuatan undang-undang.

Mahasiswa di Pusaran Legitimasi

Berat memang untuk mengatakan bahwa di tangan mahasiswalah konstitusi saat ini dapat diselamatkan, sebab hal itu jelas tak cukup. Memang, secara genealogis Gerakan Mahasiswa alih-alih mematangkan gagasan yang mendasari legitimasi kebijakan publik, yang terjadi sering dijawab dengan cara-cara yang tidak memuaskan bahkan mengecewakan; ada teror, peretasan, atau intimidasi.

Tercatat Gerakan Mahasiswa setidaknya berawal dari tahun 1908 dengan Budi Utomo, diteruskan tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, tahun 1945 yang mendesakan proklamasi kemerdekaan, lalu tahun 1966 dengan tumbangnya Orde Lama, kemudian tahun 1974 dengan Malari puncaknya, dan reformasi 1998 dengan tumbangnya Orde Baru.

Setelah hampir 20 tahun dianggap pulas, dengan varian berbeda, gerakan besar itu muncul menekan Rancangan KUHP dan pelemahan KPK di tahun 2019. Pelajar pun ikut turun jalan. Cara penyampaian aspirasi dan ekspresinya lebih kocak meski pada momen tertentu dihujani peretasan di tengah diskusi. Bukan hanya akademisi yang kena, pegiat anti korupsi juga.

Beringasnya, kalau melihat Laporan YLBHI dan Komnas HAM, ada lebih dari 50 korban yang meninggal saat demonstrasi di tahun ini. Ombudsman waktu itu keras mewanti-wanti aparat untuk tidak represif (2019). Tagar #ReformasiDikorupsi meledak dan menjadi eksposif. Nama Randi-Yusuf diabadikan KPK dalam auditorium.

LBH dan YLBHI mencatat peristiwa itu secara rigid (2020). Menurut KontraS yang mengevaluasi kinerja pemerintahan tahun 2018, maraknya tindakan tersebut adalah karena tersedia dan terbukanya akses impunitas terhadap penyiksaan sebagai opportunity crime, yang itu merupakan akibat dari lemahnya norma anti penyiksaan dalam peraturan perundang-undangan dan sistem kelembagaan.

Pada 2020, Mahasiswa dan juga Buruh bergolak soal Omnibus Law/ Cipta Kerja yang jumlah halamannya berubah-ubah. Menariknya, kritik mahasiswa terhadap pasal-pasal tertentu dijawab penyelenggara negara dengan pasal-pasal lain yang tidak berkaitan. Kritiknya apa, dijawabnya apa. Tidak nyambung. Terkesan ada distorsi straw man.

Tahun 2021 Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Bung Hatta Anti Corruption Award, dan ICW menyebutnya sebagai "kemenangan besar para koruptor", karena merupakan awal mula terbukanya akses kuasa untuk menjadikan dasar pengurangan hukuman para koruptor di lingkar relasi oligarki. Pemicunya adalah dibatalkannya PP 99/2012 yang sebenarnya dibuat untuk memperketat syarat pemberian remisi bagi koruptor. Tidak ada Gerakan Mahasiswa yang berarti di sini.

Riuh radikalisme dan taliban di internal KPK pada tahun tersebut juga terlalu vulgar kalau diingat-ingat lagi. Tapi menurut pengamat Voxpol Center Research and Consulting (2021), upaya itu adalah "kartu mati" untuk menggusur pegawai yang keras memberantas korupsi. Mahasiswa mencium bau busuk pelemahan KPK. Demo dimana-mana.

Jenakanya panggung politik di sosial media kemudian seakan diambil alih para Komika muda dengan sarkasme politiknya. Luapan emosi di kemudian hari seolah bisa menjaga jarak dari delik karena berada di ruang komedi. Di sini, public trust diuji.

Masih Strawman Fallacy?

Dalam kurun waktu ini, keikutsertaan pasukan cyber atau buzzer yang mengolah wacana publik sepertinya menjadi tren. Terlihat cenderung bergerak sistematis, masif, dan terstruktur. Kira-kira begitu kalau kita ikuti pemetaan Drone Emprit dengan Social Network Analysis (SNA)-nya itu. (https://pers.droneemprit.id/)

Baru-baru ini, uraian bernas Ismail Fahmy soal konstelasi dua tagar besar; #MahasiswaBergerak dan #SayaBersamaJokowi nampaknya tidak hanya menarik karena dapat membuka sedikit peta di sosial media soal Gerakan Mahasiswa, tapi mungkin juga menjengkelkan bagi yang kerap mengutamakan sentimen. Pendek kata; siapa menunggangi dan siapa ditunggangi sepertinya bisa terlihat.

Menggagalkan apalagi mengintidasi suara dan aspirasi mahasiswa dengan palu godam "ditunggangi oknum", "disusupi radikalisme", dan "pandemi", alih-alih menguatkan legitimasi, yang terjadi justru malah dapat berdampak pada menelanjangi timpangnya keadilan sosial. Tapi bisa jadi strategi distorsi straw man akan tetap menjadi bagian yang ampuh untuk dimainkan hari-hari ke depan. Kalau tidak sampai menjatuhkan lawan, minimal bisa cuci tangan.

Memori dan Emosi

Memang kini di berbagai daerah, wacana penundaan Pemilu benar-benar sedang menjadi salah satu fokus utama para Mahasiswa, selain isu kenaikan bahan pangan, ibu kota negara, maraknya intimidasi, dan problem agraria. Tidak tahu juga apakah ini akumulasi dari buruknya komunikasi politik internal kabinet.

Yang pasti memang terlihat ada frustasi yang sulit ditahan karena tidak sedikit berpandangan makin menguatnya oligarki, diktator konstitusional, neo-otoritarianisme dan kocaknya kuasa membangun legitimasi. Mungkin mereka menganggap bahwa sistem ketatanegaraan kita seperti terkoyak hebat, tapi sepi senyap seolah terlelap.

Mungkin juga mahasiswa tidak ingin kecolongan berulang seperti UU MD3, UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU Cipta Kerja atau UU Ibu Kota Negara. Seakan-akan mahasiswa ini sedang memahami algoritma penyelenggara negara yang bisa jadi lantang menolak penundaan Pemilu, tapi diam-diam merayap mendukung 3 periode.

Menimbang Alternatif

Pada akhirnya, upaya-upaya mengedepankan praising, consoling, dan blaming sepertinya tidak efektif bagi penyelenggara negara. Sebab, cideranya proses legislasi dan jenakanya nalar legitimasi dapat memicu Gerakan Mahasiswa makin menyala. Argumentasi sebaiknya tidak melulu dihadapi dengan strawman fallacy. Apalagi toxic positivity. Begitu kira-kira ritme akademisi.

Mahasiswa sangat faham bahwa kondisi masyarakat yang stagnan dan pasif mengakibatkan rendahnya kepekaan mereka terhadap ketidakadilan hukum, ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial, degradasi budaya, culasnya praktik politik, dan terkikisnya nilai-nilai kebaikan universal.

Gerakan mahasiswa tetaplah substansinya mahasiswa. Mereka berjiwa muda. Bangun jatuh mengasah nalar kritisisme dan logika. Garda terdepan menyampaikan pikiran-pikiran rakyat sebagai kontribusi sederahana terhadap bangsa dan negara. Maka, ruang akademik seharusnya tidak membuat publik pasif, lunglai dalam berimaji, dan berkutat pada apologi, apalagi konsisten dalam stagnasi.

Banyak masyarakat berharap bahwa demokrasi dapat menekan ketidakadilan dan membuat tata kelola kehidupan kolektif menjadi lebih rasional, selain melindungi kebebasan dan kemajuan ekonomi. Semua juga berharap bahwa proses legislasi dapat memancarkan cahaya transparansi sebagai legitimasi yang logis, natural, dan konstitusional. Bukan produk intimidasi.

Semangat bersama seluruh komponen masyarakat adalah saling bergadeng tangan menuju keadilan sosial dengan penuh amanah. Kepedulian dan keterlibatan sosial membuat kita menjadi generasi terbaik; khoiru ummah. Karena dunia memang begitu; selalu ada kebaikan dan keburukan di mana pun berada. Sikap kita yang menetukan di hadapan-Nya.

Wallahu a'lam bisshowab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun