Sayangnya, konsep kepemimpinan dalam koloni serigala di alam liar itu kalah populer dengan konsep alpha yang membenarkan dominasi pejantan atas betina. Konsepnya semakin populer sampai ketika beberapa media di awal tahun 1990-an mulai menggunakan istilah alpha untuk menyebut laki-laki 'jantan' yang unggul dalam bisnis.Â
Jebakan Bias Gender dalam Istilah Alpha Female
Pro kontra alpha female bukan cuma tentang perlawanan atas pemaksaan terhadap perempuan untuk tunduk pada norma gender tradisional. Memaksa perempuan untuk berlaku berdasarkan karakter maskulin agar bisa dianggap perempuan berdaya atau untuk memenuhi konsep alpha female, juga tidak dapat dibenarkan.Â
Itu sebabnya, saya melontarkan pertanyaan kedua seperti tertulis di atas. Pertanyaan itu bisa juga saya bunyikan begini, apakah seorang alpha female harus memiliki karakter maskulin yang lebih dominan dalam dirinya? Apakah perempuan yang feminin tidak dapat disebut sebagai alpha female?Â
Saya cukup sering menemukan komentar menggelikan pada unggahan-unggahan tentang kesetaraan gender di medsos. Salah satunya begini, "Kalau mau menuntut kesetaraan gender, perempuan harus bisa angkat galon sendiri, mau kerja jadi kuli dan jangan nangis kalau dipukul laki-laki".Â
Entah saya yang terlalu bodoh atau apa, tapi saya memang tidak dapat menangkap logika si netizen mengenai korelasi antara kesetaraan gender dengan bisa angkat galon, mau jadi kuli dan tidak menangis ketika dipukul laki-laki. Satu yang jadi keresahan saya adalah mengapa perempuan harus menjadi maskulin terlebih dulu untuk dapat diakui kompetensinya?Â
Tidak Ada yang Lebih Superior antara Maskulinitas dan Feminitas
Maskulinitas (maskulin) dan feminitas (feminin) itu merujuk pada gender, bukan jenis kelamin. Gender adalah hasil dari konstruksi sosial sedangkan jenis kelamin adalah kreasi Tuhan. Oleh karena itu, maskulinitas dan feminitas (seharusnya) bersifat lebih cair. Keduanya bisa hadir dalam diri seorang individu, dengan kadar dan bentuk yang bermacam-macam.Â
Ada perempuan yang lebih dominan karakter femininnya dan ada yang lebih maskulin. Ada laki-laki yang maskulin dan ada jugayang feminin.Â
Jika alpha female dapat diartikan sebagai perempuan yang berdaya, mereka bisa berdaya dengan caranya masing-masing. Tidak harus dengan menjadi pemimpin sebuah organisasi bisnis, politik atau sosial. Sebab, tidak semua perempuan nyaman atau mampu mengemban jabatan itu.Â
Lagipula, kemampuan memimpin itu tidak mesti diwujudkan dengan menjadi pemimpin bagi banyak orang. Minimal dia sanggup menjadi pemimpin yang baik atas dirinya.Â
Pun tidak semua perempuan nyaman menjadi dominan, tampil menonjol di ruang publik, menjadi sorotan atau bersikap opinionated atas isu-isu krusial. Apakah ini berarti mereka bukan perempuan berdaya? Tidak juga.Â
Lalu, soal kemandirian dan kecerdasan, ini tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin maupun gender tertentu.