"Silahkan duduk sini saja pak"
"Terimakasih nak"
 ia mengecup tangan bapak yang duduk disampingnya. Aku tak melihatnya, hanya saja pandanganku melirik ke belakang dan berusaha fokus dengan perbincangan mereka.
"Masih sekolah atau kerja"
"Sekolah pak di Universitas Islam Jakarta"
"Oh iya, semoga lancar ya nak"
Perbincangan itu semakin hangat. Tanpa aku membalikkan badan rasa kehangatan itu ikut kurasakan. Dari ramahnya anak itu, pun senyum hangat bapak yang disampingnya.
"Ya robbi sholli 'ala muhammad , ya robbi sholli 'alaihi wasallim"
"Ya robbi sholli 'ala muhammad, waftah minal khoiri kulla mughlaq"
Berkali-kali lelaki di belakangku ini mengumandangkan sholawat. Nampak menghayati. Dan benar-benar memanggil Rosulullah SAW.
Lirikanku kembali lagi ke tangannya. Nampaknya ia tak memegang Maulid Simtudduror. Padahal dari tadi ia tak diam bersholawat.
"Ternyata dia hafal maulid" gumamku
Suaranya merdu, halus dan menenangkan. Ingin rasanya aku membalikkan badan dan melihat siapa orangnya. Tapi aku harus menjaga adab dalam majlis ini. Karena tujuanku bukanlah untuk mengenal orang baru, tapi menambah rindu untuk yang sedang ku rindu.
Aku hampir terlupa di depanku ada mobil terparkir. Ketika Muhallul Qiyam. Ku coba sedikit mengintip wajahnya dari jendela mobil yang terparkir. Ah tidak begitu jelas. Padahal ia telah membuka maskernya.
Muhallul qiyam masih berlanjut. Tanpa dirasa kami hanyut dalam kerinduan. Air mata tak terhenti terbendung memanggil nabiku Muhammad SAW. Tanpa sadar mataku terbuka dan ku tatap jendela mobil, nampak dirinya juga sedang menatapku. Tatapan kami bertemu meski hanya perantara jendela mobil.
Takut fokusku buyar; kembali ku pejamkan mata agar tak goyah dari tujuan utama.
Setelah muhallul qiyam usai. Suara merdunya kembali lantunkan sholawat. Pasal demi pasal maulid simtudduror ia baca tanpa terjeda. Indah. Lagi-lagi hampir aku jatuh dalam lamunan.Â