Di sini, detoksifikasi persoalan internal menjadi langkah sederhana tapi menarik; bukan hanya soal kenapa digital culture lebih efektik mendapatkan momentumnya di masyarakat perkotaan, tapi juga soal kenapa masyarakat agraris tidak begitu responsif terhadap trayek masa depan Ekonomi Syariah. Apa yang sebenarnya terbesit dalam pikiran masyarakat agraris kita soal Ekonomi Syariah? Lalu apaa bekal utama generasi milenial pada masyarakat agraris untuk menghadapi tantangan ekonomi yang cenderung kapitalis ini? Apakah langkah-langkah edukasi soal industry halal ini hanya menjadi konsumsi the rulling class?.
Bisa jadi ini tema yang ekslusif di ruang terbuka kita, tapi algoritma Drone Emprit-nya mas Ismail Fahmy (https://pers.droneemprit.id/) yang biasanya kerap memicu emosi politik, mengurai sentimen primordial, dan sering membedah polarisasi publik di tengah tensi politik yang kian meninggi, nampaknya juga akan lebih baik bila sesekali turun ke ranah ini. Tentu dengan menguatkan jaringan dengan para stekholder penggerak Ekonomi Syariah di skala lokal maupun nasional, para aktor civil society Islam, dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES; https://www.ekonomisyariah.org); soal hal-hal yang dibutuhkan untuk menggerakkannya terutama di ranah mikro.
Sehingga, upaya mengembangkan dan membesarkan industri halal melalui pasar pangan dan busana yang digagas ISEF pada 25-30 Oktober 2021 yang lalu ini benar-benar "for economic recovery". Bukan "for oligarchy economic recovery" yang liberalistik dan kapitalistik.
Tahu Saja Tidak Cukup
Sekarang ini, sekedar tahu Ekonomi Syariah saja tidak cukup, perlu ada kemauan dan strategi membangun kesadaran publik secara simultan agar "mainstreaming Islamic economy and finance into national and international policy" tidak berkutat pada seremoni administrative tahunan. Dan kesadaran ini pun belum sempurna bila tidak ditambah dengan komitmen bersama untuk memajukan ekonomi syariah di Indonesia.
Nampaknya kita perlu sudahi berbagai manufer apologi Islam untuk menutupi ketidakmampuan kita memanifestasikan Ekonomi Syariah di ranah praktis-kelembagaan. Sebab upaya ini adalah benar-benar bentuk implementasi konkrit dari Syariat dalam aspek ekonomi. Tentu kita tidak ingin narasi moderasi Islam hanya berputar di seminari bicara soal komitmen kebangsaan atau sekedar alat gebuk radikalisme. Moderasi beragama juga secara garis besar bergerak pada jalur (apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai) objektivikasi.
Memang bagi sebagian, Ekonomi Syariah dianggap masih menari-nari di ruang gagasan. Bagi yang lain, wacana ini sudah selesai dan pekerjaan berikutnya yakni fokus bagaimana mewujudkan. Bagi yang berhasil mewujudkan dalam kelembagaan, sumber daya manusianya jelas akan fokus pada keterjagaan. Bagi yang berhasil menjaga dan mempertahankan, inovasi digital ke depan menjadi pekerjaan rumah terbesar untuk dikembangkan.
Apakah kita bagian dari mereka yang mengembangkan? Atau masih pada tahap masih ingin mewujudkan? Atau sedang jalan di tempat dengan wacana-wacana kontraproduktif tadi yang kurang relevan? Apapun itu, yang penting tidak meninabobokkan.
Jawaban positif selalu menjadi niat positif, dan semoga pula menggerakkan hati dengan penuh inspiratif serta mendorong kesadaran kolektif. Dengan begitu menjadi efektif.
Wallahu a'lam bisshowab.
Â