Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Feminisme Kulit Putih yang Elitis, Eksklusif dan Barat Sentris

13 Januari 2023   04:30 Diperbarui: 13 Januari 2023   04:44 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi feminisme-photo by Tima Miroshnichenko from pexels

Menurut Anda, perempuan berdaya itu seperti apa? 

Apakah yang dimaksud adalah perempuan yang menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan yang mayoritas pekerja dan petingginya laki-laki? Atau perempuan dengan kehidupan sempurna, baik dalam hal pendidikan, karier, keuangan, kesehatan, pertemanan dan asmara? 

Saya tidak menampik bahwa perempuan dengan deskripsi di atas selama ini memang dianggap sebagai representasi dari perempuan berdaya. Pencapaian mereka sering di-branding sebagai "feminisme". 

Dari sinilah, kita kemudian mengenal istilah "girl boss". Suatu istilah yang belakangan sering diagung-agungkan para perempuan yang melabeli dirinya sebagai "feminis". 

Awal kemunculan istilah girl boss terjadi pada tahun 2014 melalui karya pebisnis perempuan, Sophia Amoruso, memoir #Girlboss. 

Saat menggunakan istilah ini, Amoruso menekankan bahwa kunci sukses bagi perempuan adalah dengan kerja keras sampai pada posisi atas---yang sekarang juga dikenal sebagai hustle culture. 

Saya sepakat bahwa kerja keras, kerja cerdas atau apapun Anda menyebutnya, itu penting kalau kita ingin sukses. 

Namun, mengglorifikasi kerja keras (baca: hustle culture) dan mengabaikan masalah-masalah struktural dan kultural yang menghambat kesuksesan seseorang atau suatu kelompok, sama saja dengan egois dan tidak sensitif. Hal ini akhirnya menciptakan jarak yang sangat lebar antara feminisme dengan masyarakat akar rumput. 

Nah, fenomena gembar-gembor istilah girl boss ini merupakan salah satu contoh dari white feminism atau feminisme kulit putih. 

Apa Itu Feminisme Kulit Putih?

ilustrasi girl boss merupakan salah satu contoh istilah yang sering digembar-gemborkan oleh feminisme kulit putih-Polina Zimmerman from pexels
ilustrasi girl boss merupakan salah satu contoh istilah yang sering digembar-gemborkan oleh feminisme kulit putih-Polina Zimmerman from pexels
Feminisme kulit putih adalah gerakan feminisme yang hanya fokus pada hak-hak perempuan kulit putih, cis-heteroseksual, kelas menengah ke atas, able bodied tapi abai pada berbagai bentuk penindasan yang dihadapi oleh perempuan kelompok etnis, agama, identitas gender, orientasi seksual minoritas dan yang tidak memiliki hak istimewa lainnya.

Sejarah munculnya feminisme kulit putih hampir setua umur ideologi dan gerakan feminisme itu sendiri. Ia muncul bersamaan dengan lahirnya feminisme gelombang pertama tahun 1792 di Inggris yang diperkenalkan oleh Mary Wollstonecraft melalui karya tulis berjudul The Vindication of The Rights of Women. 

Lewat karyanya itu, Mary menekankan pentingnya memberikan pendidikan yang setara pada perempuan agar mereka tidak menjadi terbelakang. 

Tokoh lainnya yang meneruskan perjuangan feminisme gelombang pertama adalah Harriet dan John Stuart Mill yang menyuarakan kesempatan bekerja dan hak perempuan dalam hubungan pernikahan. 

Sementara di Amerika Serikat, feminisme gelombang pertama ditandai dengan diterbitkannya Amandemen Kesembilan Belas Konstitusi Amerika Serikat tahun 1920. Undang-undang inilah yang kemudian menjadi tonggak adanya hak politik bagi kaum perempuan. 

Namun, feminisme gelombang pertama ini lahir dari gagasan perempuan kulit putih dan peruntukannya juga masih terbatas bagi sesama perempuan kulit putih saja. Selain itu, gagasan ini juga lebih banyak menyasar kaum perempuan kelas menengah. Dalam perkembangannya, feminisme kulit putih ini kerap menuai kritik karena terkesan elitis, eksklusif dan Barat sentris.   

Seperti Apa Bentuk-bentuk Feminisme Kulit Putih? 

Penulis dan aktivis kulit hitam Amerika Serikat, Rachel Elizabeth Cargle mengunggah dan memantik diskusi di akun instagramnya mengenai kematian gadis remaja kulit hitam, Nia Wilson pada 2018 silam. 

Gadis berusia 18 tahun itu bersama dua saudaranya, Letifah dan Tashiya, diserang dengan senjata tajam oleh laki-laki kulit putih, John Cowell di Bay Area Rapid Transit (BART) di Stasiun MacArthur, Oakland, California. 

Akibat insiden tersebut, keluarga berduka dan banyak orang bersimpati serta menuntut keadilan atas kematian gadis malang itu. 

Unggahan Rachel tersebut menuai banyak komentar dari warganet. Tak sedikit dari komentar tersebut yang meminta para feminis kulit putih untuk turut menyuarakan keadilan atas kematian Nia sebagaimana yang dilakukan oleh para feminis kulit hitam. 

Banyak feminis kulit putih yang melakukannya, tapi banyak juga yang tersinggung dan menganggap panggilan solidaritas ini sebagai serangan personal atas diri mereka. 

Alih-alih segera bergerak, mereka malah bersikap defensif dan mengemis pengakuan atas kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan pada orang-orang kulit hitam di masa lalu. 

Nah, sikap feminis kulit putih yang defensif, denial dan mengemis pengakuan ini namanya white savior complex. 

Hanya karena berteman, menikah atau selalu bersikap baik dan sopan pada orang-orang kulit hitam, lantas mereka mengklaim diri sebagai pihak yang paling paham dan berjasa bagi orang-orang kulit hitam. 

Ketika ucapan atau tindakan mereka yang menyinggung kelompok marginal dikritik, mereka tidak mau mengakui kesalahan dan malah menuding tindakan para pengkritik sebagai tindakan yang kasar, agresif dan memecah belah. 

Feminisme Semu 

Feminis kulit putih dikritik karena ketidaksadaran mereka akan identitas dan privilese yang dimiliki. Seolah semua perempuan menanggung beban dan tantangan yang sama sehingga memaksakan solusi yang seragam tanpa melihat latar belakang masalah yang lebih besar dan kompleks. 

Mereka lupa bahwa identitas dan privilese yang dimiliki oleh seorang perempuan akan membentuk pengetahuan dan pengalaman yang beragam. 

Orang-orang kulit putih lebih tidak khawatir diteriaki dengan kata-kata rasis atau menjadi korban kekerasan orang tak dikenal di ruang publik. 

Mereka juga tidak perlu khawatir anggota keluarganya menjadi korban brutalitas polisi sebagaimana yang pernah menimpa George Floyd. 

Seandainya terjadi sesuatu yang buruk, mereka mampu membayar premi asuransi kesehatan dan lebih berpeluang mendapat pelayanan kesehatan yang lebih baik. 

Ketika perempuan di beberapa negara mayoritas muslim bisa dihukum penjara karena tidak berjilbab, muslimah di Barat dilarang mengenakannya. Bahkan menganggapnya sebagai bentuk opresi terhadap perempuan. 

Orang-orang dengan identitas gender dan seksual yang tidak tipikal dalam pandangan masyarakat, tidak hanya akan diolok-olok tapi juga lebih rentan mengalami kekerasan. 

Sayangnya, feminisme kulit putih gagal melihat dan merangkul realitas yang terjadi pada kelompok tersebut. 

Wasana Kata 

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, feminisme berkembang agar bisa merespon perkembangan zaman. Oleh karena itu, feminisme yang lebih inklusif perlu terus digaungkan sebagai antitesis atas feminisme kulit putih yang elitis, eksklusif dan Barat sentris. 

Jika feminisme merupakan perjuangan kesetaraan, seharusnya kesetaraan itu hadir untuk semua, terutama untuk kelompok marginal. 

Tidak perlu sok tahu, tidak usah sok paling berjasa, sadar privilese, mau mendengar dan memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh perempuan kelompok marginal, adalah hal sederhana yang mestinya dilakukan oleh orang-orang yang dengan percaya diri melabeli dirinya "feminis". 

Referensi: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun