Gelaran Kompasianival 2022 telah resmi ditutup dengan pengumuman pemenang K-Award untuk tiap kategori pada malam Minggu, 3 Desember kemarin.Â
Dua kali masuk nominasi dan dua kali gagal menjadi juara. Tak apa-apa. Bisa terpilih jadi nomine lagi rasanya sudah luar biasa. Meski saya masih penasaran siapa yang nekat mengajukan nama saya lagi di ajang penghargaan tahunan ini.Â
Saya ucapkan selamat kepada para pemenang atas pencapaiannya. You deserve the best.
Selamat juga untuk para nomine dan seluruh Kompasianer yang selalu menyebarkan manfaat dan kebaikan lewat tulisan-tulisannya. I admire and respect your dedication. Â Â
Jika saya ingin menjadikan penghargaan sebagai tujuan utama, mungkin setelah pengumuman pemenang, saya akan memutuskan untuk berhenti menulis. Syukurlah saya tidak begitu.Â
Jika saya berhenti tentu tidak akan ada yang dirugikan atau merasa kehilangan. Adanya malah saya yang rugi.Â
Saya tidak sepenting dan sespesial itu. Jadi, tidak akan berdampak apa-apa, baik pada Kompasiana maupun Kompasianer.Â
Kalau ditanya kenapa saya masih tetap menulis, dalam hal ini di Kompasiana, jawabannya mungkin bisa berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Namun, setidaknya ini alasan yang saya punya saat ini.Â
Meredam Pergolakan Pikiran Â
Saya adalah orang yang tidak banyak bicara. Namun, pikiran saya berisik bukan main. Saya bisa tampak tenang di luar tapi pikiran selalu bergolak sehingga harus diredam. Dan saya meredamnya dengan menulis. Jika tidak, ketenangan dan ketentraman batin saya yang akan jadi taruhan.Â
Kekuatan Kata-kata
Dulu, saya belum tahu kalau kata-kata bisa punya kekuatan yang sama bahkan lebih dahsyat dari sebutir peluru.Â
Namun, entah kenapa sejak masa peralihan dari anak-anak ke remaja, saya sering punya perasaan tak biasa pada kata-kata. Misalnya, ketika membaca, entah novel, puisi, cerpen atau apapun, saya bisa tiba-tiba berhenti di halaman, paragraf, kalimat bahkan kata tertentu untuk sekadar berimajinasi.Â
Saya sering penasaran bagaimana orang bisa menarik pembaca masuk dalam dunia imajinasi yang dia ciptakan melalui rangkaian kata dalam tulisannya.Â
Jika saya tidak bisa menciptakan dunia imajinasi yang demikian besar, setidaknya saya ingin tulisan-tulisan saya menjadi 'rumah', 'tempat berteduh' atau 'ruang aman', bukan hanya bagi saya tapi juga bagi pembaca. Doakan ya, semoga tulisan saya bisa seperti itu.
Mencatat Pengalaman Perempuan
Setiap perempuan punya ceritanya masing-masing. Yang menghalangi mereka untuk bercerita seringkali adalah rasa malu dan takut. Gimana gak malu dan takut kalau pengalaman perempuan sedikit-sedikit dibenturkan dengan kata 'aib dan 'tabu'?Â
Yang lebih menyedihkan dari pengalaman perempuan adalah ketika perempuan dijauhkan dari kesadaran dan dibungkam suaranya.Â
Perempuan yang mengalami, yang merasakan, yang terkena dampak, tapi dijauhkan dari kesadaran, seolah apa yang terjadi padanya adalah kodrat. Padahal apa yang disebut sebagai 'kodrat perempuan', sebagian besarnya adalah konstruksi sosial.Â
Mau dibilang sebagai aktivisme digital, tentu sangat jauh. Mau dibilang mengedukasi, siapa saya? Anggap saja tulisan saya sebagai curahan isi hati seorang perempuan yang suka galau dan overthinking.Â
***
Sekali lagi, selamat untuk para jawara, nomine dan teman-teman Kompasianer. Senang sekali bisa belajar dari penulis-penulis yang luar biasa.Â
Terima kasih kepada siapapun, terutama teman-teman Komunitas Inspirasiana, yang senantiasa mendukung, mengapresiasi dan menginspirasi saya selama tiga tahun bergabung di Kompasiana.Â
Salam hangat dari saya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI