Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kekerasan dalam Dunia Pendidikan, Maskulinitas Toksik dan Fenomena "Negeri Tanpa Ayah"

12 September 2022   14:11 Diperbarui: 22 September 2022   10:19 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perundungan pada anak sekolah-photo by Mikhail Nilov from pexels

Baru-baru ini, kita dikejutkan kembali dengan kabar kekerasan yang berujung pada meninggalnya santri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), Ponorogo, Jawa Timur. Santri berinisial AM tersebut diduga meninggal dunia akibat dianiaya oleh seniornya. 

Sang ibu yang diberitahu bahwa AM meninggal akibat kelelahan setelah berkemah merasa curiga kalau ada yang ditutup-tutupi dari kematian anaknya. Hal itu lantaran kain kafan sang anak yang sampai harus diganti karena ada darah merembes pada kain kafannya. 

Kasus kekerasan merupakan salah satu aib dan dosa yang mencemari iklim akademis dunia pendidikan kita. Institusi pendidikan yang sejatinya tempat untuk mendidik dan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seolah tak lebih dari sarang penjahat. 

Bukan hanya di sekolah asrama, sekolah non asrama pun tidak luput dari adanya kasus kekerasan. Mulai dari perundungan, tawuran antar pelajar hingga pelecehan seksual. 

Bicara tentang kekerasan dalam dunia pendidikan biasanya kita akan mengaitkan atau berkutat pada sistem atau aturan. Namun sebenarnya hal ini bisa kita tarik jauh lebih dalam lagi ke maskulinitas toksik yang entah sadar atau tidak telah ditanamkan sejak usia dini dan ketidakterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. 

Bagaimana relasi antara ketiganya? 

Sebelum sampai ke sana, mari kita pahami dulu apa itu maskulinitas toksik. 

ilustrasi laki-laki yang melakukan kekerasan merupakan contoh maskulinitas toksik-photo by Timur Weber from pexels
ilustrasi laki-laki yang melakukan kekerasan merupakan contoh maskulinitas toksik-photo by Timur Weber from pexels

Maskulinitas toksik adalah istilah yang merujuk pada dampak negatif dari sikap berpegang teguh pada karakteristik maskulin, ditambah dengan penekanan pada kejantanan yang didefinisikan sebagai kekerasan, seks, status, dominasi, ketangguhan dan agresi. 

Pada dasarnya, setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai sifat-sifat maskulin dan feminin dalam dirinya. 

Sifat-sifat feminin antara lain meliputi sifat lemah lembut, penyayang, penyabar, empatik dan sebagainya. Sementara yang termasuk sifat-sifat maskulin antara lain kuat, tegas, berani, rasional, berjiwa pemimpin dan sebagainya. Kedua karakteristik ini sama baiknya. 

Namun, ketika laki-laki selalu dituntut untuk menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma "laki-laki lemah" atau perempuan yang selalu dituntut untuk menunjukkan feminitas agar tidak dicap sebagai "perempuan kebablasan dan tak tahu adat", disinilah maskulinitas dan feminitas berubah menjadi toksik. 

Pernah dengar orangtua memarahi atau mengatai anak laki-lakinya "cengeng" karena si anak menangis? 

Mungkin orangtua tersebut bermaksud baik ingin mendidik anak laki-lakinya untuk menjadi anak yang kuat, percaya diri dan berani.

Namun, kadang mereka lupa kalau laki-laki juga manusia yang memiliki perasaan sehingga wajar apabila dia menangis karena sedih, terharu, kesakitan atau merasa dirinya sedang tidak baik-baik saja. 

Alih-alih menanyakan penyebab anak menangis atau mengajarkannya cara mengekspresikan emosi negatif dengan sehat, perasaan mereka tidak divalidasi. 

Dalam pola asuh yang mengajarkan maskulinitas toksik, laki-laki ditabukan untuk menangis dan berkeluh kesah karena itu adalah tanda kelemahan. Mereka hanya boleh mengekspresikan kekuatan, keberanian, ketangguhan, wibawa, kekuasaan dan amarah. 

Karena tidak pernah dilatih untuk mengekspresikan emosi negatif secara sehat, ketika laki-laki merasa malu, tersinggung atau terluka, solusi yang ditempuh adalah dengan kekerasan. 

Cemburu karena istri/pacar tampak akrab dengan laki-laki lain, istri/pacarnya dipukuli. Tim sepak bola yang dijagokan kalah, baku hantam dengan pendukung tim lawan. Ditagih utang tetangga, bukannya dibayar malah tetangganya dilempar parang. 

Laki-laki pengidap maskulinitas toksik memang lebih suka menyelesaikan masalah pakai otot (baca: menormalisasi kekerasan) daripada pakai otak. Boro-boro bisa berdiskusi secara elegan, intelek dan beradab, lha wong yang dikedepankan adalah ego dan emosi. 

Maskulinitas toksik juga suka mewajarkan perilaku-perilaku buruk yang dilakukan oleh laki-laki bahkan menganggapnya keren. Misalnya, merisak orang lain yang secara fisik lemah dan berbeda atau yang secara status sosial dan ekonomi lebih rendah, menganggap cupu sesama murid laki-laki yang tidak mau ikut tawuran dengan anak SMA sebelah dan sebagainya. 

Lalu, apa pula itu fenomena "negeri tanpa ayah" (fatherless country phenomenon)? 

Sebagaimana dikutip dalam cnnindonesia.com, Indonesia menempati urutan ke-3 dunia sebagai negara dengan anak-anak tanpa ayah (fatherless country) terbanyak. 

Menurut psikolog Amerika, Edward Elmer Smith, yang dimaksud dengan fatherless adalah hilangnya peran ayah di rumah, baik secara fisik maupun psikologis. Sementara fatherless country adalah negara dengan peran ayah yang minim. 

Kementerian Sosial mencatat, sampai saat ini jumlah anak yatim piatu di Indonesia sekitar 4.043.622 anak.

Jumlah ini mengalami peningkatan hingga mencapai lebih dari 32.216 anak (pada tahun 2022) karena kematian orangtua akibat Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 silam. 

Itu yang memang fatherless secara fisik. Bagaimana dengan jumlah anak yang fatherless secara psikologis? 

Sayangnya, data dan penelitian yang berkaitan dengan fenomena fatherless di Indonesia masih sangat jarang dan terbatas.

Isu fatherless country merupakan masalah global yang terjadi di mana-mana. 

Di negara Barat, sebab utama fenomena fatherless adalah ayah dan ibu yang tidak menikah (unmarried fathers and mothers), di mana kebanyakan anak tersebut hanya hidup dengan ibunya.

Sementara di Indonesia, kebanyakan terjadi pada orangtua yang masih terikat pernikahan tapi tugas pengasuhan anak tidak dipenuhi oleh ayah. Contohnya, ayah terlalu sibuk bekerja dan sering bepergian ke luar kota serta tidak menjadikan keluarga sebagai prioritas sehingga anak kurang dekat atau tidak mendapat kasih sayang serta didikan yang cukup dari ayahnya. 

Mengapa ada fenomena fatherless country? 

Di Indonesia dan di banyak negara lain, hal ini erat kaitannya dengan peran gender tradisional yang hanya menimpakan tanggung jawab pengasuhan anak di tangan ibu, sedangkan tanggung jawab ayah hanya sebagai pencari nafkah. Padahal sosok dan peran ayah dalam pengasuhan anak bermanfaat dalam beberapa aspek khusus berikut. 

Misalnya, karakteristik ayah yang cenderung less protective dibandingkan ibu akan membuat anak untuk lebih berani bereksplorasi dan mengambil risiko. 

Sebagai laki-laki yang cenderung lebih mengedepankan rasionalitas, ayah juga dapat melatih anaknya untuk menggunakan pendekatan rasional dalam menyelesaikan suatu masalah. Dengan demikian, ketika dihadapkan pada suatu konflik, anak akan terlatih untuk tidak sedikit-sedikit pakai kekerasan apalagi main keroyokan. 

Jika dalam proses pengasuhan ibu mengajarkan tentang kelembutan, ayah mengajarkan tentang ketegasan. Ketegasan inilah yang akan melindungi anak sehingga ia tahu bagaimana membuat batasan diri, berkomunikasi asertif dan membela diri atau orang lain ketika hak-haknya dilanggar. 

Sementara itu, anak yang mengalami fatherless, rata-rata cenderung punya rasa percaya diri yang rendah, menarik diri dari kelompok sosial, rentan terlibat penyalahgunaan narkoba, rentan menjadi pelaku tindak kriminal dan kekerasan dan sebagainya. 

Kesimpulan 

Mungkin tulisan ini tampak seperti cocoklogi bagi Anda. 

Namun, apa yang membentuk pribadi seorang anak hingga ia dewasa kelak, tentu tidak lepas dari peran pola asuh orangtua bukan? 

Anak yang menjadi pelaku kekerasan di sekolah bukan melulu karena aturan sekolahnya yang kurang tegas atau guru-gurunya yang tidak bisa menangani anak nakal atau sistem pendidikan Tanah Air yang hanya mengedepankan pengajaran pada aspek kognitif tapi abai pada pendidikan moral dan spiritual. 

Mari kita kembalikan dulu masalah kekerasan ini ke pendidikan di rumah. 

Apakah sejak kecil anak sudah mendapat pelajaran tentang kekerasan? Misalnya, anak yang dituntut untuk harus selalu menunjukkan sisi maskulinitas (yang akhirnya jadi toksik), anak yang sering menerima atau melihat kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. 

Lalu, bagaimana dengan kehadiran ayah, baik secara fisik maupun psikologis dalam pengasuhan anak? 

Apakah di sela kesibukan, ayah masih sempat bermain dan berbicara bersama anak atau urusan anak dari A sampai Z hanya dibebankan pada ibunya? 

Semoga bisa dipahami

Referensi: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun