Mohon tunggu...
Luqman Rico Khashogi
Luqman Rico Khashogi Mohon Tunggu... Penulis - Pengembara Ilmu

Pembelajar, Peneliti, Penulis, dan Pemerhati

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Syariah: Efektif atau Kontraproduktif?

7 April 2022   06:31 Diperbarui: 7 April 2022   06:37 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Agenda penting Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) yang telah digelar rutin tahunan belakangan ini nampaknya tidak lebih menarik daripada dinamika politik negeri ini. Padahal acara besar ini seringkali dihadiri perwakilan perguruan tinggi, para pejabat negara, hingga Presiden RI. Melibatkan lebih dari 100 pelaku UMKM, dan para santri.

Perhatian untuk pembangunan dan pengembangan ekonomi masyarakat Muslim Indonesia dianggap tidak kalah fundamental. Dulu targetnya ingin menjadi pusat pengembangan ekonomi syariah dunia pada tahun 2020.

Realitas Lapangan

Akan tetapi ungkapan Dwi Pranoto, Direktur Eksekutif Departeman Regional II Bank Indonesia (25/10/2016) ada benarnya, bahwa walaupun masyarakat Muslim Indonesia sudah memahami konsep perbankan syariah, nyatanya tetap saja tertarik pada bank konvensional.

Pada 2019 kemarin, jumlah nasabah bank syariah di negeri ini mencapai 31,89 juta orang (12%) dari total populasi Muslim di Indonesia, kata Muhammad Arham. Tetap beda jauh dengan Malaysia yang 28%.

Kalau dari tingkat literasi ekonomi dan keuangan Syariah tahun 2021, masyarakat Indonesia yang tercatat Gubernur Bank Indonesia sebesar 20,1%. Meski naik sekitar 4% pada tahun sebelumnya, tapi angka itu belum secara signifikan menggerakkan gairah mereka yang berada di luar middle class economy ini. Agak berat untuk mengatakan bahwa masyarakat kita sejatinya tidak sedang fokus ke hal yang sifatnya ekonomi kreatif dan inovatif.

Padahal bila kita melihat sekilas dalam sejarah dunia, tidak ada peradaban yang maju dalam keilmuan maupun infrastrukturnya tanpa dibarengi terlebih dahulu dengan kuatnya ekonomi masyarakat. Dalam tradisi Islam, kekuatan ekonomi itu lahir dari gagasan dan interpretasi kalangan ilmuan lintas disiplin yang berlatar belakang tasawuf, fiqh, filsafat, sosiologi, dan politik dalam menerjemahkan Wahyu yang berbicara soal kerangka dasar ekonomi Islam.

Maka, peran para ulama dan intelektual Muslim khususnya, bukan hanya menjadi salah satu kunci penguatan ekonomi masyarakat Islam, tapi juga menjadi benteng atas keberlangsungan kegiatan keislaman yang berkesinambungan. Sebab, menyentuh dan menguatkan keyakinan masyarakat akan pentingnya mengaplikasikan kerja-kerja ekonomi Islam jauh lebih sulit daripada meyakinkan tentang haramnya bunga.

Benarlah ketika ISEF 2016 yang lalu mengusung tema "Memasyarakatkan nilai-nilai ekonomi syariah melalui lima elemen; finance, food, fashion, fantrepreneur dan fundutainment (5F)".

 

Narasi Kontraproduktif

Bisa jadi ini adalah salah satu dari akibat rendahnya kepedulian para intelektual Muslim atas mulai menguatnya lembaga-lembaga keuangan Islam belakangan ini tapi di sisi lain justru menyudutkan konsep Islam dalam ekonomi itu sendiri. Padahal secara tidak langsung hal itu menebar kesan ketidakrelevanan konsep ekonomi syariah di era digital.

Bila demikian, maka sangat wajar jika tidak sedikit masyarakt Islam justru lebih suka melontarkan kritik tak mendidik terhadap sesama Muslim yang sedang berupaya menguatkan nilai-nilai ekonomi Islam. Bahkan bisa jadi malah ada yang "istiqomah" meyakinkan masyarakat untuk tidak perlu feeling guilty soal keterlibatannya dalam lembaga-lembaga keuangan konvensional sambil menyederhanakan problem bunga dan riba. Itu soal interpretasi saja, katanya. Jelas kontraproduktif.

Upaya memajukan dan mengembangkan nilai-nilai Islam yang progresif, berkemajuan, dan modern pun menjadi sia-sia ketika keturutsertaan kaum intelektual Islam dalam bidang ekonomi masih sangat rendah.

Iman Dan Ekonomi

Keikutsertaan ini penting bukan hanya untuk kesejahteraan masyarakat Muslim itu sendiri, tapi juga untuk peradaban Islam yang rahmatan lil 'alamin dan sebuah penghayatan hubungan esensial kuat antara Tauhid dan tata ekonomi;

Selalu mengayomi anak yatim dan menyerukan kepada masyarakat soal keberpihakan pada orang-orang miskin (Al-Ma'un: 1-3), tidak menimbun harta sambil menghitung-hitungnya (Al-Humazah: 2), tidak menimbun Emas dan Perak (At-Taubah: 34), menyisihkan harta hak orang miskin (Adz-Dzariyat: 19), optimalisasi pengelolaan sedekah dan zakat (At-Taubah: 103, Al-Baqoroh: 10), membebaskan orang berhutang (At-Taubah: 60), dan konsep-konsep utama Islam lainnya tentang ekonomi dan keuangan.

Ketika Muhammad Iqbal dalam "Reconstruction of Religius Thought in Islam" menyarankan kepada dunia bahwa turut sertanya masyarakat Islam bergelut di bidang politik adalah implikasi dari tingginya tingkat spiritualitas Islam, maka sejatinya itu juga berlaku dalam hal ekonomi. Para ulama dan kaum intelektual Muslim harus selalu menguatkan wacana dan meyakinkan masyarakat Islam bahwa turut sertanya masyarakat Islam bergelut di bidang ekonomi adalah implikasi dari tingginya tingkat spiritualitas Islam.

Dengan begitu, maka ekonomi tidak hanya dipandang sebagai suatu aktifitas yang sifatnya keduniawian semata. Sebab, ilmu apapun dalam Islam, termasuk ilmu ekonomi, bila didekati dengan cara pandang Islam dengan niat mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi maka akan menjadi sangat penting dan implementatif. Sebaliknya, bila aktifitas ekonomi disikapi dengan aktifitas keduniawian semata tanpa ada spiritualitas mendekat pada-Nya dan kemaslahatan umat, maka bisa jatuh dalam kesengsaraan.

Singkat kata, ada penegasan penting bahwa umat Islam yang tidak (mau) bergelut di bidang ekonomi demi menebarkan pesan Islam yang progresif, maka spiritualitasnya diragukan. Atau dengan kalimat lain, orang Islam yang imannya lemah biasanya ditandai, salah satunya, dengan ketidakpeduliannya akan perkembangan ekonomi masyarakat Muslim di Indonesia. Di sini menanamkan meaning tampaknya menjadi strategi awal yang efektif.

Dengan begitu proyeksi ISEF ke depan bahwa Indonesia benar-benar diperhitungkan dalam kalender ekonomi dan keuangan syariah dunia, dapat terealisasikan adanya. Ungkapan "Indonesia harus jadi referensi keuangan Syariah" juga bukan isapan jempol semata di tengah derasnya transformasi digital pada sektor perbankan. Bukan hanya sumber daya manusia dan komponen perangkat aplikasi tantangan ke depan, tapi juga digital culture.

Ekonomi Syariah dan Masyarakat Agraris

Di sini, detoksifikasi persoalan internal menjadi langkah sederhana tapi menarik; bukan hanya soal kenapa digital culture lebih efektik mendapatkan momentumnya di masyarakat perkotaan, tapi juga soal kenapa masyarakat agraris tidak begitu responsif terhadap trayek masa depan Ekonomi Syariah. Apa yang sebenarnya terbesit dalam pikiran masyarakat agraris kita soal Ekonomi Syariah? Lalu apaa bekal utama generasi milenial pada masyarakat agraris untuk menghadapi tantangan ekonomi yang cenderung kapitalis ini? Apakah langkah-langkah edukasi soal industry halal ini hanya menjadi konsumsi the rulling class?.

Bisa jadi ini tema yang ekslusif di ruang terbuka kita, tapi algoritma Drone Emprit-nya mas Ismail Fahmy (https://pers.droneemprit.id/) yang biasanya kerap memicu emosi politik, mengurai sentimen primordial, dan sering membedah polarisasi publik di tengah tensi politik yang kian meninggi, nampaknya juga akan lebih baik bila sesekali turun ke ranah ini. Tentu dengan menguatkan jaringan dengan para stekholder penggerak Ekonomi Syariah di skala lokal maupun nasional, para aktor civil society Islam, dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES; https://www.ekonomisyariah.org); soal hal-hal yang dibutuhkan untuk menggerakkannya terutama di ranah mikro.

Sehingga, upaya mengembangkan dan membesarkan industri halal melalui pasar pangan dan busana yang digagas ISEF pada 25-30 Oktober 2021 yang lalu ini benar-benar "for economic recovery". Bukan "for oligarchy economic recovery" yang liberalistik dan kapitalistik.

Tahu Saja Tidak Cukup

Sekarang ini, sekedar tahu Ekonomi Syariah saja tidak cukup, perlu ada kemauan dan strategi membangun kesadaran publik secara simultan agar "mainstreaming Islamic economy and finance into national and international policy" tidak berkutat pada seremoni administrative tahunan. Dan kesadaran ini pun belum sempurna bila tidak ditambah dengan komitmen bersama untuk memajukan ekonomi syariah di Indonesia.

Nampaknya kita perlu sudahi berbagai manufer apologi Islam untuk menutupi ketidakmampuan kita memanifestasikan Ekonomi Syariah di ranah praktis-kelembagaan. Sebab upaya ini adalah benar-benar bentuk implementasi konkrit dari Syariat dalam aspek ekonomi. Tentu kita tidak ingin narasi moderasi Islam hanya berputar di seminari bicara soal komitmen kebangsaan atau sekedar alat gebuk radikalisme. Moderasi beragama juga secara garis besar bergerak pada jalur (apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai) objektivikasi.

Memang bagi sebagian, Ekonomi Syariah dianggap masih menari-nari di ruang gagasan. Bagi yang lain, wacana ini sudah selesai dan pekerjaan berikutnya yakni fokus bagaimana mewujudkan. Bagi yang berhasil mewujudkan dalam kelembagaan, sumber daya manusianya jelas akan fokus pada keterjagaan. Bagi yang berhasil menjaga dan mempertahankan, inovasi digital ke depan menjadi pekerjaan rumah terbesar untuk dikembangkan.

Apakah kita bagian dari mereka yang mengembangkan? Atau masih pada tahap masih ingin mewujudkan? Atau sedang jalan di tempat dengan wacana-wacana kontraproduktif tadi yang kurang relevan? Apapun itu, yang penting tidak meninabobokkan.

Jawaban positif selalu menjadi niat positif, dan semoga pula menggerakkan hati dengan penuh inspiratif serta mendorong kesadaran kolektif. Dengan begitu menjadi efektif.

Wallahu a'lam bisshowab.

 

* Luqman Rico Khashogi, M.S.I.

Anggota Halal Center: Pusat Kajian dan Pengembangan Halal

UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun