Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ruang Laktasi: Kebutuhan Ibu Menyusui dan Solusi atas Breastfeeding Shaming

10 Oktober 2022   16:54 Diperbarui: 11 Oktober 2022   05:11 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberian ASI eksklusif pada usia 0-6 bulan merupakan hal penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi. 

Namun, niat dan komitmen seorang ibu untuk memberikan ASI eksklusif pada bayinya juga perlu dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pasangan, orangtua, mertua, sesama perempuan atau ibu, lingkungan kerja sampai negara. 

Salah satu bentuk dukungan tempat kerja dan pemerintah bagi mereka adalah penyediaan ruang laktasi. 

Hal ini merupakan amanat konstitusi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui beserta standarnya. 

Sayangnya, belum semua tempat kerja dan fasilitas publik menyediakan ruang laktasi. Kalaupun ada, kondisinya masih belum memenuhi standar kelayakan. 

Hal ini misalnya tampak dari hasil riset yang dimuat dalam Women's Health Science Journal yang menunjukkan bahwa pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta memang sudah menyediakan ruang laktasi, tapi hanya 50% yang memenuhi standar. 

ilustrasi ruang laktasi-source: Wikipedia English
ilustrasi ruang laktasi-source: Wikipedia English

Ketersediaan ruang laktasi yang belum merata membuat para ibu seringkali harus menyusui atau memompa ASI di musala, gudang, toilet atau tempat-tempat sempit yang membuat mereka tidak nyaman. 

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa hanya 21,5% ibu pekerja di Indonesia yang memiliki akses fasilitas ruang laktasi yang layak dan hanya 7,5% pekerja yang beruntung mendapatkan dukungan atau program pendidikan laktasi yang memadai dari perusahaan tempatnya bekerja.

Di samping untuk mendukung pemberian ASI eksklusif, keberadaan ruang laktasi juga sebagai solusi atas breastfeeding shaming yang kerap menimpa ibu-ibu yang menyusui anaknya di ruang publik. 

Bentuk-bentuk breastfeeding shaming antara lain berupa tatapan jijik atau mengintimidasi, dianggap tidak sopan, diminta berhenti menyusui atau pindah ke tempat lain dan dilecehkan. Di media sosial, para ibu yang membagikan momen sedang menyusui bayinya juga tak luput dari komentar-komentar bernada seksual. 

Lalu, bagaimana jika bayinya haus dan lapar di tempat umum dan tidak tersedia ruang laktasi di sekitar tempat tersebut? 

Sebenarnya, menyusui di ruang publik adalah hal yang normal dalam banyak budaya di berbagai belahan dunia. Hal itu karena menyusui dianggap bukan aktivitas seksual, meski dalam hal ini perempuan menampakkan organ seksualnya (baca: payudara). 

Mengutip dari Journal of Pediatric & Neonatal Care, beberapa negara memiliki aturan dan ketentuan yang berbeda-beda terkait menyusui di ruang publik. 

Di Inggris Raya, perlindungan terhadap ibu menyusui di ruang publik diatur dalam Sex Discrimination Act 1975 dan Equality Act 2010. 

Belanda punya undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang penyusuan di tempat kerja, di mana pemberi kerja wajib menyediakan ruang laktasi yang layak untuk 9 bulan pertama setelah kelahiran dan menjamin 25% dari jam kerja karyawan tersebut digunakan untuk menyusui. 

Negara-negara Skandinavia dengan tingkat kesetaraan gendernya yang termasuk terbaik di dunia, serius mengkampanyekan pentingnya laktasi dan masyarakat tidak mempermasalahkan ibu-ibu yang menyusui di ruang publik. 

Di Amerika Serikat, aturan terkait laktasi berbeda antar negara bagian. Saat ini, setidaknya telah ada 34 negara bagian yang memiliki undang-undang yang jelas terkait menyusui di ruang publik. 

Di Asia, setiap negara memiliki keunikan budaya dan kehidupan keagamaan yang memengaruhi pandangan dan sikap masyarakatnya tentang penyusuan di ruang publik. 

Di Israel, Bangladesh, Iran, dan Yordania, perempuan dapat menyusui tanpa pembatasan. 

Di Filipina, menyusui di ruang publik tidak dilarang, tapi berisiko dianggap tidak etis apabila payudara terlihat oleh orang lain. 

Meski Pakistan punya aturan ketat terkait memperlihatkan bagian tubuh tertentu (terkait dengan penerapan syariat Islam), mereka masih dapat menerima dan menghormati perempuan yang menyusui di ruang publik asal dilakukan secara diam-diam. 

Nah, bagaimana dengan di Indonesia? 

Seingat saya, selama ini saya belum pernah menemukan pemandangan seperti itu di tempat umum. 

Saya juga tidak tahu apakah ada perbedaan pandangan antara masyarakat kota dengan desa atau budaya dan kebiasaan masyarakat tertentu terkait hal ini. Kalau ada yang paham, boleh beritahu di kolom komentar. 

Kalau normal dan dilindungi undang-undang, mengapa masih ada breastfeeding shaming? 

Pertama, seksualisasi payudara perempuan 

seksualisasi terhadap payudara perempuan memicu breastfeeding shaming-photo by alina matveycheva from pexels
seksualisasi terhadap payudara perempuan memicu breastfeeding shaming-photo by alina matveycheva from pexels
Dalam budaya Barat, mulai abad ke-19, payudara perempuan lebih dominan digambarkan dari sisi fungsi seksualnya dibandingkan fungsi biologisnya. 

Hal itu sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh male gaze yang lazim digunakan dalam industri hiburan dan iklan. 

Male gaze sendiri adalah kondisi di mana perempuan di media dilihat dari sudut pandang laki-laki. Di sinilah perempuan diposisikan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. 

Contoh penerapannya yang khas dalam film adalah bidikan close-up kamera yang mengarah dan terpaku pada tubuh perempuan. Biasanya difokuskan pada bagian tubuh yang dianggap menggoda, terutama payudara dan terus ke bawah ke area pinggul. 

Namun, seksualisasi payudara perempuan bukan hanya ada dalam budaya Barat yang dilanggengkan melalui produk hiburan dan iklan. Lebih tepatnya, pandangan ini mengakar dalam masyarakat patriarki yang mewajarkan objektifikasi atas tubuh perempuan. 

Itu sebabnya, meski sudah dijamin undang-undang, perempuan yang menyusui di ruang publik masih mungkin mendapat perhatian seksual atau tatapan mengintimidasi. Apa yang dilakukannya seolah dianggap sama dengan pornografi. 

Kedua, seksisme 

Hal ini merupakan bagian dari benevolent sexism. 

Benevolent sexism mungkin tidak nampak seperti seksisme biasa yang penuh prasangka, stereotipe atau diskriminasi terhadap perempuan. Ia lebih kepada mengatur agar perempuan berperilaku sesuai dengan peran dan stereotipe gender tradisional. 

Perempuan yang baik, menurut peran dan stereotipe gender tradisional, diidentikkan dengan sikap lembut, penyayang, ramah, keibuan dan sopan santun. Oleh karena itu, menyusui di ruang publik dianggap tidak mencerminkan perilaku perempuan yang baik dan sopan

Ketiga, tidak familiar dengan budaya atau kebiasaan perempuan menyusui di depan umum 

Penutup 

Perlu diingat bahwa payudara perempuan bukan hanya objek seksual. Lebih dari itu, payudara perempuan memiliki fungsi dan peran biologis yang memberi kehidupan pada anak manusia. 

Jika suatu saat Anda menemukan perempuan menyusui di tempat umum atau tempat terbuka, tidak perlu diperhatikan karena itu bisa membuatnya tidak nyaman. 

Jika Anda yang merasa tidak nyaman, alihkan pandangan ke tempat lain. 

Ketersediaan ruang laktasi yang memenuhi standar kelayakan, baik di tempat kerja, pusat perbelanjaan, taman, tempat wisata dan fasilitas publik lainnya, bukan hanya untuk mendukung komitmen ibu dalam memberikan ASI eksklusif. Itu adalah hak setiap ibu untuk bisa menyusui atau memerah ASI dengan aman dan nyaman serta tetap mampu beraktivitas di ruang publik dengan leluasa. 

Referensi: 1, 2, 3, 4 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun