Dulu, pakaian perempuan diatur oleh tradisi, kemudian diatur oleh lingkungan, industri hingga media sosial di zaman kiwari. Bahkan pakaian perempuan pun tidak jarang dijadikan sebagai alat propaganda politik untuk berebut massa dan pengaruh.Â
Pada tahun 1952, perempuan dianggap indah dan cantik jika mengenakan batik. Namun, tiga tahun kemudian, kondisinya berubah. Batik digambarkan sebagai simbol modernitas, kekayaan kultural dan sumber perkembangan ekonomi nasional.Â
Kemudian pada tahun 1960-an, perempuan dilarang berpakaian yang memperlihatkan payudaranya. Di sinilah pakaian perempuan dijadikan alat untuk menegasikan pengaruh budaya asing di Indonesia.Â
Di masa Orde Baru larangan berjilbab dilakukan dengan alasan untuk membatasi pengaruh fundamentalisme Islam. Hal ini tidak lain merupakan stereotipe bahwa jilbab adalah simbol ekstremisme. Di masa ini pulalah, kebaya didaulat menjadi identitas nasional perempuan Indonesia.Â
Berkebalikan dengan zaman Orba, jilbab saat ini bukan lagi sebatas pakaian bagi perempuan muslim.Â
Kini jilbab telah menjadi bagian dari kontrol sosial atas tubuh perempuan. Seolah ada stereotipe bahwa perempuan berjilbab itu lebih baik dan religius.Â
Jilbab juga kerap dipolitisasi, misalnya untuk pencitraan demi mendulang suara dari kelompok tertentu atau pencitraan ketika sedang tersandung kasus hukum.Â
Perempuan Dipandang Sebagai ObjekÂ
Sejak dulu, saya sering bertanya-tanya: mengapa perempuan harus diikat dengan banyak aturan? Pakaian, make-up, cara bicara, cara berjalan, duduk, bekerja, berumah tangga dan berbagai aktivitas, selalu saja diatur. Tidak boleh terlalu ini, tidak boleh terlalu itu.Â
Sampai-sampai saya berpikir kalau perempuan memang sebaiknya jadi umbi-umbian saja (saking jengkelnya saya).Â
Jawaban yang sering saya dengar biasanya tidak jauh-jauh dari narasi:Â perempuan itu sumber fitnah. Kadang narasi ini ditelan mentah-mentah tanpa mengulik lebih dalam apa, mengapa dan bagaimana. Padahal laki-laki juga bisa jadi sumber fitnah bagi perempuan.Â
Akhirnya, perempuan hanya dipandang sebagai objek, bukan subjek yang berdaulat atas dirinya sendiri. Dianggap tidak mampu berpikir dan bertindak rasional sehingga harus diatur sedemikian rupa dengan alasan agar perempuan "tidak kebablasan".Â