Sebuah hadis dari Usamah bin Zaid ra dari Nabi Muhammad Saw menyebutkan, "Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan". Sepintas, kalau hanya dibaca secara tekstual, hadis tersebut menyebut perempuan sebagai sumber masalah, sedangkan laki-laki sebagai korban.
Namun, menurut penjelasan Faqihuddin Abdul Qodir, ulama pejuang keadilan gender, sebagaimana yang dirangkum oleh Kompas.id (14/3.2022) menyebutkan, adalah tafsir yang diskriminatif apabila kita hanya menganggap perempuan sebagai fitnah. Karena faktanya, yang dapat menjadi sumber fitnah bukan hanya perempuan. Laki-laki, kekuasaan, harta juga bisa menjadi ujian atau hal yang memesona. Pandangan yang hanya menganggap perempuan sebagai sumber ujian, tak lebih dari stereotip yang menyebabkan perempuan tidak pernah dipandang utuh sebagai manusia yang berakal budi.
Berkembangnya stereotip tersebut menjadi sumber ketidakadilan dalam berbagai hal. Dalam hal kekerasan seksual misalnya, meski perempuan yang menjadi korban, perempuan juga yang disalahkan. Bahkan, perbuatan seperti catcalling atau candaan bernada seksual hanya dianggap lucu-lucuan. Ketika perempuan merasa tidak nyaman dan kemudian menegur orang yang catcalling atau melontarkan candaan seksual, perempuan tersebut malah dicap terlalu kaku dan serius karena soal begitu saja ia ngambek.
Dalam kasus yang lebih parah, pemaknaan tekstual dan sepotong-sepotong atas hadis di atas berakibat pada kontrol berlebih atas tubuh perempuan. Bukan hanya pakaian yang diatur, melainkan juga merembet ke aktivitas bahkan minat atau hobi. Perempuan jadi tidak bisa bersekolah, tidak bisa bekerja, tidak boleh bepergian sendiri dan tidak boleh tampil di ruang publik (nyata dan virtual). Ya mirip-miriplah dengan kondisi kaum perempuan di Afghanistan atau di daerah-daerah lain yang punya aturan hukum konservatif.
Komentar tidak senonoh pada Kak Nisa atau perempuan lain yang mengalami hal serupa, tidak ada hubungannya dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena nyatanya, mau seterbuka atau setertutup apapun pakaian perempuan, laki-laki dengan pikiran mesum akan tetap cari gara-gara. Saya sendiri termasuk yang pernah mengalami catcalling di tempat umum meski sudah berpakaian tertutup dan menjaga sikap.
Menganggap pakaian atau paras rupawan sebagai pembenaran untuk melakukan pelecehan, menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan pikiran si pelaku. Cara pandang yang bermasalah terhadap tubuh perempuan membuat laki-laki merasa dirinya lebih superior. Superioritas itulah yang kemudian mendorong perilaku catcalling, pelecehan atau berbagai bentuk kekerasan pada perempuan.
Tubuh kita adalah karya Tuhan. Selain tubuh physical yang dapat diindera, kita juga punya tubuh pikiran atau akal. Alih-alih hanya mengajarkan anak perempuan untuk menjaga kehormatannya, bisa tidak, kita juga mengajarkan anak laki-laki untuk menundukkan pandangan dan mengendalikan hawa nafsunya?
Gak usah banyak alasan dengan bilang kalau laki-laki pada dasarnya memang nafsuan dan itu wajar. Hey, kamu itu manusia, bukan binatang! Posisi syahwatmu seharusnya tidak lebih tinggi dari akal. Ngakunya makhluk logika, makhluk rasional, tapi soal pengendalian nafsu kok lemah? Situ sehat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H