"Aaaaa.....," teriak Nick.
Brak....
Nick memukul meja yang ada di hadapannya. Terbangun dalam ruangan gelap, sendiri, sungguh menyesakkan dada. Melihat ke sekitar ruangan, mencoba untuk mencari seseorang. Namun hasilnya nihil.
Tangan Nick mencoba untuk mencabut seluruh rambut di kepalanya. Ia bingung. Ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Matanya nampak tidak berkompromi. Ia ingin mengeluarkan air matanya, namun tak setetes pun keluar.
"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Ayah, kenapa kau tidak membiarkanku menjadi diriku?" pikirnya dalam hati.
Pemandangan di ruangan ini sungguh menakutkan. Ruangan ini mirip sekali seperti ruang interogasi polisi-polisi. Kecil, tanpa perabotan selain meja dan kursi. Sebuah lampu tergantung, yang hanya cukup menerangi sekitar meja. Tak ada udara segar yang bisa menerobos masuk. Seakan memaksamu untuk berbicara jujur. Jujur sejujurnya.
Lampu neon kuning di atas kepala Nick berhenti berputar. Ia menerangi sebuah benda mengkilat di atas meja. Pandangan Nick mulai terarah ke benda itu. Perak mengkilat, kecil, namun cukup mematikan dengan delapan pelurunya.
Jari-jemari Nick mencoba mengenali pistol itu. Mereka seakan saling berkenalan. Berputar ke kanan, berputar ke kiri. Kemudian Nick mengangkatnya, dan mengarahkan moncongnya ke hadapannya. Mata Nick dan pistol berhadap-hadapan. Setelah mereka puas saling berpandangan, tangan kanan Nick bergerak ke samping kanan kepalanya. Sekarang, moncong pistol diarahkan ke dahinya. Mulai jarinya bergerak, dan mata Nick mulai terpejam.
DOR!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suara burung-burung mulai masuk ke telinga. Mentari pagi pun juga tak mau kalah. Mereka berebut membangunkan Nick dari tidurnya.