Fenomena remaja Citayam seharusnya dapat dijadikan alarm peringatan betapa wilayah Jabodetabek masih belum mampu menyediakan ruang publik yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat (meski Pemda setempat menyangkal fakta ini). Luasan RTHP di wilayah Jabodetabek pun masih kalah jumlah dengan pusat perbelanjaan.
Kalau mau ngeyel dengan mengatakan pusat perbelanjaan atau kafe termasuk ruang publik, memang siapa aja sih yang bisa mengaksesnya? Mayoritas yang datang paling-paling masyarakat urban kelas menengah ke atas kan? Lalu, di mana nilai inklusivitas atau kesetaraannya, jika ruang publik hanya bisa diakses oleh kelompok masyarakat tertentu?Â
Wasana KataÂ
Ketersediaan ruang publik yang inklusif adalah hak setiap masyarakat di suatu wilayah.Â
Ruang publik yang inklusif artinya adalah ruang yang memungkinkan bagi setiap orang untuk dapat berkegiatan sesuai kebutuhannya, terlepas dari apapun latar belakang sosial, ekonomi dan budayanya.Â
Selain itu, ruang publik juga harus terbuka dan ramah bagi beragam kondisi fisik manusia alias jangan cuma ramah bagi mereka yang able-bodied.Â
Bahkan, keberadaan RTHP menjadi salah satu syarat dari pembangunan kawasan perkotaan yang berkelanjutan.Â
Saya pikir fenomena remaja Citayam juga bisa dijadikan pelajaran bagi dunia planologi untuk berfokus pada perencanaan dan tata kota yang lebih berempati pada kebutuhan sesama manusia maupun lingkungan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H