Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Segar Artikel Utama

Sudahkah Kita Mampu Mensyukuri Makanan dan Memaknai Rasa Lapar?

22 Maret 2023   20:17 Diperbarui: 23 Maret 2023   16:40 3623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada berbagai kebaikan dalam setiap makanan yang kita santap. 

Pertama, kebaikan dari petani yang menanam tanaman pangan, peternak yang merawat hewan ternak sehingga dagingnya dan hasil lain selain daging dari hewan tersebut yang dapat dikonsumsi atau nelayan yang harus menerjang gelap dan dinginnya malam di tengah laut untuk mencari ikan. 

Kedua, kebaikan para pedagang, terutama pedagang kecil yang menjual bahan-bahan pangan. 

Ketiga, kebaikan orang yang mengolah atau memasak makanan yang kita makan. Dia bisa ibu kita, pasangan, tukang masak entah yang di lapak-lapak kaki lima, angkringan sampai restoran bintang lima. 

Keempat, orang yang menghidangkan atau menyajikan makanan itu di piring dan meja makan. Kalau kita makan di luar, maka yang dimaksud adalah pelayan. 

Jika di rumah, itu bisa berarti ibu kita, istri bagi laki-laki yang telah berkeluarga atau mungkin asisten rumah tangga. 

Bagi yang pernah atau sering memesan makanan secara daring lewat aplikasi, kalau bukan karena jasa abang ojol yang rela mengantre, berpanas-panas dan bermacet-macet ria di jalan, makanan itu mungkin tidak akan sampai pada kita. 

Yang tidak kalah penting tentu saja kebaikan Tuhan yang telah menyediakan alam serta kekayaan hayati dan hewani yang bisa kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. 

Dapur, memasak dan perempuan sudah seperti satu kesatuan yang sulit dipisahkan, meski pandangan kesetaraan gender telah membuka mata dan pikiran kita bahwa urusan dapur tidak berjenis kelamin. 

Saking dekatnya dapur dan memasak dengan dunia perempuan, masuk akal sekali jika ketika masih kecil dulu, ibu akan memarahi kita apabila tidak menghabiskan makanan. 

Mungkin kemarahannya bisa berarti kecewa atau sedih karena kerja kerasnya seperti disia-siakan, khawatir akan kecukupan gizi anaknya karena makanan yang tidak maksimal masuk ke tubuh atau sebetulnya ibu ingin mengajarkan pada kita untuk menghargai dan mensyukuri makanan sebab di luar sana banyak orang kekurangan makan bahkan mati kelaparan. 

Namun, akibat yang lebih buruk sebetulnya bukan kematian, melainkan bencana kemanusiaan yang timbul karena perut yang lapar. 

Perut yang lapar bisa mendorong orang untuk mencuri, merampok, membunuh bahkan menggadaikan iman karena merasa Tuhan tidak hadir mengulurkan tangan-Nya. 

Yang terakhir ini, kita tak bisa sepenuhnya menghujat iman orang tersebut yang lemah. Apalagi menyalahkan Tuhan. 

Bisa jadi kita yang salah karena pura-pura buta dan tuli sedangkan mereka ada di sekitar kita dan kita berkelebihan untuk membantu mereka. 

Itu sebabnya, jika saya tidak mau menghabiskan makanan saya, ibu sering menyuruh untuk memberikan makanan itu pada orang lain ketimbang dibuang-buang. 

Bahaya lainnya tentu saja masalah lingkungan akibat sampah makanan. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia. 

Volume sampah makanan justru meningkat di bulan yang mengajarkan kita untuk lebih mensyukuri makanan dan berempati pada orang-orang lapar (baca:  Ramadhan dan Idul Fitri). 

Para ulama berkali-kali mengingatkan agar jangan sampai di bulan suci ini kita hanya mendapat lapar dan dahaga. 

Namun, bagaimana bulan Ramadhan bisa menjadi universitas kehidupan yang setelah selesai, kita bisa lebih dekat pada-Nya dan menjadi manusia dengan sisi kemanusiaan yang lebih terasah. 

Dengan demikian, kewajiban untuk menahan lapar dan dahaga selama berpuasa seharusnya meningkatkan kesadaran kita betapa beruntungnya kita yang masih bisa makan tiga kali sehari sedangkan masih ada orang yang hanya bisa makan kurang dari tiga kali sehari atau bahkan tidak makan selama beberapa hari. 

Menaikkan level puasa ke level shaum khawas al-khawas (puasanya golongan khususnya khusus seperti para shiddiqin dan nabi) itu sulit bukan main. Bahkan rasanya hampir mustahil. Jangankan ke level itu, level puasanya golongan khusus (golongan orang saleh) saja belum tentu sampai. 

Ibarat pelajar di sekolah, semakin tinggi tingkatannya, ibadah puasa yang dijalankan akan semakin berkualitas, tapi semakin berat juga ujiannya. 

Kita yang belum sampai---setidaknya pada tingkat kedua alias puasanya golongan orang saleh---minimal lebih dulu mampu memaknai rasa lapar. Jika hal paling dasar seperti ini saja tidak mampu melakukan, boro-boro mau naik kelas. 

Selamat menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H. Semoga kita senantiasa dimudahkan dalam menjalankan ibadah puasa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun