Sudah menjadi rahasia umum bahwa lingkaran pertemanan cenderung menyusut seiring pertambahan usia. Ketika kita masih anak-anak, rasanya berteman itu mudah dan sederhana.
Ketika kita dewasa prioritas hidup berubah. Pekerjaan dan uang menjadi prioritas utama karena hidup itu tidak gratis. Sementara mereka yang sudah menikah, pasangan dan anak pasti akan lebih diprioritaskan ketimbang hubungan pertemanan.
Fenomena jumlah teman yang lebih sedikit ketika dewasa ini didukung oleh penelitian yang dipublikasikan di The Royal Society Publishing. Penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah teman setelah usia 25 tahun dan laki-laki mengalami kehilangan teman lebih cepat dari perempuan.Â
Adapun jumlah teman terbanyak terjadi pada masa sekolah dan kuliah. Psikolog klinis Susana E. Flores dalam laman Bustle mengungkapkan bahwa ini adalah hal yang wajar karena pada masa sekolah dan kuliah kita dikelilingi oleh sekelompok orang dengan minat yang sama sehingga kita lebih mudah untuk berteman.
Dengan jumlah teman yang makin sedikit, sedangkan masalah hidup makin pelik, teknologi Artificial Intelligence (AI) berbentuk chatbot, seperti ChatGPT akhirnya menjadi pilihan untuk teman curhat.Â
Namun, karena ChatGPT adalah mesin, kelemahannya sebagai teman curhat adalah kita tidak bisa melihat respons, gestur atau ekspresi emosinya saat kita bercerita. ChatGPT mungkin akan memberikan jawaban yang lebih praktikal, tapi kurang sentuhan emosional sehingga tetap terasa "dingin" dan kaku.
Dalam jurnal Health Science Report berjudul ChatGPT and mental health: Friends or foes?, Khondoker Tashya Kalam dkk menyebutkan bahwa meskipun AI seperti ChatGPT cukup bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, ketergantungan pada teknologi ini berpotensi meningkatkan risiko depresi dan masalah kesehatan mental lainnya.
Merebaknya penggunaan chatbot seperti ChatGPT dalam perawatan kesehatan mental juga tidak terlalu banyak membantu. Yang ada justru kekhawatiran mengenai pelanggaran privasi dan data karena pasien biasanya diminta untuk memberikan informasi personal yang sensitif untuk keperluan perawatan dan terapi.
Selain itu, penggunaan software berbasis AI untuk perawatan kesehatan mental belum mempertimbangkan risiko bunuh diri, terutama pada pasien dengan kondisi yang lebih serius. Ketiadaan dukungan emosional dan empati dari orang-orang sekitar justru memperparah kondisi kesehatan mental mereka yang ketergantungan pada AI akibat paparan konten palsu atau berbahaya.
Lalu, bagaimana caranya supaya kita tetap sehat mental di tengah gempuran AI dan makin menyusutnya lingkaran pertemanan?