Mungkin kemarahannya bisa berarti kecewa atau sedih karena kerja kerasnya seperti disia-siakan, khawatir akan kecukupan gizi anaknya karena makanan yang tidak maksimal masuk ke tubuh atau sebetulnya ibu ingin mengajarkan pada kita untuk menghargai dan mensyukuri makanan sebab di luar sana banyak orang kekurangan makan bahkan mati kelaparan.Â
Namun, akibat yang lebih buruk sebetulnya bukan kematian, melainkan bencana kemanusiaan yang timbul karena perut yang lapar.Â
Perut yang lapar bisa mendorong orang untuk mencuri, merampok, membunuh bahkan menggadaikan iman karena merasa Tuhan tidak hadir mengulurkan tangan-Nya.Â
Yang terakhir ini, kita tak bisa sepenuhnya menghujat iman orang tersebut yang lemah. Apalagi menyalahkan Tuhan.Â
Bisa jadi kita yang salah karena pura-pura buta dan tuli sedangkan mereka ada di sekitar kita dan kita berkelebihan untuk membantu mereka.Â
Itu sebabnya, jika saya tidak mau menghabiskan makanan saya, ibu sering menyuruh untuk memberikan makanan itu pada orang lain ketimbang dibuang-buang.Â
Bahaya lainnya tentu saja masalah lingkungan akibat sampah makanan. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia.Â
Volume sampah makanan justru meningkat di bulan yang mengajarkan kita untuk lebih mensyukuri makanan dan berempati pada orang-orang lapar (baca: Â Ramadhan dan Idul Fitri).Â
Para ulama berkali-kali mengingatkan agar jangan sampai di bulan suci ini kita hanya mendapat lapar dan dahaga.Â
Namun, bagaimana bulan Ramadhan bisa menjadi universitas kehidupan yang setelah selesai, kita bisa lebih dekat pada-Nya dan menjadi manusia dengan sisi kemanusiaan yang lebih terasah.Â
Dengan demikian, kewajiban untuk menahan lapar dan dahaga selama berpuasa seharusnya meningkatkan kesadaran kita betapa beruntungnya kita yang masih bisa makan tiga kali sehari sedangkan masih ada orang yang hanya bisa makan kurang dari tiga kali sehari atau bahkan tidak makan selama beberapa hari.Â