Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Bisakah Idul Fitri Menjadi Momentum untuk Meningkatkan Kesadaran Ekologis?

24 April 2023   13:55 Diperbarui: 29 April 2023   18:33 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menjaga lingkungan-photo by Akil Mazumder from pexels

Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 22 April lalu (meski ada sebagian yang sudah berlebaran pada 21 April) bertepatan dengan Hari Bumi. Sejauh mana kita telah menjalankan amanah sebagai khalifah fil ardh (wakil Tuhan di bumi) dalam kaitannya dengan menjaga lingkungan?

Kita sering mengeluh tentang suhu bumi yang semakin panas. Kita mengutuk bencana banjir yang menjadi langganan saat musim hujan. Kita marah karena hak atas udara bersih dirampas polusi udara.

Kabar terbaru menyebut Asia sedang dilanda gelombang panas.

Di Thailand, suhu mencapai 50 derajat Celcius. Di Bangladesh 51 derajat.

Sementara di Indonesia, meski tidak mengalami gelombang panas, suhu harian mengalami kenaikan sehingga tetap terasa panas. Tercatat suhu harian tertinggi ada di Ciputat, Tangerang Selatan, yaitu 37,2 derajat Celcius pada 17 April lalu.

Berkaca pada kondisi ini, menurut pembaca, pantaskah kita mengeluh sedangkan di saat yang sama kita terus membuat kerusakan?

Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) punya dimensi yang luas. Ia tidak hanya peduli pada kelangsungan hidup manusia tapi juga hewan, tumbuhan bahkan alam.

Dengan demikian, sejatinya konsep Islam rahmatan lil alamin mengajarkan kita untuk mengambil dan memanfaatkan sesuatu dari alam secukupnya, sesuai kebutuhan.

Eksploitasi berlebihan terhadap alam menunjukkan betapa egois dan angkuhnya kita sebagai manusia. Alam hanya dianggap sebagai objek yang dapat dikeruk seenaknya, dengan alasan pembangunan, kemajuan, modernisasi, keuntungan ekonomi dan sebagainya.

Ketika terjadi masalah atau bencana ekologis, kita denial alih-alih introspeksi dan berbenah. Kita juga sering menuding dosa orang lain sebagai penyebab bencana dan lupa pada dosa-dosa sendiri.

Sudah diajarkan sejak kecil kalau buang sampah itu di tempat sampah, malah buang sampah di sungai.

Di mata pelajaran fisika kita belajar kalau air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Nyatanya pengetahuan itu tidak membuat kita berhenti menggunduli hutan-hutan dan bukit-bukit.

Dulu, ibu kerap menyuruh kita untuk menghabiskan makanan agar "nasi yang tertinggal tidak menangis". Itu memang hanya mitos. Namun, saat dewasa dan pengetahuan kita berkembang, buang-buang makanan ternyata punya konsekuensi lingkungan yang tidak main-main.

Akibatnya? Banjir, tanah longsor, kekeringan dan beberapa bencana ekologis melanda.

Idul Fitri sering dimaknai sebagai hari kemenangan. Namun, apakah kita pantas atas kemenangan tersebut? Menang dari apa?

Alih-alih hanya larut dalam euforia, Idul Fitri seharusnya bisa jadi titik awal untuk melanjutkan maupun meningkatkan kebiasaan-kebiasaan baik. Bukan hanya yang berhubungan dengan kesalehan ritual, melainkan juga kesalehan sosial bahkan ekologis.

Jika selama ini kita melakukan diet untuk menjaga kesehatan atau demi mendapatkan tubuh ideal, mengapa tidak mencoba diet plastik untuk mengurangi sampah plastik? Atau menghemat energi, air bersih dan konsumsi makanan secukupnya agar tidak buang-buang makanan?

Pergerakan manusia dalam jumlah besar yang terjadi setiap Idul Fitri (baca: mudik) memang turut menyumbang jejak karbon yang besar, terutama dari asap kendaraan.

Meminimalkan jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas ini pun tidak mungkin dilakukan dengan melarang masyarakat mudik. Namun, kita bisa melakukannya dengan memanfaatkan transportasi umum atau memperhatikan muatan serta perawatan kendaraan apabila mudik dengan kendaraan pribadi.

Tanggung jawab menjaga lingkungan memang tidak bisa dilakukan sendiri.

Mengubah kebiasaan dan gaya hidup menjadi ramah lingkungan meski dampaknya tidak terlalu signifikan dan masif, tetap penting untuk dilakukan. Setidaknya, kita telah mengupayakan di level kesadaran individu dan keluarga ketimbang hanya diam menunggu kapan ada kebijakan publik yang pro lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun