Asisten profesor psikologi dan neurosains serta penyelidik utama Marlin Lab di Institute Zuckerman Universitas Columbia, Bianca Jones Marlin mengatakan bahwa trauma yang diwariskan bukan berarti suatu kejadian traumatik dalam hidup seseorang dapat mengubah DNA kita atau anak keturunan kita. Itu lebih kepada memori tentang kejadian traumatik yang dialami oleh nenek moyang kita yang hidup dalam diri kita. Bagaimana trauma itu ada dan alasan atau penyebabnya itulah yang menarik minat para peneliti untuk mengkaji lebih dalam.
Ada banyak hal yang memicu terjadinya trauma, seperti kecelakaan, bencana alam, KDRT, pelecehan atau kekerasan seksual dan sebagainya. Trauma tersebut bisa diwariskan lewat pola asuh. Selain itu, trauma juga rentan diwariskan oleh orangtua yang memiliki masalah kesehatan mental dan yang pernah menjadi korban penindasan sistemik, seperti penjajahan, perbudakan dan rasisme.
Seorang anak yang dibesarkan dengan ekspektasi tinggi akan kesulitan menjadi dirinya sendiri. Ketika gagal, ia akan menyalahkan dirinya. Merasa dirinya bodoh dan tidak berguna.
Bisa jadi, orangtua anak itu dulu juga diasuh dengan cara yang sama oleh orangtuanya (baca: kakek-nenek si anak tersebut). Bisa jadi ada kejadian traumatik yang pernah dialami oleh orangtua si anak, misalnya pernah mengalami kegagalan yang sangat pahit bahkan sampai kehilangan banyak hal, baik materil maupun imateril. Akhirnya, si anak dipaksa untuk mewujudkan cita-cita orangtuanya yang tidak kesampaian itu.
Apabila anak itu tumbuh dewasa, menikah lalu punya anak, bukan tidak mungkin trauma akibat pola asuh yang diterimanya saat masih kecil, diwariskan lagi pada anaknya. Akhirnya, lingkaran trauma ini menjadi tak berujung.
Ketika anak menjadi pelaku kekerasan, kemungkinan besar ia juga diajar atau banyak melihat kekerasan di sekitarnya. Misalnya, ia sering melihat ayahnya memukuli ibunya atau ia sendiri ikut menjadi korban kekerasan sang ayah. Mungkin dia pikir menggunakan kekerasan adalah cara terbaik untuk melampiaskan emosi dan mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Adapun mereka yang tumbuh di keluarga yang tidak harmonis dapat memiliki rasa percaya diri yang rendah, trust issue yang besar dan sangat tertutup dalam pergaulan. Tentu masih banyak lagi contoh bagaimana inherited trauma dapat memengaruhi perilaku dan perkembangan anak.
Perlunya Keterbukaan
Kejadian-kejadian traumatik seringkali terjadi di luar kuasa kita. Melupakan dan berdamai dengannya pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, bukan berarti kita tidak bisa berbuat apapun untuk memutus mata rantai trauma ini.
Menurut psikolog anak dan keluarga yang berbasis di Nashville, Courtney Bolton, penting bagi orangtua untuk menyediakan ruang yang aman dan nyaman bagi anak, misalnya melalui sentuhan fisik yang penuh kasih sayang untuk membangun ikatan emosional, membantu anak mengendalikan emosi dan mengatasi kecemasan.
Bolton juga menyarankan agar para orangtua yang tengah mencari bantuan terapis untuk anaknya dapat bersikap terbuka tentang kejadian tertentu di masa lalu yang mereka anggap traumatik.