Dalam ajaran Islam misalnya, disebutkan bahwa suami istri itu seperti pakaian bagi satu sama lain (Surat Al-Baqarah ayat 187), yang kerap dimaknai sebagai kewajiban untuk saling menutup aib pasangan.Â
Yang jadi masalah adalah ketika ayat ini dimaknai secara mentah untuk menutupi perilaku KDRT. Padahal ajaran Islam tidak menghendaki adanya kesulitan dan kemudharatan pada umatnya.
Begitu pula dengan perceraian. Islam juga membenci perceraian, tapi bukan berarti diharamkan.
Nah, di masyarakat kita yang patriarkis, perempuan adalah kunci keutuhan rumah tangga.Â
Setoksik apapun rumah tangganya, seblangsak apapun suaminya, perempuan diminta untuk sabar dan bertahan. Alasannya demi kebaikan anak-anak agar mereka tetap punya bapak.Â
Jika rumah tangga bubar dan perempuan tersebut jadi janda, si perempuan bakal jadi omongan orang. Dianggap bikin malu keluarga dan tidak becus mengurus rumah tangga.
Ketiga, ketergantungan finansial
Keputusan paling rasional yang seharusnya dilakukan oleh perempuan korban KDRT adalah bercerai. Namun, seringkali keputusan itu tidak diambil karena takut kehilangan sumber nafkah.Â
Hal ini sering sekali menimpa ibu-ibu rumah tangga yang menjadi korban KDRT. Apalagi kalau anak-anak masih kecil atau masih sekolah, siapa yang akan membiayai pendidikan mereka?
Parahnya lagi, sudah tahu istri tidak bekerja dan berpenghasilan (entah kesepakatan sejak awal istri jadi ibu rumah tangga atau setelah menikah diminta berhenti dari pekerjaannya), seluruh keuangan rumah tangga dikontrol suami dan istri tidak punya tabungan sama sekali. Jadi, istri sulit untuk meminta cerai karena dia sengaja dibuat bergantung secara finansial oleh suami.
Keempat, takut dengan ancaman pasangan
"Kalau kamu minta cerai, emang siapa yang bakal ngasih makan kamu?"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!