Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beranikah Kita Mempertanyakan Kebenaran dari Pengetahuan yang Kita Yakini?

12 Agustus 2022   12:05 Diperbarui: 12 Agustus 2022   12:12 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo by Markus Winkler from pexels

"Ibu memasak, ayah membaca koran."

Masih ingat kalimat ini (atau yang serupa) dalam pelajaran bahasa Indonesia zaman SD dulu? Nah, bagaimana kalau ada siswa yang membuat kalimat sebaliknya, "Ayah memasak..."?

Apa dia patut disalahkan karena dianggap menyalahi teori? Bisa saja kan, dia hanya menunjukkan realita di rumahnya bahwa ayahnya memang biasa memasak makanan untuk orang-orang serumah.

Bagaimana kalau tugas memasak, beberes dan mencuci biasa dilakukan bersama atau gantian antara ayah dan ibu? Atau bagaimana jika yang mengerjakan tugas-tugas rumah tangga itu adalah ART?

Baiklah, mungkin Anda pikir saya lebay dan overthinking. Namun, kasus seperti itu betulan ada.

Atau ketika guru mengajarkan bahwa "kucing makan tikus", tapi ada murid yang tidak sependapat karena nyatanya kucing peliharaannya gak doyan makan tikus. Boro-boro doyan, lihat aja takut.

Alhasil, karena jawaban tidak sesuai dengan yang diajarkan, jawabannya disalahkan.

Sampai di sini saya bisa memahami mengapa ada orang membenci sekolah (bukan pendidikan). Lha, buat apa susah-susah sekolah kalau kreativitas dan nalar kritis kita malah dibunuh oleh sistem yang berlaku di sekolah itu sendiri?

Tenang, saya tidak sedang memprovokasi adik-adik yang masih sekolah untuk berhenti sekolah.

Keengganan untuk menerima pengetahuan baru dan menghargai perbedaan pendapat nampaknya sudah ada sejak dulu. Tak jarang para tokoh intelektual, pembaru, kreator, termasuk orang-orang yang mendukung pandangan dan karya mereka harus berhadapan dengan otoritas yang lebih tinggi, seperti otoritas agama dan penguasa.

Socrates, filsuf Yunani pemikir antroposentrisme, ditangkap, dipenjara kemudian dihukum mati karena pemikiran kritisnya yang dianggap menyesatkan para pemuda Athena. Galileo Galilei dihukum mati karena mendukung teori heliosentris Copernicus. Keyakinannya yang didukung dengan studi dan penelitian ilmiah bahwa bumi itu bulat membuatnya harus berhadapan dengan otoritas gereja.

Jika di masa kini, ada kelompok tertentu yang suka playing victim dengan membawa narasi "kriminalisasi ulama" ketika tokoh panutannya tersangkut kasus hukum, di masa keemasan Islam, para ulama pun bisa dikriminalisasi karena memiliki pandangan yang berbeda dengan penguasa.

Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, khalifah ke-7 Dinasti Abbasiyah, para ulama pernah dikumpulkan dan diinterogasi apakah Al-Quran itu qadim atau makhluk. Sesiapa yang menjawab Al-Quran sebagai qadim, ia akan disiksa. Kebijakan yang diteruskan oleh khalifah setelahnya ini juga menyeret ulama besar sekelas Imam Ahmad bin Hanbal sehingga ia ditangkap dan dicambuk oleh sang khalifah.

Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan selalu bisa digali, dikritisi, dikembangkan dan dievaluasi sehingga menghasilkan kebaruan bahkan meluruskan pemahaman lama yang keliru, nyatanya tidak selalu direspon positif oleh orang-orang gagal move on.

Bukannya berusaha menata masa depan malah meromantisasi masa lalu. Alih-alih memaafkan dan berdamai dengan masa lalu, mereka malah mewariskan luka dan dendam lama pada generasi berikutnya.

Lihat saja bagaimana sejarah bangsa ini mencatat tragedi 1965. 

Pemahaman sejarah seperti apa yang disodorkan dalam buku-buku sejarah, penjelasan guru-guru di sekolah dan propaganda pemerintah tentang PKI dan tokoh-tokoh kiri?

Kita terbiasa dicekoki pemahaman sebatas PKI itu komunis (ya emang sih, dari namanya aja udah kelihatan), atheis (padahal komunisme dan atheisme adalah dua hal yang berbeda), kejam, ingin mengganti Pancasila. Sementara Gerwani, organisasi perempuan yang berhubungan erat dengan PKI, orang-orangnya sering digambarkan sebagai perempuan amoral yang menyilet-nyilet para jenderal.

Syukurlah, zaman sudah berubah. Era keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat membuat sejarawan, akademisi bahkan media, tidak takut lagi untuk mempelajari, mengeksplorasi dan mengungkap fakta-fakta sejarah kelam tersebut ke publik. Dari situlah kita bisa tahu bahwa sejarah 1965 memang banyak yang sudah dibelokkan oleh penguasa pada masa itu.

Sayangnya, pihak yang mengungkap dan meluruskan fakta sejarah 1965, kadang dianggap sebagai pro komunis atau ingin membangkitkan PKI jilid 2. Saya pun hanya bisa tepok jidat.

Ada lagi isu Palestina-Israel yang juga kerap dipolitisasi oleh kelompok tertentu. Padahal konflik Palestina-Israel bukan semata-mata konflik antara Yahudi vs Islam. 

Akhirnya kita jadi terjebak simplifikasi bahwa "kalau Anda muslim berarti Anda mendukung Palestina sedangkan kalau Anda non muslim berarti Anda mendukung Israel".

Ketika disampaikan pandangan lain yang ternyata berbeda dengan yang selama ini diyakini, bukannya berterima kasih atas tambahan ilmu atau mencari tahu lebih lanjut, malah berburuk sangka, "Jangan percaya, dia kan antek Yahudi." Atau kalau tidak begitu, ya bersikap ngeyel dan berlagak sebagai si paling paham.

Wasana Kata

Selama peradaban manusia masih ada, ilmu pengetahuan akan terus berkembang. Teori lama bisa saja runtuh dan digantikan dengan teori baru.

Era di mana pengetahuan bisa didapat dari mana dan siapa saja, kita butuh kebijaksanaan untuk memahami dan menyikapi pengetahuan tersebut. Tanpa kebijaksanaan, kita hanya sekadar tahu  tapi tidak paham konteks.

Efeknya adalah close mindedness sehingga merasa diri lebih tahu, lebih pintar sedangkan orang lain salah dan sesat.

Nah, lewat tulisan ini, saya juga ingin bilang agar siapapun yang pernah atau sering membaca tulisan-tulisan saya untuk tidak menganggapnya sebagai kebenaran tunggal.

Tetaplah skeptis dan kritis, baik atas tujuan atau pesan terselubung apa yang ingin saya sampaikan. Gugatlah pendapat saya kalau memang salah atau kalau diperlukan. Siapa tahu kan, pandangan-pandangan saya ada yang sudah tidak relevan lagi di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun