Jika mereka yang masih ngotot pada domestikasi perempuan mau bawa-bawa dalil agama, dalam Islam misalnya, beberapa tokoh perempuan sejak zaman Nabi Muhammad Saw pun berkontribusi aktif di ruang publik.Â
Mau contoh perempuan sukses dalam karir? Ada Khadijah bint Khuwailid istri Rasulullah. Contoh perempuan cerdas dan berpendidikan? Ada Aisyah bint Abu Bakar, istri Rasulullah juga.Â
Perempuan menjadi serdadu perang? Ada Nusaibah bint Ka'ab, sang perisai Rasulullah dalam Perang Uhud. Perempuan tidak boleh bepergian atau berkendara sendiri? Ada Asma bint Abu Bakar yang rela menembus gelap malam untuk mengantarkan perbekalan bagi ayahnya dan Rasulullah di Gua Tsur.Â
Sejarah yang menceritakan kontribusi para perempuan seperti itulah yang seharusnya juga diajarkan pada anak-anak sejak dini. Supaya mereka paham bahwa kemajuan peradaban bukan hanya tanggung jawab dan kontribusi laki-laki, melainkan semua orang.Â
Melanggengkan stereotipe gender tradisional juga bisa berakibat pada tidak terpenuhinya hak berpendidikan bagi anak perempuan. Hal ini terutama terjadi pada perempuan pedesaan.Â
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan desa hanya memiliki ijazah SD sebagai ijazah tertinggi (31,28%). Sebanyak 19,77% perempuan di pedesaan malah tidak punya ijazah atau tidak pernah sekolah formal. Kondisi tersebut berbeda dengan perempuan kota yang sebagian besarnya merupakan lulusan SMA/SMK (33,36%).Â
Sementara itu, perempuan lulusan perguruan tinggi di perkotaan sebesar 13,97%. Angka ini lebih besar dua kali lipat ketimbang perempuan lulusan perguruan tinggi di pedesaan yang hanya 6%.Â
Selain karena kurangnya infrastruktur dan fasilitas yang mendukung, persepsi masyarakat desa bahwa pendidikan bagi anak perempuan adalah pemborosan menjadi sebab utama kesenjangan tersebut.Â
Pendidikan bagi anak perempuan dianggap kurang penting karena kelak ia belum tentu bekerja dan hanya mengurus rumah tangga. Masyarakat desa juga masih beranggapan kalau perempuan berpendidikan tinggi rentan jadi perawan tua karena terlalu fokus menyelesaikan pendidikannya. Belum lagi kalau kemudian ia berkarir akan cenderung menunda pernikahan.Â
Bagaimana Pendidikan Berperan dalam Mendobrak Stereotipe Gender?Â
Menanamkan perspektif gender utamanya dimulai dari pendidikan di rumah atau keluarga.  Salah satu yang bisa dlakukan adalah dengan mengajarkan, baik kepada anak laki-laki maupun perempuan bahwa pekerjaan domestik itu bukan pekerjaan perempuan. Jadi, anak laki-laki tidak perlu malu untuk membantu ibu atau saudara perempuannya memasak, mencuci piring atau menyapu.Â