Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelecehan terhadap Host Kinderflix dan Objektifikasi Tubuh Perempuan

16 November 2023   10:51 Diperbarui: 16 November 2023   10:52 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi korban pelecehan seksual-sumber gambar: shutterstock diunduh dari kompas

Belakangan ini nama Anisa Rostiana, atau yang akrab disapa Kak Nisa, sedang viral karena menjadi korban dari komentar bernada seksual di kanal YouTube Kinderflix. Kinderflix sendiri adalah saluran YouTube yang menayangkan konten-konten video edukasi untuk anak-anak, terutama bayi di bawah umur lima tahun, yang disajikan dengan visual menarik dan dipandu oleh beberapa host. Nah, Kak Nisa adalah salah satu host yang biasa muncul di video-video Kinderflix.

Disaat negara kita sedang krisis tayangan ramah anak, kehadiran Kinderflix adalah oase bagi anak-anak yang butuh tayangan yang sesuai dengan usia mereka. Sementara bagi para orangtua, Kinderfix bisa menjadi inspirasi edukasi untuk anak-anak dengan cara yang menyenangkan.

Ironisnya, konten yang seharusnya bisa jadi ruang aman bagi anak-anak itu dirusak oleh ulah sebagian warganet berotak mesum yang melontarkan komentar pelecehan pada Kak Nisa. 

Apa? Mau tanya pakaian seperti apa yang dikenakan? 

Kak Nisa selalu berpakaian sopan dan tertutup kok. Pakai jilbab pula. Gestur, ekspresi wajah atau caranya berbicara tidak juga menggoda dan sensual.

Selain Kak Nisa yang dilecehkan, para orangtua, paman, bibi, kakak atau sepupu yang lebih besar, yang kerap mendampingi adik-adik balita menonton tayangan Kinderflix juga akan was-was. Ruang yang seharusnya ramah anak malah jadi ruang pamer kelakuan orang dewasa yang tidak beradab. Kalau sudah begini, kemana lagi anak-anak harus mengakses tayangan yang sehat? Di mana lagi ruang aman bagi perempuan di dunia maya?

Mau bilang kalau itu wajar karena dia cantik? 

Eh kumis lele, denger ya, mau dia cantik atau enggak, namanya pelecehan itu tetap salah, apapun alasannya! Sekarang bayangkan, seorang pelaku pemerkosaan dihadapkan di persidangan, apakah perihal kecantikan korban bakal dijadikan dasar untuk putusan hukuman? Memangnya, kalau korbannya tidak cantik, hukuman yang diterima bakal lebih ringan?

Tuh kan, lagi-lagi perempuan juga yang salah. Jelek dibully, cantik diseksualisasi. Pakai pakaian terbuka dibilang nakal dan murahan. Pakai pakaian tertutup kok masih dilecehkan? Barangkali perempuan lebih baik jadi umbi-umbian saja.

Saya juga heran dengan mereka yang bukannya mengakui kesalahan dan minta maaf, malah denial dan berlindung di balik alasan "berchandyaa". Mereka ini paham tidak sih, kalau esensi dari bercanda adalah harus lucu dan harus sama-sama terhibur? Kalau candaanmu ternyata membuat orang lain tidak nyaman, merasa terhina apalagi sampai trauma, jangan-jangan yang kamu lontarkan bukan candaan, melainkan hinaan atau pelecehan.

Tubuh Perempuan yang Ditundukkan

Sebuah hadis dari Usamah bin Zaid ra dari Nabi Muhammad Saw menyebutkan, "Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan". Sepintas, kalau hanya dibaca secara tekstual, hadis tersebut menyebut perempuan sebagai sumber masalah, sedangkan laki-laki sebagai korban.

Namun, menurut penjelasan Faqihuddin Abdul Qodir, ulama pejuang keadilan gender, sebagaimana yang dirangkum oleh Kompas.id (14/3.2022) menyebutkan, adalah tafsir yang diskriminatif apabila kita hanya menganggap perempuan sebagai fitnah. Karena faktanya, yang dapat menjadi sumber fitnah bukan hanya perempuan. Laki-laki, kekuasaan, harta juga bisa menjadi ujian atau hal yang memesona. Pandangan yang hanya menganggap perempuan sebagai sumber ujian, tak lebih dari stereotip yang menyebabkan perempuan tidak pernah dipandang utuh sebagai manusia yang berakal budi.

Berkembangnya stereotip tersebut menjadi sumber ketidakadilan dalam berbagai hal. Dalam hal kekerasan seksual misalnya, meski perempuan yang menjadi korban, perempuan juga yang disalahkan. Bahkan, perbuatan seperti catcalling atau candaan bernada seksual hanya dianggap lucu-lucuan. Ketika perempuan merasa tidak nyaman dan kemudian menegur orang yang catcalling atau melontarkan candaan seksual, perempuan tersebut malah dicap terlalu kaku dan serius karena soal begitu saja ia ngambek.

Dalam kasus yang lebih parah, pemaknaan tekstual dan sepotong-sepotong atas hadis di atas berakibat pada kontrol berlebih atas tubuh perempuan. Bukan hanya pakaian yang diatur, melainkan juga merembet ke aktivitas bahkan minat atau hobi. Perempuan jadi tidak bisa bersekolah, tidak bisa bekerja, tidak boleh bepergian sendiri dan tidak boleh tampil di ruang publik (nyata dan virtual). Ya mirip-miriplah dengan kondisi kaum perempuan di Afghanistan atau di daerah-daerah lain yang punya aturan hukum konservatif.

Komentar tidak senonoh pada Kak Nisa atau perempuan lain yang mengalami hal serupa, tidak ada hubungannya dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena nyatanya, mau seterbuka atau setertutup apapun pakaian perempuan, laki-laki dengan pikiran mesum akan tetap cari gara-gara. Saya sendiri termasuk yang pernah mengalami catcalling di tempat umum meski sudah berpakaian tertutup dan menjaga sikap.

Menganggap pakaian atau paras rupawan sebagai pembenaran untuk melakukan pelecehan, menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan pikiran si pelaku. Cara pandang yang bermasalah terhadap tubuh perempuan membuat laki-laki merasa dirinya lebih superior. Superioritas itulah yang kemudian mendorong perilaku catcalling, pelecehan atau berbagai bentuk kekerasan pada perempuan.

Tubuh kita adalah karya Tuhan. Selain tubuh physical yang dapat diindera, kita juga punya tubuh pikiran atau akal. Alih-alih hanya mengajarkan anak perempuan untuk menjaga kehormatannya, bisa tidak, kita juga mengajarkan anak laki-laki untuk menundukkan pandangan dan mengendalikan hawa nafsunya?

Gak usah banyak alasan dengan bilang kalau laki-laki pada dasarnya memang nafsuan dan itu wajar. Hey, kamu itu manusia, bukan binatang! Posisi syahwatmu seharusnya tidak lebih tinggi dari akal. Ngakunya makhluk logika, makhluk rasional, tapi soal pengendalian nafsu kok lemah? Situ sehat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun