Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bagaimana Generasi Milenial Memandang dan Memaknai Pekerjaan?

21 Oktober 2022   17:11 Diperbarui: 22 Oktober 2022   00:25 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
grafik lingkaran alasan milenial bekerja-tangyar hasil survei Deloitte tahun 2019 hal.34

Malas, mudah bosan, tidak bisa menghargai proses dan "kutu loncat" adalah stereotip yang kerap dilekatkan pada generasi milenial di dunia kerja. 

Para profesional yang berusia lebih tua kerap mengeluh tentang sikap karyawan generasi ini yang dianggap tidak disiplin, tidak serius dan tidak loyal pada perusahaan. Baru bekerja setahun sudah pindah ke tempat lain. Kadang ada yang hanya bertahan kurang dari setahun. Kenapa sih mereka seperti itu? 

Generasi milenial adalah generasi yang akan menjadi angkatan kerja terbesar. Data BPS tahun 2016 menunjukkan dari 160 juta total angkatan kerja di Indonesia, hampir 40% nya atau sebesar 62,5 juta merupakan generasi milenial. 

Jumlah ini menjadi yang terbesar kedua setelah generasi X dengan 69 juta jiwa. Sementara generasi baby boomer tersisa 28,7 juta. 

Karakteristik generasi milenial yang berbeda dengan generasi X dan baby boomer telah memberikan warna baru dalam dunia kerja. Mau tidak mau, suka tidak suka, kehadiran mereka turut mengubah cara, sistem dan budaya kerja di banyak perusahaan. 

Sebenarnya, karyawan generasi milenial itu tidak seburuk yang distereotipkan. Alih-alih bersikap sinis, mari mengenal dulu karakteristik dan cara milenial memandang serta memaknai pekerjaan. 

Tidak Peduli Hierarki dan Birokrasi 

Bagi milenial, hierarki atau struktur organisasi hanya formalitas atas keabsahan suatu perusahaan. Mereka juga lebih percaya pada perusahaan yang tidak terlalu birokratis tapi akuntabilitasnya jelas dan transparan. 

Dalam bekerja, mereka menyukai keterbukaan dan umpan balik (feedback) sehingga dapat dengan bebas mendiskusikan ide-idenya, baik dengan rekan kerja maupun atasan. 

Berkontribusi Pada Dunia Melalui Pekerjaan dan Organisasi 

Menurut teori Abraham Maslow tentang kepuasan kerja, dasar dari kebutuhan manusia bekerja adalah uang (penghasilan), kemudian diikuti oleh rasa aman. 

Jika kebutuhan fisiknya sudah mapan, orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Karena tempat kerja adalah arena sosial, kebutuhan sosial akan membantu seseorang dalam menemukan makna kerjanya. 

Oleh karena itu, milenial tidak segan mengkritik organisasi yang hanya fokus mengejar profit tapi tidak memberi kontribusi apapun bagi lingkungan dan sesama. 

Organisasi yang punya misi sosial, etika bisnis dan core value yang sesuai dengan nilai atau pandangan hidup individu akan membuatnya lebih bangga pada pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja. 

ilustrasi pekerja milenial | photo by fauxels from pexels
ilustrasi pekerja milenial | photo by fauxels from pexels

Survei Deloitte tahun 2018 menunjukkan ada perbedaan dan kesenjangan antara ekspektasi milenial mengenai apa yang seharusnya diprioritaskan oleh perusahaan dengan yang selama ini lebih diprioritaskan perusahaan. 

Hal-hal yang menjadi ekspektasi milenial tersebut, seperti memberikan pekerjaan bagi masyarakat, peningkatan kualitas hidup masyarakat (misalnya, mengedukasi, menginformasikan atau mempromosikan gaya hidup sehat dll), inovasi dan pengembangan, peningkatan kemampuan dan kesejahteraan karyawan serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. 

Namun, pada kenyataannya yang lebih diprioritaskan oleh perusahaan antara lain profit, efisiensi dan produksi serta penjualan produk atau jasa. 

grafik perbedaan antara ekspektasi milenial dan prioritas perusahaan-tangyar dari laporan survei Deloitte hal.30 
grafik perbedaan antara ekspektasi milenial dan prioritas perusahaan-tangyar dari laporan survei Deloitte hal.30 

Selain itu, citra atau reputasi perusahaan juga menjadi pertimbangan penting bagi milenial. 

Ketika suatu perusahaan terindikasi punya citra yang buruk, seperti perusahaan yang dalam menjalankan bisnisnya kerap melakukan perusakan hutan, bagi milenial ini sudah nilai minus. 

Hal itu tampak dalam survei yang dirilis oleh pwc.com terhadap 4.364 responden di 75 negara tentang sektor-sektor industri yang cenderung dihindari oleh milenial karena citranya yang negatif. 

Lima besar teratas ditempati oleh sektor minyak dan gas (14%), pertahanan (12%), jasa asuransi (12%), pemerintahan dan pelayanan publik (11%) dan industri kimia (11%). 

grafik sektor industri yang dihindari milenial-tangyar laporan survei pwc hal.15
grafik sektor industri yang dihindari milenial-tangyar laporan survei pwc hal.15

Saya memahami bahwa setiap organisasi bisnis pasti ingin mendapat untung agar bisnisnya bisa terus berjalan. 

Namun, seiring dengan adanya kesadaran dunia bisnis global yang mulai bergerak ke arah sustainability atau bisnis yang berkelanjutan, profit saja tidak cukup. Butuh ditambah 2P lagi, yaitu people dan planet. 

Kebiasaan mengakses media sosial juga telah membuat para milenial lebih aware terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. 

Dengan demikian, perusahaan yang memiliki kesadaran dan kepedulian yang sama dengan mereka, tentu akan memberikan daya tarik tersendiri. 

Bekerja Bukan Hanya Demi Uang

Adalah hal yang wajar bila orang bekerja dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan. 

Karyawan milenial, sebagaimana karyawan pada umumnya memang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, gaji bukan satu-satunya alasan yang mendasari milenial untuk bekerja atau bertahan di suatu perusahaan. 

Sebuah survei dengan responden terbatas yang dilakukan oleh Deloitte Indonesia dalam rentang waktu Februari-Maret 2019 terhadap 100 responden dengan menggunakan Google Form dan tautan yang disebar melalui pesan WhatsApp dilakukan untuk melihat pandangan kaum milenial mengenai dunia kerja. 

Secara garis besar terdapat beberapa komponen terkait alasan bekerja, antara lain tujuan dan motivasi bekerja, durasi bekerja di suatu tempat, harapan tentang tempat kerja, tempat konsultasi tentang pekerjaan dan pemahaman tentang industri 4.0. 

Hasil survei menunjukkan sebanyak 30,30% responden memprioritaskan bekerja sebagai kesempatan mencari pengalaman dan 27,27% ingin memperoleh penghasilan yang bagus. 

grafik lingkaran alasan milenial bekerja-tangyar hasil survei Deloitte tahun 2019 hal.34
grafik lingkaran alasan milenial bekerja-tangyar hasil survei Deloitte tahun 2019 hal.34

Lalu, faktor remunerasi juga bukan hal utama yang menyebabkan karyawan milenial betah bekerja di suatu kantor. 

Faktor utamanya justru pada apresiasi atas ide dan hasil kerja dengan persentase sekitar 83% responden. 

Berikutnya, di urutan kedua adalah suasana kantor yang menyenangkan dengan 69% responden, diikuti dengan fleksibilitas waktu dan tempat (61%) dan komunikasi yang fleksibel atau tidak bersifat birokratis (60%). 

grafik faktor yang membuat milenial betah bekerja di suatu kantor-tangyar hasil survei Deloitte tahun 2019 hal.36
grafik faktor yang membuat milenial betah bekerja di suatu kantor-tangyar hasil survei Deloitte tahun 2019 hal.36

Keberagaman di Tempat Kerja Itu Penting

Bagi milenial, bekerja di perusahaan yang dapat menghargai keberagaman, inklusivitas dan kesetaraan adalah impian. 

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Gallup, terdapat tiga perbedaan cara pandang antara generasi milenial dengan generasi sebelumnya terkait keberagaman di tempat kerja, yaitu kesadaran akan berbagai perspektif, gaya hidup dan pilihan; keterbukaan untuk berdiskusi mengenai topik-topik yang sensitif dan idealisme tentang dunia dan tempat kerja di mana suara setiap orang didengarkan dan dihargai. 

Pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman dan inklusivitas inilah yang kelak akan mendorong terjadinya perubahan dalam dunia kerja modern. 

Karyawan milenial tidak lagi memandang keberagaman sebagai tantangan atau ancaman, tapi menganggapnya sebagai harapan di mana setiap orang dapat mengekspresikan ide, sudut pandang dan otentisitas dirinya tanpa takut dihakimi atau diintimidasi. 

Penutup 

Meski generasi milenial di dunia kerja kerap mendapat stereotip negatif, sebenarnya mereka punya perspektif yang luas tentang makna bekerja. Bagi milenial, bekerja tidak hanya untuk memperoleh penghasilan agar dapat bertahan hidup. 

Pekerjaan yang mereka lakoni, selain mendatangkan uang, juga harus bisa memfasilitasi mereka untuk berkembang sebagai manusia yang utuh. Lebih bagus lagi jika pekerjaan itu dapat membuat mereka untuk turut berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih baik. 

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun