Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ageisme, Ketika Bekerja Dibatasi oleh Syarat Usia Maksimal

14 November 2022   12:09 Diperbarui: 14 November 2022   15:18 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seorang karyawan muda mendiskusikan project dengan karyawan senior-photo by Andrea Piacquadio from pexels

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ageisme, Anda bisa membaca artikel ini (sila klik) terlebih dulu. 

Ketika kita bicara tentang diskriminasi di dunia kerja, yang dibicarakan biasanya tidak jauh-jauh dari diskriminasi rasial, agama, gender, disabilitas dan orientasi seksual. 

Namun, jenis diskriminasi di dunia kerja yang ini terbilang underrated. Padahal diskriminasi tersebut nyata dan tidak kalah problematik dibandingkan jenis diskriminasi lainnya. 

Jenis diskriminasi ini namanya ageisme atau diskriminasi usia. 

Ageisme biasa terjadi pada orang-orang berusia tua. Namun, tidak menutup kemungkinan ageisme juga bisa terjadi pada anak muda. 

Istilah ageisme dipopulerkan pertama kali oleh seorang gerontolog asal Amerika Serikat bernama Robert Neil Butler pada tahun 1969 melalui sebuah tulisan berjudul Age-ism: Another form of bigotry. 

Dalam tulisannya, Butler memaparkan tiga bentuk ageisme yang sering dialami oleh orang-orang tua. 

Pertama, prasangka yang melahirkan stereotipe. Misalnya, karyawan senior usia 40 tahun ke atas dianggap kolot, keras kepala dan arogan.

Kedua, tindakan diskriminasi. Misalnya, karyawan senior dianggap tidak up to date sehingga tidak dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya kekinian.

Ketiga,  kebijakan institusi swasta maupun pemerintah yang melanggengkan prasangka dan diskriminasi usia melalui rekrutment tenaga kerja yang mensyaratkan usia maksimal.

Ageisme merupakan salah satu hal yang membuat para pencari kerja beranggapan kalau cari kerja di Indonesia itu ribet. 

Persyaratan kerja, termasuk menerapkan batasan usia maksimal sering dianggap tidak masuk akal. Lha wong bukan jenis pekerjaan yang butuh ketahanan fisik macam olahragawan, kok pakai batasan usia. 

Keresahan inilah yang juga ditangkap lalu ditulis oleh Ethenia Novianty Windaningrum di The Jakarta Post melalui artikel berjudul Too old for the job? Stop age discrimination. 

Dalam artikelnya, penulis yang ketika itu sudah tinggal dan bekerja di Denmark selama tiga tahun mengatakan bahwa selama tinggal dan bekerja di sana, ia belum pernah menemukan lowongan kerja yang mematok usia maksimal. 

Penulis juga mengungkapkan bahwa di Denmark ia biasa menemukan pekerjaan-pekerjaan---yang  kalau di Indonesia lazimnya diisi oleh orang-orang muda---diisi pula oleh orang-orang tua. 

Misalnya, ia menemukan banyak laki-laki tua bekerja sebagai petugas kasir sebuah supermarket. Tak sedikit pula ia temukan sopir bis berusia senja. Bahkan ada yang sudah berusia di atas 60 tahun. 

seorang karyawan muda mendiskusikan project dengan karyawan senior-photo by Andrea Piacquadio from pexels
seorang karyawan muda mendiskusikan project dengan karyawan senior-photo by Andrea Piacquadio from pexels

Lantas, apa motivasi suatu instansi atau perusahaan menerapkan batasan usia maksimal untuk posisi tertentu? 

Selain stereotipe dan prasangka, ageisme dalam dunia kerja lahir karena adanya ekspektasi sosial terhadap orang-orang pada jenjang usia tertentu. 

Misalnya, usia 22-24 tahun dianggap sebagai usia ideal seorang fresh graduate. Itu sebabnya, lowongan kerja untuk posisi staf atau entry level, rata-rata batas usia maksimalnya tidak lebih dari 30 tahun. 

Sementara usia di atas 30 atau 35 tahun, seorang pekerja dianggap sudah punya karier yang stabil dan mapan. Di usia itu juga, pekerja dianggap sudah menikah dan memiliki anak. 

Pertanyaan saya, bagaimana jika ada seseorang yang dalam hal pekerjaan dan karier tidak memenuhi standar usia ideal sebagaimana saya sebutkan di atas? 

Misalnya, alih-alih lulus kuliah sarjana di usia 22-24 tahun, orang tersebut baru lulus di usia 26 tahun. Atau ada orang berumur 30 tahun--yang katakanlah di usia tersebut idealnya dia sudah di level supervisor--tapi apply posisi management trainee. 

Padahal mereka yang telat lulus kuliah belum tentu karena malas. 

Ada yang gap year setelah lulus SMA sehingga masuk dan lulusnya pun lebih lambat dari teman-teman seangkatannya. Ada yang kuliahnya tersendat karena masalah biaya. 

Mereka yang baru memulai kariernya di usia 30 tahun tidak bisa sesederhana itu dihakimi sebagai orang yang tidak kompeten, pemalas, tidak punya target yang jelas, tidak mampu berkompetisi dan sebagainya. 

Bagi pekerja perempuan, hal seperti ini sangat mungkin terjadi. 

Ada yang setelah lulus kuliah kemudian bekerja barang satu dua tahun lalu berhenti lantaran ingin fokus mengurus rumah tangga. Baru kemudian ingin bekerja kembali setelah anaknya berhenti ASI atau sudah masuk TK. 

Ada yang awalnya ibu rumah tangga, tapi karena perceraian atau suami meninggal, harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan. 

Ada juga yang setelah lulus kuliah tapi tidak langsung bekerja karena sedang membangun komunitas atau aktif di kegiatan volunteering. Salah seorang kakak tingkat yang saya kenal ada lho, yang seperti ini. 

Selain di dunia kerja, batasan usia maksimal juga ada yang diberlakukan dalam seleksi beasiswa. Misalnya, usia maksimal 35 tahun untuk S2 dan maksimal 40 tahun untuk S3. 

Mengapa orang mau menimba ilmu mesti dihalangi batasan usia? 

Sebagai orang yang menganut paham "pembelajar seumur hidup", melarang orang belajar dengan dalih sudah lewat batasan usia maksimal adalah suatu kejahatan. 

Dan inilah salah satu alasan Indonesia hanya punya sedikit doktor dan guru besar perempuan. 

Dampak Negatif Ageisme 

Mengutip dari medicalnewstoday.com, ageisme punya dampak serius terhadap kesehatan, seperti menurunkan kesehatan fisik, mental dan kualitas hidup seseorang seiring bertambahnya usia. 

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, Amerika Serikat (AS) menghabiskan biaya miliaran dolar per tahun untuk menangani masalah kesehatan penduduknya akibat ageisme. 

Keadaannya akan lebih parah pada individu yang sudah pensiun, kehilangan pasangan atau tidak bisa lagi bekerja karena menderita penyakit atau cacat. Oleh karena itu, seiring dengan meningkatnya jumlah orang dewasa tua, ageisme menjadi isu yang sangat penting di negeri Paman Sam. 

Sementara itu, di dunia kerja, yang makin lama menghadapi tantangan yang tidak mudah, merangkul keberagaman hukumnya wajib jika perusahaan ingin survive dan sustainable. 

Kreativitas, produktivitas, sense of belonging para karyawan akan lebih mudah tumbuh di lingkungan yang inklusif, supportif dan menjunjung nilai-nilai kesetaraan. 

Efeknya, meski secara tidak langsung dan dalam jangka panjang, akan memengaruhi profitabilitas perusahaan juga. Dan diskriminasi dalam bentuk apapun, termasuk ageisme, akan menghambat kemajuan perusahaan itu sendiri. 

Karyawan milenial dan gen Z boleh dibilang lebih canggih soal pengetahuan dan kemampuan teknologinya. Mereka boleh jadi lebih paham, peka dan terbuka dengan isu-isu kekinian bahkan yang sensitif dan tabu. 

Kita yang muda mungkin lebih pintar, tapi orang-orang tua telah hidup lebih lama dan lebih banyak pengalaman. Tanpa bimbingan dari karyawan senior yang bijak atau kemauan belajar dari mereka, anak-anak muda bakal rentan kesasar. 

Jika kemampuan dan pengalaman adalah pertimbangan utama dalam merekrut tenaga kerja, masihkah batasan usia maksimal diperlukan sebagai syarat? Tidak cukupkah kalau yang diterapkan hanya batas usia minimal saja? 

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun