Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hati-hati dengan Jebakan Bias Gender dalam Konsep "Alpha Female"

13 Maret 2023   06:42 Diperbarui: 13 Maret 2023   07:03 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan sedang memimpin rapat di kantor-photo by yan krukau from pexels

Najwa Shihab, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti adalah beberapa nama yang kerap terpikir (top of mind) mengenai sosok alpha female. Istilah alpha female memang kerap diidentikkan dengan sosok perempuan yang mandiri, cerdas, berjiwa pemimpin, tegas dan berani mengambil inisiatif serta menyuarakan pemikirannya. Alpha female juga sering digambarkan dengan profesi atau posisi tertentu seperti CEO, pebisnis, politisi, aktivis, cendekiawan dan sebagainya. 

Beberapa orang memandang alpha female sebagai sosok yang intimidating dan membuat yang lain merasa insecure. Karakter mereka yang umumnya lebih dominan, menonjol dan tidak seperti yang selama ini distereotipekan, tak jarang menuai komentar yang lagi-lagi menyuruh mereka untuk 'kembali pada kodratnya sebagai perempuan'. 

Bukan tanpa sebab, mereka sejatinya masih mengamini stereotipe bahwa perempuan itu harus lebih submissive, lemah lembut dan penurut. Oleh karena itu, ketika melihat perempuan yang dinilai tidak memenuhi standar atau norma gender tradisional, perempuan tersebut dianggap menyalahi kodrat. 

Lalu, dari mana sebenarnya istilah alpha female berasal? Benarkah istilah alpha female hanya berlaku bagi perempuan dengan karakter, profesi atau posisi sebagaimana yang saya sebut di atas? 

Asal-usul Istilah Alpha (Female)

Dilansir dari Magdalene, meski istilah alpha female nampak positif dan empowering, ia bisa jadi problematik di sisi lain. Istilah ini diadopsi dari cabang ilmu hewan atau zoologi yang cukup seksis. Charles Darwin dalam The Descent of Man and Selection in Relation to Sex (1871) mengatakan orang-orang kerap menggunakan analogi hewan untuk menggambarkan perbedaan seleksi seksual antara laki-laki dan perempuan. 

Darwin mengatakan bahwa laki-laki memiliki pemikiran mendalam, alasan, imajinasi dan penggunaan indera yang lebih unggul. Ia menganalogikan hal ini seperti kawanan serigala, di mana secara sosial hewan jantan lebih dominan ketimbang betina. Hewan jantn memimpin kelompok, berburu, mencari pasangan, membuahi betina dan bertarung dengan pejantan lain untuk menegaskan teritorinya. 

Pandangan Darwin sejalan pula dengan pandangan David Mech, pendiri Pusat Serigala Internasional, dalam buku The Wolf: Ecology and Behaviour of an Endangered Species. 

Sebagaimana yang dilansir oleh Science Norway, bukunya itu telah membantu mempopulerkan konsep alpha dalam berbagai literatur dan budaya populer. Namun, setelah buku tersebut terbit, Mech mencatat studi lanjutan yang justru bertolak belakang dengan konsep awal mengenai alpha dalam hierarki kawanan serigala. Ternyata, penelitian awalnya dibuat berdasarkan koloni serigala domestik, bukan liar. 

Padahal, di alam liar, anggota utama kawanan serigala adalah keluarga yang terdiri dari orangtua dan anak-anaknya. Kawanan ini tidak mesti dipimpin oleh serigala jantan sebagaimana yang banyak diyakini mengenai konsep alpha dalam kawanan serigala. Pemimpin kawanan adalah orangtua, yang dalam hal ini bisa merujuk pada serigala jantan maupun betina yang sudah dewasa. Mirip-mirip kan, dengan konsep laki-laki dan/atau perempuan kepala keluarga (KK) pada sistem keluarga manusia? 

Seiring dengan hasil studi lanjutannya ini, Mech sampai meminta agar penerbit berhenti menerbitkan bukunya karena khawatir akan menimbulkan miskonsepsi. 

Sayangnya, konsep kepemimpinan dalam koloni serigala di alam liar itu kalah populer dengan konsep alpha yang membenarkan dominasi pejantan atas betina. Konsepnya semakin populer sampai ketika beberapa media di awal tahun 1990-an mulai menggunakan istilah alpha untuk menyebut laki-laki 'jantan' yang unggul dalam bisnis. 

Jebakan Bias Gender dalam Istilah Alpha Female

Pro kontra alpha female bukan cuma tentang perlawanan atas pemaksaan terhadap perempuan untuk tunduk pada norma gender tradisional. Memaksa perempuan untuk berlaku berdasarkan karakter maskulin agar bisa dianggap perempuan berdaya atau untuk memenuhi konsep alpha female, juga tidak dapat dibenarkan. 

Itu sebabnya, saya melontarkan pertanyaan kedua seperti tertulis di atas. Pertanyaan itu bisa juga saya bunyikan begini, apakah seorang alpha female harus memiliki karakter maskulin yang lebih dominan dalam dirinya? Apakah perempuan yang feminin tidak dapat disebut sebagai alpha female? 

Saya cukup sering menemukan komentar menggelikan pada unggahan-unggahan tentang kesetaraan gender di medsos. Salah satunya begini, "Kalau mau menuntut kesetaraan gender, perempuan harus bisa angkat galon sendiri, mau kerja jadi kuli dan jangan nangis kalau dipukul laki-laki". 

Entah saya yang terlalu bodoh atau apa, tapi saya memang tidak dapat menangkap logika si netizen mengenai korelasi antara kesetaraan gender dengan bisa angkat galon, mau jadi kuli dan tidak menangis ketika dipukul laki-laki. Satu yang jadi keresahan saya adalah mengapa perempuan harus menjadi maskulin terlebih dulu untuk dapat diakui kompetensinya? 

Tidak Ada yang Lebih Superior antara Maskulinitas dan Feminitas

Maskulinitas (maskulin) dan feminitas (feminin) itu merujuk pada gender, bukan jenis kelamin. Gender adalah hasil dari konstruksi sosial sedangkan jenis kelamin adalah kreasi Tuhan. Oleh karena itu, maskulinitas dan feminitas (seharusnya) bersifat lebih cair. Keduanya bisa hadir dalam diri seorang individu, dengan kadar dan bentuk yang bermacam-macam. 

Ada perempuan yang lebih dominan karakter femininnya dan ada yang lebih maskulin. Ada laki-laki yang maskulin dan ada jugayang feminin. 

Jika alpha female dapat diartikan sebagai perempuan yang berdaya, mereka bisa berdaya dengan caranya masing-masing. Tidak harus dengan menjadi pemimpin sebuah organisasi bisnis, politik atau sosial. Sebab, tidak semua perempuan nyaman atau mampu mengemban jabatan itu. 

Lagipula, kemampuan memimpin itu tidak mesti diwujudkan dengan menjadi pemimpin bagi banyak orang. Minimal dia sanggup menjadi pemimpin yang baik atas dirinya. 

Pun tidak semua perempuan nyaman menjadi dominan, tampil menonjol di ruang publik, menjadi sorotan atau bersikap opinionated atas isu-isu krusial. Apakah ini berarti mereka bukan perempuan berdaya? Tidak juga. 

Lalu, soal kemandirian dan kecerdasan, ini tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin maupun gender tertentu.

Kecerdasan bisa diupayakan oleh siapa saja. Kemandirian juga seharusnya ada dalam diri setiap laki-laki maupun perempuan. 

Jadi, apakah istilah alpha female itu problematik? 

Bisa ya, bisa tidak. Tergantung bagaimana kita memaknainya. 

Ketika konsep alpha female justru menjadi bias gender, perempuan akan tetap terkekang. Dengan demikian, konsep alpha female seharusnya mampu mendorong setiap perempuan untuk merangkul identitas, karakteristik dan talentanya agar dirinya berdaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun