Anak-anak selalu digambarkan sebagai pribadi yang polos dan sangat peka. Pikiran dan jiwa mereka begitu sederhana. Berbeda dengan orang dewasa yang pikirannya sudah penuh dengan besok mau makan apa, bayar tagihan rutin bulanan sampai bagaimana melunasi cicilan.Â
Namun, kita juga bisa dibuat miris ketika ada berita anak-anak menjadi pelaku perundungan hingga pelecehan seksual. Orangtua pelaku bisa jadi tidak percaya sebab di rumah, anak-anak mereka selalu tampak pendiam dan tidak pernah neko-neko.Â
Sulit dipercaya bukan, bagaimana mungkin pribadi dengan pikiran dan jiwa yang polos bisa berubah menjadi monster?Â
Sebagian mungkin akan menyalahkan orangtua atau guru yang dianggap tidak becus mendidik anak. Namun, pernahkah terpikirkan di benak Anda sebagai orangtua, pendidik maupun orang dewasa pada umumnya, tentang kemungkinan adanya trauma yang diwariskan pada anak-anak tersebut?Â
Trauma yang Diwariskan
Ketika seorang anak lahir, ia akan mewarisi ciri-ciri fisik, sifat bahkan penyakit bawaan yang mirip dengan genetik kedua orangtuanya. Ternyata, anak-anak juga bisa mewarisi trauma mereka.Â
Inilah yang kita kenal sebagai inherited trauma (ada juga yang menyebutnya generational trauma, intergenerational trauma atau transgenerational trauma) atau trauma yang diwariskan atau trauma lintas generasi.Â
Trauma yang diwariskan adalah jenis trauma yang tidak hanya dialami oleh satu orang tapi meluas pada satu generasi bahkan menurun pada generasi berikutnya (baca: dari orangtua atau kakek dan nenek kepada anak-cucu keturunannya).Â
Trauma ini bersifat terselubung dan tidak terdefinisi sehingga tanpa sadar telah masuk ke dalam nilai-nilai dan sikap yang diajarkan oleh orangtua sejak anak masih kecil hingga dewasa kelak.Â
Konsep trauma lintas generasi pertama kali diperkenalkan oleh psikiater asal Kanada, Vivian M. Rakoff dan rekan-rekannya pada tahun 1966 yang mencatat adanya tekanan psikologis yang tinggi pada anak-anak korban Holocaust.Â
Sebuah riset pada tahun 1988 yang diterbitkan dalam The Canadian Journal of Psychiatry, menyebutkan bahwa sekitar 300% dari cucu para penyintas Holocaust perlu mendapatkan perawatan kesehatan mental. Sejak saat itu, korban Holocaust dan keturunannya menjadi kelompok yang paling banyak dipelajari.Â
Asisten profesor psikologi dan neurosains serta penyelidik utama Marlin Lab di Institute Zuckerman Universitas Columbia, Bianca Jones Marlin mengatakan bahwa trauma yang diwariskan bukan berarti suatu kejadian traumatik dalam hidup seseorang dapat mengubah DNA kita atau anak keturunan kita. Itu lebih kepada memori tentang kejadian traumatik yang dialami oleh nenek moyang kita yang hidup dalam diri kita. Bagaimana trauma itu ada dan alasan atau penyebabnya itulah yang menarik minat para peneliti untuk mengkaji lebih dalam.Â
Ada banyak hal yang memicu terjadinya trauma, seperti kecelakaan, bencana alam, KDRT, pelecehan atau kekerasan seksual dan sebagainya. Trauma tersebut bisa diwariskan lewat pola asuh. Selain itu, trauma juga rentan diwariskan oleh orangtua yang memiliki masalah kesehatan mental dan yang pernah menjadi korban penindasan sistemik, seperti penjajahan, perbudakan dan rasisme.Â
Seorang anak yang dibesarkan dengan ekspektasi tinggi akan kesulitan menjadi dirinya sendiri. Ketika gagal, ia akan menyalahkan dirinya. Merasa dirinya bodoh dan tidak berguna.Â
Bisa jadi, orangtua anak itu dulu juga diasuh dengan cara yang sama oleh orangtuanya (baca: kakek-nenek si anak tersebut). Bisa jadi ada kejadian traumatik yang pernah dialami oleh orangtua si anak, misalnya pernah mengalami kegagalan yang sangat pahit bahkan sampai kehilangan banyak hal, baik materil maupun imateril. Akhirnya, si anak dipaksa untuk mewujudkan cita-cita orangtuanya yang tidak kesampaian itu.Â
Apabila anak itu tumbuh dewasa, menikah lalu punya anak, bukan tidak mungkin trauma akibat pola asuh yang diterimanya saat masih kecil, diwariskan lagi pada anaknya. Akhirnya, lingkaran trauma ini menjadi tak berujung.Â
Ketika anak menjadi pelaku kekerasan, kemungkinan besar ia juga diajar atau banyak melihat kekerasan di sekitarnya. Misalnya, ia sering melihat ayahnya memukuli ibunya atau ia sendiri ikut menjadi korban kekerasan sang ayah. Mungkin dia pikir menggunakan kekerasan adalah cara terbaik untuk melampiaskan emosi dan mendapatkan sesuatu yang diinginkan.Â
Adapun mereka yang tumbuh di keluarga yang tidak harmonis dapat memiliki rasa percaya diri yang rendah, trust issue yang besar dan sangat tertutup dalam pergaulan. Tentu masih banyak lagi contoh bagaimana inherited trauma dapat memengaruhi perilaku dan perkembangan anak.Â
Perlunya Keterbukaan
Kejadian-kejadian traumatik seringkali terjadi di luar kuasa kita. Melupakan dan berdamai dengannya pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa berbuat apapun untuk memutus mata rantai trauma ini.Â
Menurut psikolog anak dan keluarga yang berbasis di Nashville, Courtney Bolton, penting bagi orangtua untuk menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi anak, misalnya melalui sentuhan fisik yang penuh kasih sayang untuk membangun ikatan emosional, membantu anak mengendalikan emosi dan mengatasi kecemasan.Â
Bolton juga menyarankan agar para orangtua yang tengah mencari bantuan terapis untuk anaknya dapat bersikap terbuka tentang kejadian tertentu di masa lalu yang mereka anggap traumatik.Â
Sementara bagi anak yang lebih dewasa bisa diajak berdiskusi secara terbuka tentang pengalaman traumatik orangtua dan bagaimana mengatasinya. Sebagai anak yang telah dewasa, mereka juga bisa belajar untuk memahami dan berempati atas trauma yang dialami oleh orangtuanya.Â
Wasana Kata
Konsep inherited trauma telah diperkenalkan sejak lama dan penelitian tentangnya masih terus dikembangkan, terutama dalam bidang psikologi dan psikiatri.Â
Anak yang diwarisi trauma oleh orangtuanya dapat mengalami sejumlah masalah, seperti rasa percaya diri rendah, trust issue yang besar, sikap masa bodoh, kecemasan, memiliki kewaspadaan dan ketakutan berlebihan dan sebagainya. Tanpa keterbukaan dan kesediaan untuk berdamai dengan masa lalu, lingkaran trauma ini akan sulit terputus sehingga dapat mengorbankan lebih banyak anak di masa depan.Â
Anak tidak pernah minta dilahirkan. Namun, haruskah kita menjadikan mereka sebagai "tumbal generasi" dan menanggung luka-luka masa lalu kita?Â
Saya pikir ini sekaligus menjadi peringatan bahwa punya anak itu harus siap banyak hal (baca: fisik, finansial, ilmu, mental dan spiritual), bukan hanya untuk memenuhi ekspektasi keluarga besar maupun masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H