Selain sandang, pangan dan papan, kesehatan juga termasuk kebutuhan dan hak dasar setiap masyarakat yang seharusnya dapat dipenuhi dan dijamin oleh negara. Oleh karena itu, untuk mendukung sistem layanan kesehatan nasional yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, ketersediaan sarana dan prasarana serta tenaga kesehatan sangat krusial.
Mengutip dari katadata.com, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa kebutuhan dokter di Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 1 dokter per 1.000 penduduk.Â
Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, kebutuhan dokter di Indonesia seharusnya sekitar 270 ribu. Namun, baru tersedia 140 ribu saja.
Sementara itu, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tahun per 2021 yang dikutip dataindonesia.id mencatat jumlah dokter spesialis di Indonesia ada 41.891 orang. Keberadaannya pun cenderung terpusat di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar.
Pada tahun 2020, jumlah dokter spesialis di rumah sakit (RS) di DKI Jakarta ada 6.775 orang dan merupakan yang terbanyak dibandingkan provinsi lainnya. Baru berikutnya disusul oleh Jawa Barat dengan 5.711 dokter spesialis di urutan kedua dan Jawa Timur dengan 5.554 dokter spesialis di urutan ketiga.
Kondisi tersebut begitu timpang di tiga provinsi dengan jumlah dokter spesialis paling sedikit, yaitu di Sulawesi Barat dengan 102 dokter spesialis dan Maluku Utara serta Papua Barat dengan jumlah masing-masing 94 dokter spesialis.
Dengan jumlah lulusan dokter yang berjumlah 12 ribu per tahun, Indonesia membutuhkan setidaknya 10 tahun lagi untuk dapat memenuhi standar WHO.
Padahal jumlah penduduk terus bertambah dan kemungkinan akan munculnya penyakit-penyakit baru di kemudian hari, otomatis membuat kebutuhan akan ketersediaan dokter, terutama dokter spesialis ikut bertambah.
Terlebih lagi, di Indonesia yang merupakan negara tropis, ketersediaan dokter spesialis penyakit tropik begitu penting. Begitu pula dengan dokter spesialis penyakit jantung dan kardiovaskular, di mana penyakit ini menduduki peringkat pertama dan penyebab kematian paling tinggi di Indonesia.
Akibat minimnya jumlah dokter spesialis dan persebarannya yang tidak merata, masyarakat Indonesia yang ber-uang lebih memilih berobat ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia atau Jepang. Hal ini memberikan keuntungan berupa devisa bagi negara tersebut sebesar US$ 6 miliar atau setara Rp 100 triliun per tahun.