Bisa jadi ini adalah salah satu dari akibat rendahnya kepedulian para intelektual Muslim atas mulai menguatnya lembaga-lembaga keuangan Islam belakangan ini tapi di sisi lain justru menyudutkan konsep Islam dalam ekonomi itu sendiri. Padahal secara tidak langsung hal itu menebar kesan ketidakrelevanan konsep ekonomi syariah di era digital.
Bila demikian, maka sangat wajar jika tidak sedikit masyarakt Islam justru lebih suka melontarkan kritik tak mendidik terhadap sesama Muslim yang sedang berupaya menguatkan nilai-nilai ekonomi Islam. Bahkan bisa jadi malah ada yang "istiqomah" meyakinkan masyarakat untuk tidak perlu feeling guilty soal keterlibatannya dalam lembaga-lembaga keuangan konvensional sambil menyederhanakan problem bunga dan riba. Itu soal interpretasi saja, katanya. Jelas kontraproduktif.
Upaya memajukan dan mengembangkan nilai-nilai Islam yang progresif, berkemajuan, dan modern pun menjadi sia-sia ketika keturutsertaan kaum intelektual Islam dalam bidang ekonomi masih sangat rendah.
Iman Dan Ekonomi
Keikutsertaan ini penting bukan hanya untuk kesejahteraan masyarakat Muslim itu sendiri, tapi juga untuk peradaban Islam yang rahmatan lil 'alamin dan sebuah penghayatan hubungan esensial kuat antara Tauhid dan tata ekonomi;
Selalu mengayomi anak yatim dan menyerukan kepada masyarakat soal keberpihakan pada orang-orang miskin (Al-Ma'un: 1-3), tidak menimbun harta sambil menghitung-hitungnya (Al-Humazah: 2), tidak menimbun Emas dan Perak (At-Taubah: 34), menyisihkan harta hak orang miskin (Adz-Dzariyat: 19), optimalisasi pengelolaan sedekah dan zakat (At-Taubah: 103, Al-Baqoroh: 10), membebaskan orang berhutang (At-Taubah: 60), dan konsep-konsep utama Islam lainnya tentang ekonomi dan keuangan.
Ketika Muhammad Iqbal dalam "Reconstruction of Religius Thought in Islam" menyarankan kepada dunia bahwa turut sertanya masyarakat Islam bergelut di bidang politik adalah implikasi dari tingginya tingkat spiritualitas Islam, maka sejatinya itu juga berlaku dalam hal ekonomi. Para ulama dan kaum intelektual Muslim harus selalu menguatkan wacana dan meyakinkan masyarakat Islam bahwa turut sertanya masyarakat Islam bergelut di bidang ekonomi adalah implikasi dari tingginya tingkat spiritualitas Islam.
Dengan begitu, maka ekonomi tidak hanya dipandang sebagai suatu aktifitas yang sifatnya keduniawian semata. Sebab, ilmu apapun dalam Islam, termasuk ilmu ekonomi, bila didekati dengan cara pandang Islam dengan niat mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi maka akan menjadi sangat penting dan implementatif. Sebaliknya, bila aktifitas ekonomi disikapi dengan aktifitas keduniawian semata tanpa ada spiritualitas mendekat pada-Nya dan kemaslahatan umat, maka bisa jatuh dalam kesengsaraan.
Singkat kata, ada penegasan penting bahwa umat Islam yang tidak (mau) bergelut di bidang ekonomi demi menebarkan pesan Islam yang progresif, maka spiritualitasnya diragukan. Atau dengan kalimat lain, orang Islam yang imannya lemah biasanya ditandai, salah satunya, dengan ketidakpeduliannya akan perkembangan ekonomi masyarakat Muslim di Indonesia. Di sini menanamkan meaning tampaknya menjadi strategi awal yang efektif.
Dengan begitu proyeksi ISEF ke depan bahwa Indonesia benar-benar diperhitungkan dalam kalender ekonomi dan keuangan syariah dunia, dapat terealisasikan adanya. Ungkapan "Indonesia harus jadi referensi keuangan Syariah" juga bukan isapan jempol semata di tengah derasnya transformasi digital pada sektor perbankan. Bukan hanya sumber daya manusia dan komponen perangkat aplikasi tantangan ke depan, tapi juga digital culture.
Ekonomi Syariah dan Masyarakat Agraris